Abu Dardak, dari Wartawan Foto Kini Jadi Petani Kelapa Sawit
Sudah sekitar delapan tahun Abu Dardak meninggalkan aktivitasnya di media massa. Dia tanggalkan dunianya itu dengan menutup mata. Bahkan dia tinggalkan kota kelahirannya yang ribet dan ruwet, melangkah ke depan memasuki dunia baru yang bisa saja orang lain menyebutnya sebagai dunia asing dan sama sekali tidak menarik. Jadi petani kelapa sawit, di Kalimantan.
Abu Dardak, termasuk salah satu wartawan foto andal di Surabaya, pada masanya. Beberapa media massa pernah jadi tempatnya bekerja. Saat masih kuliah di AWS (Akademi Wartawan Surabaya) angkatan tahun 1992, sekarang Stikosa-AWS, dia sudah bekerja secara freelance. Kemudian jadi wartawan foto majalah Matra. Lantas pindah ke Harian Bangsa, harian Radar Surabaya, harian Suara Indonesia dan terakhir bekerja di BeritaSurabaya.com, sebelum memutuskan hengkang ke Kalimantan.
Meninggalkan zona nyaman sebagai wartawan foto, kemudian membalik profesi menjadi petani kelapa sawit, tentu membutuhkan keberanian absolut. Tapi bagi Abu, hal itu mungkin tidak sulit dilakukan, karena sejak SMA dia sudah aktif membantu abahnya yang menjadi juragan buah kelapa, di Jalan Pecindilan. Abu Dardak dan orang tuanya memang tinggal di Gang Pecindilan Pasar, yang menjadi titik pusat dari salah satu kawasan bursa buah-buahan di Kota Surabaya itu.
Saat kuliah di AWS, Abu juga kerja sambilan. Apalagi ketika bekerja sebagai wartawan foto, dia sempat mengelola warnet di dua lokasi, salah satunya di sekitar kampus Universitas Widya Mandala di Kalijudan, Surabaya. Hasilnya lumayan.
“Usaha warnet sempat berjalan bagus selama 4-6 tahunan, malah saya sempat lakukan diversifikasi usaha sebagai agen token pulsa. Tapi seiring perkembangan zaman dengan maraknya handphone Android, terutama impor dari China yang makin memudahkan setiap orang punya akses internet, usaha warnet saya, sebagaimana warnet di seluruh Indonesia, berangsur surut, sampai akhirnya tutup,” kata Abu Dardak kepada Ngopibareng.Id, kemarin.
“Sebelum itu saya juga pernah membuka usaha persewaan VCD di dekat Polres Taman, Sidoarjo. Awalnya berjalan bagus juga. Tapi kasusnya hampir sama, tutup gara-gara perkembangan teknologi. Dua pengalaman bangkrut tersebut, yaitu usaha persewaan VCD dan warnet membuat saya introspeksi, kemudian memutuskan untuk menghindari usaha yang gampang tergilas oleh perkembangan teknologi,” kata Abu Dardak. Masuk. Maka terbanglah dia ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 4 April 2017.
Tapi sebenarnya, rencana untuk ke Kalimantan sudah muncul sejak tahun 2013. “Saat itu saya sudah sempat ke Kalsel, bahkan sudah bertindak jauh dengan membeli lahan. Lahan yang hendak dijual awalnya dua hektar, milik warga lokal yang beriklan di situs OLX. Harganya disepakati Rp 12 juta untuk dua hektar itu. Tapi setelah saya ke sana, ternyata yang dijual hanya 1 hektar seharga Rp 6 juta. Saya bayar saja meskipun satu hektar. Tapi sebelum mulai menggarap saya harus segera kembali ke Surabaya, karena saya harus merawat Abah yang sakit karena memang sudah sepuh, sampai akhirnya beliau meninggal tahun 2016,” cerita Abu. Ya sudah.
