A.Kadir dan Orkes Melayu Sinar Kemala, Ini Cerita Anaknya
Akhir bulan ini tepat 39 tahun A. Kadir meninggal dunia. Salah satu peletak fondasi musik melayu di Indonesia itu meninggal 29 Mei tahun 1985 pada usia 47 tahun, meninggalkan 13 anak dan belasan cucu, serta puluhan lagu.
Orkes Melayu (OM) Sinar Kemala pimpinan A. Kadir memang sekarang telah menjadi sejarah, terutama bagi generasi tua, bukan generasi dangdut yang diawali dengan berkumandangnya lagu-lagu Muchsin Alatas, Mansyur S, Ellya Khaddam dan Elvi Sukaesih. Baru setelah itu kekuasaan dangdut makin meluas, dengan rajanya Oma Irama, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Rhoma dengan kerajaan Soneta.
A.Kadir, laki-laki keturunan Arab yang nama lengkapnya Abdul Kadir Waber adalah seorang musisi dengan talenta yang lengkap; pengarang lagu, penulis lirik, pemusik, penyanyi, komposer sekaligus konduktor karena tidak jarang orkes melayu Sinar Kemala tampil di panggung dengan formasi lebih dari 40 pemusik.
Meskipun sudah menjadi bagian dari sejarah musik di Tanah Air, tapi lagu-lagu Sinar Kemala kini malah semakin mudah diperoleh, yaitu melalui platform Youtube meskipun hanya yang bisa dinikmati hanya audionya saja, tanpa video. Cukup dengan mengetik ‘Sinar Kemala’ pada pencarian Youtube, akan keluar puluhan album Sinar Kemala dengan penyanyi-penyanyi andalannya seperti Ida Laila, A.Rafiq, Fadhia Elbas dan A.Kadir sendiri. Pada akhirnya, orang memang harus berterima kasih pada beberapa platform medsos yang dapat mencari, mengunggah sekaligus menyimpan lagu-lagu lama, termasuk lagu-lagu OM Sinar Kemala.
Toko A.Kadir
A.Kadir adalah Arek Ampel, kawasan perkampungan di sekitar Masjid Sunan Ampel, yang juga dikenal sebagai permukiman komunitas keturunan Arab di Surabaya. OM Sinar Kemala juga produk Ampel, lahir dan berkembang di rumah orang tua A.Kadir di Ampel Cempaka 30. Rumah itu sekarang masih berdiri tapi dengan pemilik yang berbeda.
Dulu, A.Kadir bermusik sambil mengelola sebuah toko di Jl. Sasak no. 27, yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Di toko yang bernama Toko A.Kadir itu dia menjual songkok dan parfum. A.Kadir sendiri yang menjaga dan menunggui tokonya itu, dari pagi hingga sore. Malam harinya dia latihan musik. Kini toko yang lebarnya sekitar 8 meter itu masih buka, tetapi dikelola orang lain yang mengganti nama toko menjadi Takbir. Tapi di lantai atas masih terpampang tulisan timbul Toko A.Kadir.
Dari 13 anak dari dua istri, dua meninggal, tidak ada satupun yang bermusik meneruskan talenta ayahnya. “Tidak boleh, sekali lagi tidak boleh anak-anak saya bermain musik,” kata Novel, anak bungsunya dari istri pertama, Elok Martak yang meninggal 2010 lalu, menirukan ayahnya. “Kalau ada anaknya yang coba-coba pegang alat musik, hanya pegang saja, langsung ditempeleng,” kata Novel sambil mengayunkan tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka, memperagakan gerakan orang menempeleng.
“Langsung ditempeleng, bukan cuma dimarahi. Abi tidak mau ada anaknya yang jadi pemusik. Cukup dia saja yang main musik. Entah alasannya apa gak jelas,” kata Novel di rumahnya, kepada Ngopibareng.Id. Karena itu, lanjut Novel, ketika ayahnya meninggal bulan Mei 1985, Orkes Sinar Kemala langsung mati. Tidak ada yang meneruskan, kecuali dua atau tiga musisinya yang kemudian mendirikan kelompok musik baru tetapi tidak dengan nama Sinar Kemala.
