8 Tahun di Indonesia, Pengungsi Rohingya Tuntut UNHCR
Pengungsi Rohingya menggelar aksi damai di depan Kantor Badan PBB UNHCR di Jakarta, menuntut segera disalurkan ke negara ketiga, seperti janji UNHCR. Mereka menuntut tanggung jawab dan keseriusan UNHCR dalam mengatasi masalah mereka.
Perwakilan Pengungsi Rohingya di Jakarta, Kyaw Naing, mengatakan, aksi damai yang dilakukan oleh para pengungsi, dilatarbelakangi sikap UNHCR yang tidak responsif dan terkesan melakukan pembiaran terhadap nasib para pengungsi yang juga didominasi oleh anak-anak.
“Kami melakukan aksi ini adalah terkait isu penempatan ke negara ketiga, karena kami tidak memiliki kehidupan di sini, tidak ada masa depan khususnya bagi anak-anak. Tidak ada kebahagiaan, kami selalu menyampaikan kepada mereka tapi tidak ada tanggapan,” tutur Naing, , saat melakukan aksi damai yang berlangsung di depan kantor badan PBB, Jakarta Pusat, Jumat 26 November 2021.
“Kedua, mereka menderita kekurangan makanan dan bantuan medis. Termasuk, perlu adanya bantuan bagi mereka dengan kondisi kesehatan kritis,” sambungnya.
Naing sendiri merupakan pengungsi Rohingya yang telah berada di Indonesia selama sembilan tahun dan kerap menggalang bantuan dari para donatur untuk memenuhi keperluan para pengungsi.
“Yang ketiga adalah, ketika ada pengungsi yang menikah dengan perempuan Indonesia, maka mereka (UNHCR-red) tidak mau mewawancarai pengungsi itu karena memiliki istri seorang Indonesia. Sehingga, mereka membiarkan para pengungsi ini hingga 10 – 20 tahun. Saya ingin mengetahui apa alasan mereka tidak mau mewawancarai para pengungsi tersebut,” tegas Naing.
Aksi penyampaian aspirasi puluhan pengungsi Rohingya di depan kantor UNHCR, berlangsung damai tanpa pengamanan ketat dari aparat.
Kasus Tak Diperhatikan UNHCR
Hussain Kamal, pengungsi Rohingya, yang telah berada di Indonesia selama tujuh tahun dengan 12 anggota keluarganya, protes. Ia menilai sikap acuh UNHCR lebih kejam daripada tindakan pemerintah di negaranya.
“Pemerintah Myanmar melakukan genosida terhadap kami, tapi UNHCR melakukan hal yang lebih dari genosida. Kami menderita di sini khususnya para petugas UNHCR melakukan genosida kepada kami dan diskriminasi ini kepada para pengungsi,” tegas Hussain Kamal.
Hidup serba kekurangan selama menjadi pengungsi, juga dialami oleh Fazrul Haque, yang tiba di Indonesia pada 2013 dan memiliki seorang anak.
Pria berusia 46 tahun itu bahkan mengalami komplikasi penyakit dan mengharuskannya melakukan pengecekan kesehatan setiap bulannya.
“Uang dari IOM (perbulan). Kalau ongkos bolak-balik ke rumahsakit tidak dikasi. Sudah operasi dua kali, pasang selang operasi ginjal,” ucap Fazrul Haque.
Selain berharap akan ada kejelasan penempatan di negara ketiga, Fazrul turut meminta UNHCR mmeberikan bantuan untuk biaya pengobatannya.
“Aku mau minta tolong UNHCR tolong aku sakit, aku ada anak dan tidak ada yang kasih makan. Aku minta tolong atau negara kita antar atau negara lain. Aku tidak ada negara,” kata Fazrul.
Dalam pantauan sejumlah media, tidak ada satu pun perwakilan UNHCR yang bertemu langsung dengan para pengungsi.
Sementara, beberapa pengungsi memutuskan untuk bermalam di depan depan kantor UNHCR, karena tidak memiliki uang untuk menyewa tempat tinggal.
Kasus Keluarga
Bingung dan kalut, itulah yang dirasakan oleh Muhammad Yunus, seorang pengungsi etnis Rohingya, asal Myanmar, akan kondisi sang istri bernama Hamida, yang baru saja keluar dari rumah sakit.
Hamida yang sedang hamil enam bulan itu, sebelumya berada di rumah sakit karena keluhan sakit jantung dan kekurangan darah.
“Istri saya sakit, ada kali saya 100 kali sudah telepon dan videocall. Katanya UNHCR ini bukan emergency dan sudah dikirim ke puskesmas. Istri saya sakit, tidak ada uang dan saya di sini rumahnya sekarang,” ujar Muhammad Yunus.
Pasangan suami istri itu bergabung dengan puluhan pengungsi etnis Rohingya, untuk menyampakan aspirasi mereka.
Muhammad Yunus yang telah berada di Indonesia selama delapan tahun, mengatakan, mereka terpaksa langsung bergabung dengan pengungsi lainnya dari rumah sakit, serta tidak memiliki tempat tinggal untuk berteduh.
“Aku tidak mau pulang, aku tinggalnya sekarang di sini. Tidak ada rumah, sudah habis semua,” ujar pria kelahiran 1993 ini.
Aksi damai yang turut melibatkan perempuan dan anak-anak Rohingya itu, dilakukan untuk menuntut tanggung jawab UNHCR.