Setelah empat tahun merawat orang tua sambil kerja serabutan, tahun 2017 dia kembali ke Kalsel. Setibanya di Banjarmasin, beruntung Abu punya seorang teman yang membimbingnya. “Saya menyebutnya Bang Arif. Dia nanya, rencanamu piye to Bu? Karena dia tahu, saya sudah tak punya modal. Saya jawab, ya pokoknya saya nyari kerja apa saja Bang, cuci motor atau ikut juragan jual gorengan, juga gak masalah,” lanjutnya.
Melalui Bang Arif pula, Abu kemudian dikenalkan pada seorang kontraktor, yang menawarinya kerja di sebuah proyek. Tapi ditolak, dia lebih memilih jualan bakso di Pasar Permata Martapura, tak jauh dari Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin.
Saat itu Abu memang tinggal di Martapura, sekitar 40 kilometer sebelah tenggara Banjarmasin. Tempat tinggal itu milik kontraktor teman Bang Arif, yang boleh ditempati Abu secara gratis. Jualan bakso dilakukannya dengan serius dan dengan suka cita, karena dia yakin pekerjaannya ini bagian dari adaptasinya dengan kehidupan baru.
“Ketika meninggalkan Surabaya, saya hanya membawa uang Rp500 ribu, ditambah saldo di rekening sebesar Rp 1,5 juta di bank sebagai cadangan kalau ada apa-apa. Jadi waktu saya terbang ke Banjarmasin tahun 2017 itu, saya cuma bawa baju secukupnya dalam kardus bekas CPU computer, plus ransel kapasitas 10 kg berisi laptop yang layarnya sudah patah. Yang paling berharga dari barang-barang yang saya bawa adalah dokumen-dokumen dari lahan yang saya beli tahun 2013 ,” cerita Abu Dardak.
Tata Niaga Beras
Abu akhirnya juga berhenti jual bakso. Lantas dia merintis usaha sendiri dengan memproduksi pakan ternak, di tempat tinggal baru, di kawasan Cindai Alus, Martapura. Bahan bakunya bulu ayam potong. Tapi usaha ini pun gagal. Biaya produksi lebih tinggi dibanding harga jual.
Dia kemudian bergeser lagi ke tempat baru, ke Trantang Barito Kuala, bekerja sebagai penyadap karet di kebun milik perantau asal Jawa juga. Lokasi kebunnya di Desa Transmigran Desa Karya Maju, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel. Dia juga tinggal di desa ini. Sambil bekerja sebagai penyadap karet, Abu mulai berinteraksi dengan para transmigran, yang sebagian besar bersentuhan dengan pohon karet dan kelapa sawit.
Mudah bagi Abu Dardak untuk beradaptasi dengan tempat dan lingkungan kerja baru, yang bagaimanapun keadaannya. Saya sendiri pernah sekantor dengan dia saat bekerja di harian Suara Indonesia di Surabaya, 2004-2005.
Berada di desa transmigran ini Abu Dardak mulai mengenal lebih jauh tentang kelapa sawit. Jangan lupa, dia memiliki lahan kosong seluas 1 hektar. Lahan ini bisa jadi modal untuk menarik teman atau kenalan yang berminat untuk kerja sama.
Benar saja, akhirnya seorang teman lama datang membawa kapital. Dia lumayan paham soal sawit dan karet, Abu juga demikian, mulai paham. Terjalin kesepakatan, langkah pertama segera dilakukan, yaitu dengan membeli lahan kebun sawit yang belum produktif. Tak berapa lama berhasil diperoleh lahan untuk sawit seluas 6,5 hektar, ditambah lahan untuk kebun karet seluas 3,5 hektar.
“Secara teknis dalam satu hektar luasan kebun sawit berisi tanaman antara 120-148 pohon, bergantung pada jarak tanamnya. Tanaman mulai bisa dipanen rutin setelah pembersihan buah pasir atau buah kecil yang bobotnya di bawah 2 kg,” kata Abu, mulai menjelaskan khusus soal kelapa sawit.
