984 Pekerja Sosial Adiksi Napza Kemensos Terancam Nganggur
Sekitar 984 pendamping rehabilisasi sosial yang terdiri pekerja sosial dan konselor adiksi di bawah Kementerian Sosial terancam akan menganggur, seiring kebijakan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang menghapus Direktur Rehabilitasi Sosial di Kementerian Sosial.
Di samping itu, sebanyak 187 lembaga Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) bentukan Kemensos akan tutup, karena tidak ada anggaran operasional. Karena itu, Aliansi IPWL se-Indonesia mendatangi Kemensos karena kebijakan-kebijakan Mensos Tri Rismaharini dinilai tidak pro terhadap upaya penanganan narkoba di Indonesia.
Kementerian sosial ketika dipegang Khofifah Indar Parawansa sebagai menteri sosial melalui Dirjen Rehabsos merekrut sekitar 984 pendamping rehabilitasi dengan spesifikasi pekerja sosial, konselor adiksi dan relawan sejak tahun 2015.
Tugas pokok fungsi rekrutan Kemensos itu dimasukkan ke dalam lembaga penerima wajib lapor seluruh Indonesia. Ada sekitar 187 lembaga IPWL yang menampung para pendamping rehabilitasi mulai Aceh hingga Papua.
Hampir 7 tahun Kemensos memberdayakan para pendamping rehabilitasi untuk menjadi tenaga yang profesional. Mereka dilatih berbagai ketrampilan penanganan pecandu narkoba seperti konselor adiksi, assesmen, dan berbagai ketrampilan lainnya. Tentu biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Bahkan ada yang memiliki ketrampilan konselor adiksi yang berstandar nasional.
Mensos Khofifah pada saat itu menyebut bahwa untuk merehab 10.000 penyalahguna narkotika dibutuhkan anggaran sebesar Rp127 miliar. Anggaran itu untuk konselor adiksi dan pekerja sosial yang kurang lebih mencapai 984 orang.
Namun, ketika Menteri Sosialnya dijabat Tri Rismaharini sejak Oktober 2022 Direktorat Rehabilitasi Sosial dihapus. Dirjen Rehabsos dilebur ke dalam dirjen penanganan kebencanaan.
Dengen meleburnya Dirjen Rehabsos ini tentu tugas dan fungsi para tenaga pendamping rehabilitasi sosial ini menjadi tidak jelas. Para pendamping rehabsos ini ditugaskan untuk menangani anak yatim tanpa ada standar operasional prosedur.
"Pendamping rehabilitasi sosial ini dipaksa untuk bekerja multi fungsi dan harus melaksanakan tugas-tugasnya di luar lembaga IPWL. Penugasannya bersifat intimidasi. Mereka diancam dipecat atau tidak diperpanjang kontraknya jika tidak melaksanakannya tugas-tugas di luar lembaga," kata Ade Hermawan, salah satu koordinator aksi.
Tentu, ini membuat ketidaknyamanan pendamping rehabsos. Mereka bingung apa yang harus dilakukan, sementara data soal anak-anak yatim piatu tidak dimilikinya.
"Kami lembaga IPWL diminta untuk membebaskan tugas para konselor adiksi dan pekerja sosial yang sudah 7 tahun bekerja di lembaga ini. Tentu ini berdampak pada kinerja lembaga IPWL yang akan kekurangan SDM profesional. Karena selama ini pekerja Sosial Adiksi Napza dan Konselor Adiksi Napza sangat penting dalam Tim Asesmen Terpadu (TAT)," kata Ade.