Abdul Hadi WM, Penyair Madura 'Tuhan Kita Begitu Dekat' Berpulang
Innalillahi wa innailaihi rajiuun. Telah meninggal dunia, Prof Abdul Hadi WM pada Jumat 19 Januari 2924, pukul 03.36, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Penyair kelahiran Sumenep Madura ini, meninggal dalam usia 78 tahun, setelah dirawat dalam beberapa bulan terakhir.
Jenazah akan disemayamkan di rumah duka: Vila Mahkota Pesona Jatiasih, Bojong Kulur dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Dan rencananya akan dimakamkan di taman pemakaman setempat ba'da salat Jumat.
"Mohon doa dari teman teman semua ya," pesan Gayatri Muthahhari, putri penyair Abdul Hadi WM.
Tentu saja berita duka ini menyebar di kalangan para seniman Indonesia, termasuk juga kalangan seniman di Surabaya.
"Semoga beliau meninggal dalam husnul khatimah. Mohon doanya semua teman-teman Bulan Purnama untuk almarhum mas Hadi. Semoga husnul khatimah...dan diampuni semua dosa-dosanya. Aamiin amiin, ya rabbal alamin".
Demikian tutur Amie Koentjoro, adik ipar Abdul Hadi WM yang aktif dalam komunitas Bengkel Muda Surabaya, setelah tahu kabar dari Atiek Koentjoro, istri almarhum.
Sang Penyair Dekat Tuhan
Abdul Hadi Widji Muthari—adalah penyair, budayawan, dan cendekiawan muslim yang lahir pada tanggal 24 Juni 1946 di kota Sumenep, Madura. Dia berasal dari kalangan keluarga muslim yang taat beribadah. Ayahnya seorang muslim Tionghoa dan ibunya masih keturunan keluarga Keraton Surakarta.
Orang tuanya memiliki sebuah pesantren di kota kelahirannya, "Pesantren An-Naba". Dia menikah dengan Tejawati. Dari hasil perkawinan itu, ia dianugerahi tiga orang putri yang diberi nama Gayatri Widotami, Dian Kuswandari, dan Ayusa Ayuthaya. Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota kelahirannya.
Selanjutnya, disebutkan dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, ia meneruskan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas di Surabaya dan setelah lulus ia melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra, Universtas Gadjah Mada. Dia memasuki Jurusan Filologi, Fakultas Sastra hingga mencapai gelar sarjana muda (1965—1967). Kemudian, Abdul Hadi pindah ke Fakultas Filsafat di universitas yang sama hingga mencapai tingkat doktoral (1968—1971).
Abdul Hadi selalu merasa haus terhadap ilmu pengetahuan. Dia kemudian belajar antropologi budaya di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung (1971—1973). Namun, studinya tidak diselesaikannya karena harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Kemudian, ia pindah ke kota Jakarta. Pada tahun 1991 Abdul Hadi mendapat tawaran menjadi penulis tamu dan pengajar (dosen) Sastra Islam di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Penang.
Sementara mengajar, ia juga menyelesaikan studinya di universitas tersebut hingga meraih gelar master (M.A.). Tahun 1997 ia memperoleh gelar doktor (Ph.D.) dengan disertasinya "Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri". Disertasinya ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri oleh Penerbit Paramadina tahun 2001.
Sejak di sekolah dasar Abdul Hadi sudah memiliki kegemaran mendengarkan dongeng dan membaca karya sastra. Tidak mengherankan apabila pada usia 14 tahun Abdul Hadi sudah mampu menulis karya sastra, terutama puisi.
Ketika duduk di bangku sekolah lanjutan pertama, Abdul Hadi sudah terobsesi oleh sajak-sajak Chairil Anwar, terutama sajak "Lagu Siul II" yang mengungkapkan 'laron pada mati' dan 'ketangguhan tokoh Ahasveros menghadapi Eros'. Atas obsesinya pada sajak Chairil Anwar itu—dan juga pengalaman religiusnya mendalami dan mengamalkan Al Quran—di kemudian hari lahirlah sajak Abdul Hadi W.M. yang dinilai banyak pakar sastra bersifat sufistik, "Tuhan, Kita Begitu Dekat" (1976)
Pemikir Kebudayaan
Sebagai seorang pelaku dan pemikir kebudayaan, Abdul Hadi pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa (terbitan UGM, 1967—1969), redaktur Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah di Yogyakarta (1969—1970), redaktur Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung (1971—1973), redaksi majalah Dagang dan Industri (IKADIN, 1979—1981), redaktur pelaksana majalah Budaya Jaya (1977—1978), pengasuh lembaran kebudayaan "Dialog" Harian Berita Buana (1978—1990), Staf Ahli Bagian Pernaskahan Perusahaan Negara Balai Pustaka, dan Ketua Harian Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1984—1990).
