9 Hal Penting Pelajaran Ayat Al-Quran Tafsir Aisarut Tafassir
Tafsir Aisarut Tafassir QS Al-Baqarah: 143.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya:
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Baqarah: 143)
Menurut Prof Dr H Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, keutamaan umat Islam dibandingkan umat-umat yang lain, karena umat Islam merupakan umat pertengahan dan pertengahan merupakan syiarnya.
Kedua, kebolehan untuk menguji seorang Mukmin dan memberikan penilaian baginya.
Ketiga, sahnya shalat orang yang tidak menghadap kiblat apabila tidak mengetahuinya, dan dia mendapatkan pahala tanpa perlu mengulangi shalatnya. Walaupun telah shalat selama berbulan-bulan menghadap selain kiblat, selama itu merupakan hasil ijtihad untuk mengetahui arah kiblat dan shalat sesuai hasil ijtihadnya.
9 Hal Nilai-nilai Pendidikan
Al-Quran Surat Al-Baqarah: 143 mengandung sejumlah nilai pendidikan bagi manusia.
Pertama, mendidik kita menjadi hamba yang senantiasa mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, mendidik kita, umat manusia, agar senantiasa memberikan kesaksian karena Allah dan taat akan perintah-Nya.
Ketiga, mendidik kita untuk senantiasa bersyukur serta ridha atas ketentuan Allah. Keempat, mendidik kita menjadi hamba yang berlomba-lomba dalam kebaikan serta mencari hidayah-Nya.
Moderasi beragama
Kitab At-Tafsir al-Maqashidi menyebutkan, moderasi beragama dalam Islam bukan hanya dalam perilaku kehidupan sosial, akan tetapi juga dalam beribadah, berakidah, dan bermuamalah. Sikap moderat merupakan manifestasi ajaran Islam yang Rahmatan Lil Aalamin.
Tidak semua umat memiliki sikap yang moderat, tapi banyak juga yang bersikap intoleran, merasa paling benar dan suka mengafir-kafirkan. Maka perlu kita mengenali ciri-ciri ummatan wasaṭhan yang sangat penting demi mengawal ajaran agama Islam yang moderat dalam kehidupan beragama dan bernegara.
Dalam konteks pendidikan, tujuan pembelajaran mesti membentuk peserta didik menjadi insan kamil (manusia seutuhnya) agar mereka mampu mengelola bumi secara maksimal yang digunakan sebagai sarana beribadah kepada Allah.
Esensi dari pendidikan seyogianya mewujudkan insan kamil dan penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, pewaris para Nabi, dan memberikan bekal yang memadai untuk menjalankan fungsi tersebut. Faktanya, pendidikan Islam telah berhasil membentuk bangsa Arab menjadi ummatan wasathan (umat unggul), umat potensial, umat teladan, dan umat penebar cahaya Islam, sehingga menerangi semesta alam.
Misi risalah Islam yang sekaligus menjadi tujuan utama pendidikan adalah membersihkan dan menyucikan jiwa melalui ma’rifat (pengenalan) kepada Allah, beribadah kepada-Nya dan penguatan ikatan interaksi humanis yang ditegakkan di atas dasar cinta, damai, egaliter dan berkeadilan, sehingga manusia meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Ajaran dalam agama Islam tidak berhenti pada hubungan antara manusia dan Tuhannya semata. Namun Islam juga mengandung ajaran yang mengatur hubungan antarsesama manusia serta hubungan manusia dan lingkungan. Ajaran tersebut dikenal dengan Islam Rahmatan Lil Aalamin.
Namun, praktik pembelajaran di Indonesia hingga kini belum menghasilkan tujuan yang diharapkan. Pembelajaran lebih tendensius pada capaian kognitif saja, tanpa mengutamakan aspek nilai. Eksesnya, hal ini bisa menimbulkan dekadensi moral, etika, dan budi pekerti peserta didik. Lebih lanjut, fenomena radikalisme, ekstremisme, dekadensi moral, rapuhnya kualitas spiritual mewabah dan menggejala sehingga memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan bangsa, terutama hal yang paling mengkhawatirkan karena kalangan peserta didik terlibat di dalamnya.
Dalam rangka mengatasi fenomena tersebut, sistem pendidikan harus mengusung konsep moderasi beragama/menginternalisasikan nilai-nilai wasathiah dalam proses pembelajaran, dengan menjadikan kualitas spiritual berupa keyakinan sebagai arus utama dalam muatan kurikulum, proses pembelajaran dan materi bahan ajar. Jika tidak, hal tersebut bisa menghasilkan sistem pembelajaran yang lemah dan para peserta didik yang kering dari spiritual.