Yang lebih mengejutkan, tiga bulan setelah A.Kadir meninggal, tepatnya pada bulan Agustus 1985, Elok Martak, istri almarhum minta pada anak-anaknya untuk segera menjual seluruh alat musik yang ada di rumah, yang sehari-hari digunakan untuk latihan sekaligus untuk manggung. Semuanya, terdiri dari 2 bas jegug, 2 gitar listrik, tiga kendang, 7 biola, 1 arkodeon, belasan suling, organ, tamborin, amplifier, 5 salon duduk dan 7 salon berdiri, serta setumpuk piringan hitam, seluruhnya diperintahkan untuk dijual.
“Ibu saya minta semua barang-barang itu dijual karena tidak sampai hati setiap hari melihatnya. Kasihan abi, kata ibu saya. Maka alat-alat musik itu semuanya kami jual, waktu itu laku Rp 17 juta, pembelinya orang Solo yang langsung mendirikan kelompok musik baru. Dengan uang hasil dari penjualan alat-alat musik itu, ibu saya kemudian berangkat naik haji,” cerita Novel.
Di rumahnya, di Ketapang Ardiguno 12, persisnya di belakang bekas Toko A.Kadir yang berada di Jl. Sasak, tidak ada satupun alat musik peninggalan almarhum. “Yang saya sedihkan, salah satu biola yang ikut dijual tadi sangat istimewa terbuat dari stainless. Itu biola kuno yang suaranya tidak ada duanya, biasa dimainkan sendiri oleh abi. Habis bagaimana lagi, ibu saya sudah bilang jual semuanya, ya sudah kami jual. Tidak ada satupun yang ditinggal untuk kenangan,” cerita Novel.
Kini yang dimiliki Novel sebagai kenangan hanya beberapa piringan hitam produksi Lokananta dan beberapa lembar foto yang diyakini masih ada, tetapi entah ditaruh di mana karena lupa tempatnya. Tidak ada satupun anaknya yang merawat dan menyimpan secara khusus. Ketika Novel membuka dan mencari sesuatu di lemari kabinet yang ada di sudut ruang tamu, dia menemukan enam buku tulis bersampul warna biru, buku tulis jaman dulu yang di bagian depannya ditempeli kertas warna putih untuk menuliskan nama pemiliknya. Pada kertas putih di cover buku tulis itu ada tulisan tangan; Sinar Kemala.
Isi beberapa buku tulis yang lusuh dan banyak noda bekas air itu ternyata sangat berharga. Yaitu lirik-lirik lagu tulisan tangan A.Kadir, lengkap dengan judul dan nama penciptanya. Lirik-lirik lagu itu kebanyakan ciptaan A.Kadir, sebagian lainnya ciptaan Abdul Malik Buzaid dan Fauzi Bakbud, yang tak lain juga pemusik anggota orkes Sinar Kemala. Beberapa lirik lagu hit Sinar Kemala ada di buku tulis itu yaitu Keagungan Tuhan, Penganten Baru, dan lagu-lagu ciptaan A.Kadir lainnya antara lain Pertemuan Pertama, Janjimu, Akhir Pertemuan, Bersuka Ria dan Ke Pulau Bali. Lirik-lirik lagu itu ditulis dengan tinta hitam yang sudah kabur karena tersiram air, dengan tulisan indah, besar dan enak dibaca. Nampaknya buku-buku berisi lirik lagu ini digunakan sebagai contekan bagi penyanyi Sinar Kemala ketika menyanyi di panggung.
Royalti
Sejak dibentuk secara bertahap tahun 1954 hingga bubar dengan sendirinya pada tahun 1985, OM Sinar Kemala telah menghasilkan 18 album piringan hitam yang terdiri dari 13 album lagu-lagu melayu dan 5 album gambus, lagu-lagu dengan bahasa Arab. Semua album itu direkam di Lokananta, Solo.
Bagaimana dengan royalti yang dihasilkan dari 18 album tersebut? Inilah yang menjadi persoalan. Sebagai ahli waris, Novel menegaskan tidak ada serupiahpun dari royalti yang diterima ahli waris A.Kadir. Satu rupiah pun, dari dulu sampai sekarang. Menurutnya, pihak Lokananta memang pernah tiga kali memberi royalti, tapi yang menerima bukan ahli waris, melainkan salah seorang musisi personil Sinar Kemala. Agaknya, menurut Novel, setelah A.Kadir meninggal, musisi tersebut secara diam-diam mengurusnya. Novel menyebut nama musisi bekas anak buah ayahnya itu, tetapi dia minta tidak menulisnya. Apalagi dia sudah meninggal pada tahun 2011.