Dia pun pernah diundang untuk menjadi dosen Penulisan Kreatif di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta (1985—1990), serta dosen tamu Sastra dan Filsafat Islam di Universitas Sains, Malaysia (1991—1997). Kini ia menjadi dosen tetap Universitas Paramadina, Jakarta, sambil memberi kuliah estetika dan filsafat Islam di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada Juni 2008 ia dikukuhkan menjadi guru besar tetap di Universitas Paramadina, untuk Filsafat Agama, dalam usia 62 tahun.
Sebagai penyair, Abdul Hadi W.M. telah menghasilkan sejumlah kumpulan sajak, antara lain Laut Belum Pasang (Litera, 1971), Cermin, (Budaya Jaya, 1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, 1975), Meditasi (Budaya Jaya, 1976), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, 1977), dan Anak Laut Anak Angin (1984).
Buku kumpulan sajaknya terbaru adalah Pembawa Matahari (Bentang, 2002). Kumpulan sajak Abdul Hadi W.M. dalam bahasa Inggris berjudul At Last We Meet Again (1987), dan kumpulan sajak bersama Darmanto Yatman dan Sutardji Calzoum Bachri dalam bahasa Inggris diterbitkan di Calcutta, India, 1976, dengan editor Harry Aveling, berjudul Arjuna in Meditation. Sajak-sajak Abdul Hadi W.M. tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Belanda, Cina, Korea, Thailand, Arab, Urdu, Bengali, dan Spanyol. Abdul Hadi W.M. juga terkenal sebagai seorang editor buku, pengulas, dan penerjemah karya-karya sastra Islam dan karya sastra dunia.
Dalam bidang ini telah dihasilkan sejumlah buku antara lain, (1) Sastra Sufi: Sebuah Antologi (terjemahan dan esai, 1985), (2) Ruba'yat Omar Khayyam (terjemahan dan esai, 1987), (3) Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-Bangsa Timur (terjemahan puisi dan pembahasan, 1986), (4) Pesan dari Timur: Muhammad Iqbal (terjemahan dan esai, 1987), (5) Rumi dan Penyair (terjemahan puisi dan esai, 1987), (6) Faust I (terjemahan karya Gothe, 1990), (7) Kaligrafi Islam (terjemahan karya Hasan Safi, 1987), (8) Kehancuran dan Kebangunan (1987, terjemahan kumpulan puisi Jepang), dan (9) Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Mizan, Bandung, 1995).
Buku kumpulan esai yang telah diterbitkan adalah (1) Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), (2) Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), dan (3) Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Paramadina, 2001).
Program International Kepenulisan
Abdul Hadi W.M. pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat (1973—1974), mengikuti London Poetry Festival, di London, Inggris (1974), menghadiri Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti Festival Shiraz, Iran (1976), Konferensi Pengarang Asia Afrika, Manila, Filipina (1976), mengikuti Mirbad Poetry Festival, Bhagdad (1989), dan masih banyak pertemuan sastra dan festival puisi regional dan internasional yang diikutinya, termasuk di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Abdul Hadi W.M. menerima penghargaan atas prestasinya dalam bidang penulisan puisi, misalnya dari majalah sastra Horison atas sajaknya "Madura" (1968). Hadiah Buku Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta diperoleh Abdul Hadi W.M. pada tahun 1977 atas buku kumpulan sajaknya Meditasi (1976).
Pemerintah Republik Indonesia, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberi Hadiah Seni bagi Abdul Hadi atas prestasinya dalam penulisan sajak (1979). Tidak ketinggalan, Pemerintah Kerajaan Thailand melalui Putra Mahkota, di Bangkok, memberi Hadiah Sastra ASEAN kepada Abdul Hadi W.M. pada tahun 1985 atas karyanya berjudul Tergantung Pada Angin (sajak, 1983).
Beberapa pengamat sastra, seperti A. Teeuw, Harry Aveling, Rene Carle, Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono ikut aktif membicarakan karya-karya Abdul Hadi W.M. dan sudah barang tentu memberikan apresiasi baik kepadanya.
Advertisement