Ciri-ciri orang yang memiliki sikap moderat yang melahirkan khairul ummah (umat terbaik) menurut Ibnu Asyur dalam Maqāṣīd al-Syarī’ah, yaitu: 1) Tawassuṭ (mengambil jalan tengah), 2) Tawazun (seimbang), 3) I’tidāl (lurus dan tegas), 4) Tasammuh (toleransi), 5) Musāwah (egaliter), 6) Syūrā (musyawarah),7) Ishlāh (reformasi), 8) Taṭhawwur wa Ibtikār (dinamis dan inovatif), 9) Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), 10) Tahaḍḍur (berkeadaban).
Nilai-Nilai Wasathiah adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Indikator nilai-nilai wasathiah terdiri atas: Pertama, Tawassuth (Mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak Ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan Tafrith (mengurangi ajaran agama).
Kedua, Tawazun (Berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Ketiga, I’tidâl (Lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
Keempat, Tasamuh (Toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Kelima, Syura (Musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Keenam, Ishlah (Reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman.
Ketujuh, Aulawiyah (Mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal Ihwal yang lebih penting harus diutamakan.
Kedelapan, Tathawwur dan Ibtikar (Dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Kesembilan, Tahaddur (Berkeadaban), yaitu sikap yang mengedepankan akhlak karimah, karakter, identitas, dan integritas.
Moderasi beragama dalam mewujudkan Islam Rahmatan Lil Aalamin menurut Al-Qur’an, yaitu:
Pertama, menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qasas: 77)
Dalam ayat ini ada tiga sikap yang mesti kita miliki sebagai insan beriman, yaitu hidup seimbang dalam mengejar dunia dan akhirat, berkesinambungan dalam berbuat baik, dan tidak melakukan kerusakan dalam kehidupan.
Kedua, umat Islam dituntut memiliki sikap moderat dalam berinfak atau bersedekah.
Yakni memilih jalan tengah antara tidak bersikap menghambur-hamburkan harta (boros) dan tidak pula kikir.
Allah berfirman: وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS Al-Furqan: 67)
Ketiga, berpegang pada Tali Agama Allah.
Allah berfirman:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ الْاَنْبِۢيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi, tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali ‘Imran : 112)
Keempat, tidak menjelek-jelekkan, menghina, dan memaki Tuhan yang disembah oleh penganut agama lain.
Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-An’am: 108)
Kelima, berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.
Allah berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8)
Asbabun Nuzul ayat di atas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair, bahwa suatu ketika Asma, putri tercinta dari sahabat Abubakar Ash-Shiddiq, didatangi oleh ibunya, Qotilah, yang saat itu masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, bolehkah saya berbuat baik kepadanya, menerima kehadiran dan pemberiannya?” Rasulullah SAW menjawab: “Boleh wahai Asma binti Abu Bakar”. Maka turunlah ayat ke-8 surat al-Mumtahanah, sebagai penegasan bahwa bertoleransi, saling menghargai harus tetap dilakukan sekalipun kepada yang berbeda agama.
Keenam, menegakkan kebenaran dan keadilan terhadap siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakuadillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ma’idah: 8)
Ketujuh, senantiasa bermusyawarah.
Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (QS Ali ‘Imran: 159)
Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan, ayat tersebut mengandung tiga cara Rasulullah dalam berdakwah yang berisi pesan moral bagi pemimpin sebuah bangsa: Pertama, Rasulullah senantiasa bersikap lemah lembut, baik terhadap kawan maupun lawan. Kedua, Rasulullah senantiasa bersikap lapang dada, mudah memaafkan dan memohonkan ampunan bagi setiap kesalahan siapa pun. Ketiga, Rasulullah senantiasa mentradisikan hidup bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan.
Dalam As-Siyasah asy-Syar’iyah diungkapkan, “Tidak seorang pun di dunia ini yang paling sering melakukan musyawarah dengan para sahabat kecuali Rasulullah Saw.”
Kedelapan, saling menghargai (toleransi).
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat: 13)
Kesembilan, tidak berselisih pendapat.
Allah berfirman:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat).” (QS Hud: 118)
رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصّٰلِحِينَ
“Ya Tuhanku, berikanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” (QS An-Naml: 19).
Wallahu a'lam bisshowab.
Begitulah Prof Dr H Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia memberikan uraian untuk kita semua.
Semoga bermanfaat.