Abu Nawas dan Konspirasi Topi, Raja pun Melihat Surga
Al-Kisah, Abu Nawas berjalan di tengah pasar. Dia melihat ke dalam topinya dan tersenyum penuh bahagia. Orang-orang pun heran, lalu bertanya.
Orang:“Hai Abu Nawas apa yang kamu lihat ke dalam topimu itu yang membuatmu tersenyum bahagia.?”
Abunawas:“Oh, aku sedangmelihat Surga yang dihiasi barisan bidadari-bidari.” (dengan ekspresi meyakinkan).
Seseorang: "Coba aku lihat ?”
Abunawas: Tapi saya tidak yakin kamu bisa melihat seperti apa yang saya lihat.”
Orang-orang: “Mengapa.?"..(serempak, karena sama-sama semakin penasaran)
Abunawas: “Karena hanya orang beriman dan saleh saja yang bisa melihat Surga dan Bidadarinya di topi ini".
Seseorang: "Coba aku lihat.!!"
Abunawas: “Silakan”
Orang-oorang itu pun melihat ke dalam topi, lalu sejenak menatap ke arah Abu Nawas. Kemudian menengok ke orang di sekelilingnya dan berkata: "Benar aku melihat Surga dan bidadari...luar biasa” (penuh kagum)
Orang-orang pun heboh ingin menyaksikan Surga dan bidadari di dalam topi Abu Nawas. Namun, Abu Nawas mewanti-wanti, bahwa hanya orang ber-Iman dan Saleh yang bisa melihatnya.
Dari sekian banyak yang melihat ke dalam topi itu banyak yang mengaku melihat Surga dan bidadari tetapi banyak juga yang tidak bisa melihat sama sekali. Mereka yang tidak bisa melihat berkesimpulan: "Abu Nawas telah berbohong"
Mereka pun melaporkan Abu Nawas ke Raja, dengan tuduhan telah menebarkan kebohongan di tengah masyarakat.
Akhirnya, Abu Nawas dipanggil menghadap Raja untuk diadili.
Dalam Sidang Pengadilan Raja
Raja: "Benarkah di dalam topimu bisa terlihat Surga dengan bidadarinya.?”
Abunawas: "Benar paduka Raja, tetapi hanya orang beriman dan saleh saja yg bisa melihatnya. Sementara yang tidak bisa melihatnya, berarti dia belum beriman dan tidak Saleh. Kalau paduka Raja mau menyaksikannya sendiri, silakan...”
Raja: "Baiklah, kalau begitu saya mau menyaksikannya sendiri.”
Sudah pasti Raja tidak melihat Surga apalagi bidadari di dalam Topi Abu Nawas.
Raja berpikir, kalau ia mengatakan tidak melihat Surga dan bidadari, berarti ia termasuk tidak beriman, maka akan berkibat bisa merusak reputasinya sebagai Raja.
Raja: (setengah berteriak dan pura-pura kagum) “Engkau benar Abu Nawas, aku menyaksikan Surga dan Bidadari di dalam topimu..!!!"
Maka Rakyat yang menyaksikan reaksi Rajanya itu, lalu diam seribu bahasa dan tak ada lagi yang berani membantah Abu Nawas.
Mereka takut berbeda dengan Raja dan khawatir dicap belum beriman dan tidak Saleh.
Konspirasi kebohongan yang ditebar oleh Abu Nawas, mendapat legitimasi dari Raja.
Abunawas: (dalam hati tertawa sinis sambil bergumam)....."
Beginilah akibatnya kalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan pun akan merajalela.
Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang-kangkung sebagai sesuatu yang “benar.”
Ketakutan untuk berbicara jujur, juga karena faktor gengsi. Gengsi dianggap belum beriman atau dengan alibi/alasan lainnya. Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuhi dengan kebohongan.
Kepercayaan diri sebagai pribadi yang mandiri untuk berkomitmen pada kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang sesungguhnya sangat subjektif dan semu.
Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran. Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah kecerdikan yang dilakonkan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu adalah kebohongan yang nyata.
Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas, bisa saja telah terjadi di sekitar kita. Tentu dengan aneka versinya.