“Jika perawatan dan pemupukan terjaga, pada usia tanaman 5 tahun sampai 20 tahun, bobot tandan buah segar bakal terus meningkat. Hasil panen rata-rata per tahun di kisaran 20-35 ton. Biasanya jika usia lebih dari 25 tahun produktivitas akan berkurang. Artinya perlu peremajaan,” kata Abu seperti pakar. Putaran panen pada kebun sawit yang sudah produktif antara 10 hari, 14 hari atau 21 hari sekali panen, bergantung pada pilihan kita, tambahnya.
Lantas pasca panennya bagaimana? “Kalau di tempatku biasanya hasil panen dijual langsung ke bakul atau pengepul. Kalau petani mau jual langsung ke pabrik jelas sulit, kecuali dia punya surat SPK dari perusahaan yang memang bekerja sebagai supplier pabrik. Dari SPK inilah supplier mengambil untung antara Rp 20,- sampai Rp 50,- per kilogramnya. Tapi tidak sedikit pengepul mengambil untung Rp100 per kg. Suka-suka dialah,” jelas Abu.
Kalau begitu, sebenarnya tata niaga yang berlaku di tingkat bawah kelapa sawit ini, tak jauh beda dengan tata niaga gabah. Para petani padi tidak punya akses sama sekali ke Bulog. Mereka hanya bisa menjual gabahnya dalam bentuk kering panen, sebagaimana TBS untuk sawit, kepada para pengepul atau kaki tangan perusahaan penggilingan, yang umumnya juga menjadi supplier Bulog.
Kalau saja pihak penggilingan mau membeli gabah petani dalam bentuk panen giling, maka para petani akan memperoleh nilai tambah dari ongkos menjemur gabah, yang besarannya bisa mencapai Rp400 sampai Rp600, per kg. Misalnya, menurut patokan yang dipakai BPS (Badan Pusat Statistik), tahun ini harga gabah kering panen Rp4.905, per kg. Setelah dijemur hingga berupa gabah kering giling yang artinya siap untuk digiling, harganya naik jadi Rp5.516 per kg.
Tapi ongkos proses menjemur gabah ini pun direbut oleh pemilik penggilingan yang sekaligus juga supplier Bulog. Petani selalu dalam posisi ditekan. Hal itu terjadi sejak zaman Presiden Suharto sampai Presiden Joko Widodo. Kondisinya tidak berubah, malah lebih parah, setelah pemerintah membuka makin lebar keran impor beras dari luar.
Larangan Ekspor
Kembali ke Abu Dardak, setelah mendalami seluk beluk kelapa sawit ini dia berpendapat, kalau mau melangkah lebih jauh ke depan, sebaiknya diperbanyak koperasi yang punya mesin pengolah, sekaligus menampung hasil panen semua anggota.” Tapi petani banyak yang mau gampangnya saja, jual putus hasil panen kepada siapa pun yang datang, yang penting bisa langsung cair.
Kenapa tidak membangun mesin pengolah sendiri? Abu tertawa. “Maunya memang begitu. Tapi perlu modal besar. Belum lagi biaya untuk tenaga operasional, upahnya cukup mahal. Kalau tidak hati-hati kita bisa bangkrut gara-gara upah tenaga,” kata Abu, yang mengaku sekarang ini dirinya mengelola sekitar 20 hektar lahan. “Campuran, antara milik pribadi dan milik investor, yang juga teman,” tambahnya.
Heboh akibat langka dan mahalnya minyak goreng beberapa waktu lalu, tentu berdampak pada Abu Dardak. Dia kini merasakan, apa yang telah dikerjakan selama ini, yaitu merawat dan menjaga pohon kelapa sawit dengan sepenuh hati, ternyata hanya menguntungkan mereka yang di atas. Mereka itu bersekongkol baik secara politik maupun secara bisnis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai mantan jurnalis, Abu tidak buta pada masalah itu.
