9 Ribuan Ujaran Kebencian di Medsos, Menag: Jangan Tinggal Diam
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan 9.545 ujaran kebencian di media sosial. Hoaks dan ujaran kebencian itu diarahkan pada kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan Tionghoa.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengkhawatirkan penyebaran ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) di masyarakat, baik secara online maupun offline. Menurutnya, keduanya merupakan ancaman serius karena dapat mengancam peradaban bangsa.
Ia mengamati ancaman tersebut muncul saat terjadi kontestasi pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden. Salah satunya dengan menggunakan isu agama untuk kepentingan politik dengan memanfaatkan ujaran kebencian dan hoaks.
"Kita banyak menemui hoaks-hoaks yang mempertemukan kepentingan politik dan agama di satu titik. Saya kira ini kalau dibiarkan akan sangat berbahaya," jelas Yaqut Cholil Qoumas, dikutip Kamis 19 Agustus 2021.
Gus Menteri, panggilan akrab Menteri Agama, mengungkapkan hal itu ketika menjadi pembicara kunci dalam webinar digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Menag sempat berdialog langsung dengan peneliti senior CSIS, J Kristiadi dalam seminar daring bertajuk "Api dalam Sekam: Fenomena Ujaran Kebencian di Indonesia".
Gus Yaqut menambahkan ujaran kebencian dan hoaks bukanlah isu yang baru di masyarakat. Karena itu, perlu kolaborasi bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dampak negatif dari ujaran kebencian dan hoaks.
Ketua Umum PP GP Ansor ini juga mengingatkan warga untuk tidak diam saat menemukan ujaran kebencian dan hoaks beredar di masyarakat.
"Padahal kalau kita kembalikan kepada norma-norma agama, justru agama apapun itu memdorong kita untuk menghargai semua perbedaan," imbuhnya.
Temukan 9 Ribuan Ujaran Kebencian di Medsos
Sementara itu, dalam diskusi tersebut terungkap data yang ditemukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga pemikiran yang legendaris ini, menemukan 9.545 ujaran kebencian terhadap kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan Tionghoa.
Direktur Eksekutif CSIS Philips Vermonte mengatakan ujaran kebencian yang tidak dapat dikontrol dapat menimbulkan konflik di masyarakat atau negara. Karena itu, lembaganya membuat aplikasi sistem informasi atau dashboard tentang ujaran kebencian (hatespeech.csis.or.id.)
Ia berharap sistem informasi ini dapat bermanfaat bagi publik, peneliti, serta kementerian dan lembaga sehingga dapat memitigasi potensi konflik di masyarakat.
"Hatespeech (ujaran kebencian) ini berkembang jauh lebih pesat belakangan terakhir difasilitasi teknologi, misalnya media sosial. Kita melihat indikasi meningkatnya hatespeech di platform online yang masih susah kita mitigasi," jelas Philips Vermonte dalam diskusi daring, Rabu (18/8/2021).
Philips menambahkan pembuatan sistem informasi ini melibatkan generasi muda yang melek teknologi dan memiliki pemahaman kondisi terkini. Tujuannya mereka dapat memberikan solusi terhadap persoalan ujaran kebencian di ranah digital.
Paling Sering Alami Kekerasan
Sementara peneliti senior Lina Alexandra menemukan 9.545 ujaran kebencian terhadap kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan Tionghoa di Twitter sepanjang 1 Januari 2019 hingga 31 Juli 2021. Menurutnya, tiga kelompok tersebut banyak mengalami kekerasan akibat maraknya ujaran kebencian di Indonesia.
"Dashboard ini merupakan proyek awal yang baru melihat tiga target grup yaitu kelompok kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan Tionghoa," jelas Lina.
Berdasarkan data CSIS, ujaran kebencian tersebut sebagian besar terjadi pada pertengahan Februari 2019, Januari 2020, dan Juli 2021. Ujaran kebencian yang paling banyak mendapat respons dari warganet yaitu ujaran kebencian terhadap Thionghoa dengan 28.933 disukai, disusul Syiah dengan 4.992 disukai, dan Ahmadiyah dengan 513 disukai.
Sementara konten ujaran kebencian sebagian besar didominasi tanpa video dan tautan sebanyak 77,07 persen, disusul konten video dan tautan 16,8 persen, dan konten tautan 6,13 persen.