“Suatu hari,” cerita Novel, “ada salah seorang pimpinan perusahaan Lokananta yang berziarah ke Masjid Sunan Ampel. Karena sedang berada di Ampel, sekaliyan dia bertanya ke kanan-kiri di mana Toko A.Kadir, mau bersilaturahmi dengan keluarganya. Sebelumnya dia memang mendengar A.Kadir memiliki toko. Saat dia datang bersilaturahmi, sekaligus kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya soal royalti. Dia malah balik bertanya, lho apakah keluarga tidak pernah menerimanya? Menurut dia, pihak Lokananta sudah tiga kali menyerahkan royalti, yang diterima sendiri oleh seorang personil Sinar Kemala. Waduh,” kata Novel menceritakan dialognya dengan orang Lokananta ini, beberapa tahun lalu.
“Setelah mendapat penjelasan itu, saya cari musisi tadi dan saya tanyakan soal royalti. Dia membantah. Tapi beberapa waktu kemudian dia datang kepada kami. Ibu saya masih ada waktu itu. Musisi itu menyerahkan uang sebesar Rp 400 ribu, katanya inilah uang royalti yang menjadi hak A.Kadir. Apa? Empat ratus ribu? Kami tahu ente sudah tiga kali mengambil royalti, dan ente cuma kasih empat ratus ribu? Ente yang setiap hari main ke rumah dan dikasih makan sama ana punya abi, tega-teganya melakukan hal itu. Sudah, ente ambil semua uang itu. Ana punya umik tidak mau menerimanya,” kata Novel menirukan ucapan yang dia katakan kepada musisi itu , dengan emosi yang dia luapkan dalam dialek Ampel. “Ibu saya mengiklaskan semuanya, dan sampai sekarang tidak ada royalti untuk lagu-lagu Sinar Kemala,” kata Novel dengan nada yang lebih rendah.
“Suatu hari, Pak Mul, suami Ida Laila yang jadi anggota TNI-AL, datang ke rumah. Dia menyerahkan uang Rp 200 ribu sambil berkata, kami mau pakai dua lagu A.Kadir selama 6 bulan. Kalau uang dari suami Ida Laila itu dianggap sebagai royalti, ya hanya itulah royalti yang pernah kami terima untuk semua lagu ciptaan abi. Tidak ada yang lain” kata Novel. Beberapa tahun lalu pihak keluarga didatangi tiga orang mengaku pengacara, yang akan membantu untuk mengurus royalti lagu-lagu Sinar Kemala. “Kami bilang tidak, kami tidak perlu royalti karena kami sudah ikhlas menyerahkan lagu-lagu A.Kadir kepada masyarakat,” kata Novel.
Ida Laila dan A.Rafiq
OM Sinar Kemala bukan saja membuat lagu-lagu yang hingga sekarang masih dikenang dan dikenal orang, tetapi juga melahirkan para penyanyi yang akhirnya menjadi legenda. Sebut saja Ida Laila dan A.Rafiq. Juga Achmadi yang melejit belakangan. Beberapa orang jebolan Sinar Kemala kemudian mendirikan kelompok musik sendiri, antara lain Fauzi Bakbud mendirikan orkes Sinar Mutiara, dan Achmadi mendirikan Awara. Kedua kelompok tersebut sempat menghasilkan beberapa album rekaman. Tapi bagaimana A.Kadir menemukan dua penyanyinya yang memiliki suara merdu dan kemudian menjadi sangat terkenal yaitu Ida Laila dan A.Rafiq, Novel bin Abdul Kadir Waber mempunyai cerita tersendiri.
Murah Ati adalah seorang wanita yang bekerja di sebuah keluarga yang tinggal di Ampel Cempaka, tetangga A.Kadir. Setiap habis solat Maghrib dia selalu mengaji dengan suara merdu dan dengan tilawah yang enak didengar. A.Kadir yang tinggal hanya berjarak beberapa rumah selalu menikmati suara Murah Ati, hingga akhirnya pada suatu hari dia memberanikan diri untuk mengajaknya latihan musik. Murah Ati bersedia, dan dia selalu hadir setiap Sinar Kemala latihan. Bahkan kemudian A.Kadir menciptakan lagu yang khusus untuk dinyanyikan calon penyanyinya itu.