Yang langsung mengena ke jantung pertahanan Abu adalah solusi yang diambil pemerintah untuk menghentikan kelangkaan minyak goreng, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 22/2022 tentang larangan ekspor CPO atau crude palm oil. Yang dimaksud CPO adalah minyak kelapa sawit yang masih mentah, belum dimurnikan, yang diperoleh dari hasil ekstrakasi atau proses pengempaan buah kelapa sawit.
“Di tempatku, Marabahan Kabupaten Barito Kuala, sebelum keluar larangan ekspor CPO, harga TBS (tandan buah segar) di kisaran Rp2.800 per kg. Setelah ada larangan, usai lebaran, harga beli pabrik di kisaran Rp2.200,- sampai Rp 2.500, perk kg. Itu harga pabrik. Kalau harga dari petani ke bakul atau pengepul ya lebih rendah lagi, antara Rp2.000 sampai Rp 2.200, per kg” jelas Abu.
Harga yang tangan petani tidak berhenti di angka itu. Bahkan terus meluncur ke bawah. “Sudah sepekan ini harga TBS di tingkat petani ke bakul atau pengepul antara Rp 1.000,- sampai Rp1.400 per kg. Ini Bagaimana,” tanyanya.
“Sejak adanya larangan ekspor, harga pabrik bisa berubah seminggu lebih dari 3-4 kali. Akibatnya para bakul dan pengepul tidak bisa memberi patokan harga yang pasti, karena harga yang ditetapkan pabrik juga selalu berubah," tambahnya.
Di harga paling rendah itulah posisi petani kelapa sawit sekarang ini, termasuk Abu Dardak. Mereka benar-benar berada di lantai dasar pada sebuah piramida besar, yang di puncaknya ada lima orang raja minyak goreng di Indonesia; Anthony Salim (Indofood), Sukanto Tanoto (Royal Golden Eagle International), Martua Sitorus (Wilmar International Ltd), Backtiar Salim (Grup Musim Mas) dan keluarga Eka Tjipta Widjaja, pemilik Sinar Mas Grup yang antara lain memproduksi minyak goreng merk Filma. Abu Dardak dan sekitar tiga juta petani sawit di Indonesia, seluruhnya cuma menghasilkan keringat. Miliaran tetes keringat itu mengeras dan saling berhimpit di lapisan paling bawah dari piramida, karena menahan beban tekanan dari atas.
Sebagai petani, sederhana saja harapan Abu, yang bisa dianggap mewakili petani seluruhnya. “Harga jual TBS kami ke pengepul atau bakul, naik seperti sebelum dikeluarkannya larangan ekspor. Sekarang setelah larangan dicabut, kita tunggu saja apakah harga jual TBS bisa naik,” tanya Abu, merespon dicabutnya Permendag No 22/2022 tentang larangan ekspor CPO atau crude palm oil.
“Kalau larangan ekspor tidak dicabut misalnya, kami rugi biaya produksi. Tapi kalau larangan ekspor dicabut, kami juga tidak lantas berpesta-pora. Kami hanya dapat sedikit bernapas lega, tidak banyak, karena harga pupuk dan obat pembasmi rumput sudah terlanjur naik 100 persen dibanding sebelum heboh minyak goreng. Tidak muluk kok, kami cuma berharap agar harga TBS di tingkat petani ke pengepul bisa mencapai kisaran Rp 1.800,- sampai Rp 2.000 per kg, seperti semula,” kata Abu. Sederhana sekali harapannya.
Januari lalu Abu Dardak genap berusia 48 tahun. Kata orang, dia memasuki usia produktif dan usia memiliki banyak pengalaman. Tapi bukan pengalaman berkeluarga, karena hingga sekarang Abu masih sendirian. Mungkin dia masih menunggu kedatangan seorang perempuan yang ideal. Ideal bagi Abu Dardak, kira-kira kriterianya cantik dan membawa modal. Kira-kira... (m. anis)