8 Wasiat Sayidina Ali, Menghindari Malapetaka dalam Hidup
Sayidina Ali bin Abu Thalib Karamallahu wajhahu (Kwa) dikenal sebagai sahabat yang pertama kali masuk Islam di kalangan anak-anak. Ali bin Abu Thalib juga dikenal sebagai “Mustawda’ul ilmi” gudangnya ilmu pengetahuan. Tak salah jika nasihat-nasihatnya yang menjadi rujukan para praktisi pendidikan dalam mendidik siswa.
Suatu ketika, tak jauh dari hari menjelang kematiannya, Sayidina Ali bin Abu Thalib pernah berwasiat kepada anaknya Hasan. Ada delapan perkara yang disampaikannya saat itu. Dengan suara yang sedikit agak parau, Sayidina Ali bin Abu Thalib meminta kepada anaknya untuk menjaga dan mengamalkan delapan perkara tersebut agar hidupnya jauh dari malapetaka.
Pertama, wahai anakku, kekayaan sesungguhnya yang dimiliki oleh manusia adalah akal. Tanpa akal ia tak akan berarti dan sama kedudukannya dengan binatang. Akal adalah harta yang sangat berharga. Gunakanlah akalmu untuk mengamati keajaiban ciptaan Allah dan manfaatkanlah akalmu demi kebahagiaanmu di dunia maupun di akhirat.
Kedua, wahai anakku, kemiskinan sesungguhnya yang dimiliki oleh manusia adalah kebodohan. Karena hal yang paling berbahaya dalam hidup adalah kebodohan. Orang bodoh tidak akan mampu membedakan antara yang baik dan buruk.
Orang bodoh juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus ditinggalkannya sehingga selalu terjerumus dalam keburukan. Jangan membiarkan kebodohan menggeroti hidupmu karena bisa membahayakan hidupmu.
Ketiga, wahai anakku, seburuk-buruknya sifat yang dimiliki manusia adalah sombong. Orang yang menyombongkan diri akan selalu merasa paling benar, sehingga sulit untuk menerima nasehat orang lain. Lepaskanlah sifat-sifat sombong dalam dirimu, agar orang yang ada di dekatmu tidak menjauhimu.
Keempat, wahai anakku, semulia-mulianya keturunan adalah memiliki akhlak yang baik. Karena akhlak adalah segala. Dengan akhlak kamu bisa mendapatkan kedudukan yang di mulia di mata Allah dan manusia. Perbaikilah akhlakmu, bersikaplah secara santun, dan hiasilah dirimu dengan sifat-sifat yang terpuji karena harga diri seseorang terletak pada akhlak dan sopan santunnya.
Kelima, wahai anakku, jangan berteman dengan orang bodoh, karena ia hanya memanfaatkan dirimu dan tidak memberikan manfaat bagimu. Bergaul dengan orang bodoh hanya akan mendatangkan bahaya. Meskipun ia ingin membantumu tapi karena kebodohan dan kedunguannya, justru mempersulit dirimu.
Keenam, wahai anakku, jangan berteman dengan orang kikir, karena ia selalu menjauh saat kamu sangat membutuhkannya. Orang kikir hanya memanfaatkan hartamu. Jika engkau tidak memiliki apa-apa lagi ia akan lari menjauh darimu sehingga engkau tidak mampu memperoleh cita-citamu.
Ketujuh, wahai anakku, jangan berteman dengan orang jahat, karena ia akan selalu mengajakmu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Orang jahat hanya akan menjerumuskanmu kedalam lembah kehinaan.
kedelapan, wahai anakku, jangan berteman dengan pendusta, karena ia ibarat fatamorgana. Dari dekat terlihat jauh dan dari jauh terlihat dekat. Saat engkau berteman dengan orang sering berdusta, engkau akan kenyang dengan janji-janji yang tidak ditepatnya. Awalnya ia membahagiakanmu dengan janji manisnya dan pada akhirnya mengecewakanmu dengan janji palsunya.
Semoga nasihat-nasihat Ali bin Abu Thalib dapat mencerahkan hati dan pikiran kita untuk selalu mawas diri dari hal-hal yang disangka baik tapi ternyata mendatangkan malapetakan buat diri kita sendiri. Delapan wasiat itu cukup untuk menjadi pegangan hidup kita dalam berinteraksi dengan orang di sekitar.
*) Dipetik dari Kitab Mutiara Nahjul Balaghah.
Advertisement