Setelah diajak manggung, ternyata penampilan Murah Ati dengan Sinar Kemala sangat bagus dan meraih sukses, akhirnya dia menjadi salah satu penyanyi tetap. A.Kadir memberinya nama panggung Ida Laila. Sejak saat itu, nama Ida Laila identik dengan Orkes Melayu Sinar Kemala. Bersama orkes pimpinan A.Kadir ini Ida Laila jadi terkenal, beberapa kali masuk dapur rekaman Lokananta, dengan salah satu lagu yang sangat terkenal yaitu Keagungan Tuhan karya Abdul Malik Buzaid.
Sedang cerita tentang A.Rafiq beda lagi, tapi dia juga ditemukan A.Kadir di Kampung Ampel. Saat itu, sekitar tahun 60an, A.Rafiq adalah seorang perantau yang tidak jelas asal-usulnya, keturunan India. Sehari-harinya dia tidur di masjid kuno dan bersejarah yang ada di Ampel Suci, yang cuma berjarak 100 meter dari Masjid Sunan Ampel. Nama masjid yang ditetapkan Pemkot Surabaya sebagai cagar budaya itu Masjid Gubah, yang di kalangan masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama Langgar Saloom. Di belakang masjid ini ada beberapa makam, dua diantaranya makam Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi yang meninggal 1919 dan Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhar, meninggal 1926. Banyak orang berziarah ke masjid ini, meski tidak sebanyak orang yang ziarah ke Majid Sunan Ampel.
A.Rafiq muda, sebagai perantau, tinggal dan tidur di halaman belakang masjid, berdempetan dengan makam-makam yang ada di situ. Oleh mereka yang masih mengingatnya, A.Rafiq digambarkan sebagai pemuda yang giat bekerja dengan menjual air yang diambil dari sumur di halaman belakang masjid. Dengan kaleng yang dipikul, dia menjual air untuk minum bagi keluarga di sekitar yang memesannya. Sekitar dua tahun A.Rafiq tidur di Langgar Saloom, sampai kemudian dia bertemu dengan A. Kadir yang dengan perlahan menyulapnya menjadi bintang.
“Suatu hari A.Rafiq, yang oleh masyarakat di kawasan Ampel dikenal sebagai penjual air, datang menemui abi dengan membawa kendang. Dia minta ijin untuk ikut berlatih, dan setelah dites dalam memainkan kendang yang dibawanya, dia diperbolehkan ikut berlatih. Dikemudian hari dia kembali menyampaikan keinginannya untuk bernyanyi, setelah dites, dia juga diijinkan untuk menyanyi, bahkan akhirnya dia jadi penyanyi tetap bersama Ida Laila,” cerita Novel, putra A.Kadir. Jadilah bintang yang meninggal Januari 2013 dalam usia 65 tahun itu sebagai penyanyi Sinar Kemala, dengan beberapa lagunya yang kemudian tahun 1975 menjadi hit antara lain Pandangan Pertama, Rahasia Hati, Cinta Pertama dan Kehampaan Jiwa.
Hari Minggu pekan lalu, malam hari, digelar resepsi pernikahan di sebuah hall yang berada di sebuah sekolah, di wilayah Surabaya Utara. Para undangan yang memang khusus wanita memenuhi gedung, dengan dandanan dan pakaian beraneka warna. Musik mengalun dari sound sistem lumayan besar. Terdengar satu lagu yang diputar berkali-kali, sejak pasangan pengantin belum datang ke gedung pertemuan, sampai keduanya duduk di pelaminan.
Marilah kita bersama bergembira/Bernyanyi joget dengan bersuka ria/Kita hilangkan rasa hati nan duka/Dalam malam yang penuh bahagia./Mari bersama kita turut berdoa/Semoga penganten panjang usianya.Panjang jodohnya banyak rezekinya/Tuhan pun memberikan rahmatnya.
Malam penganten yang penuh keindahanannya/Bagaikan pesta di dalam istana/Dengan iringan musik penuh berirama/Mengajak kita ke alam gembira/Lihatlah pengantin tersenyum gembira/Tiada rasa duka. /Bahagianya penganten baru/ Duduk berdampingan bermalu-malu/Kita doakan semoga hidupnya, rukun bahagia selamanya.
Lagu di atas berjudul Penganten Baru yang dinyanyikan duet Ida Laila dan A. Kadir. Di balik lagu yang hingga sekarang masih sering diputar pada resepsi pernikahan ini, ternyata ada kepingan cerita pendek yang menarik, tentang A.Kadir dan OM Sinar Kemala yang didirikan dan dipimpinannya. Alfatihah untuk mereka semua. (m. anis)