79 Kisah di Balik Liputan Istana, Intip Sisi Lain Wartawan Istana
Menjadi wartawan Istana bukan hanya tentang meliput kegiatan presiden, wakil presiden, dan sidang kabinet. Lebih dari itu, mereka adalah saksi bisu sejarah dan berbagai peristiwa penting bangsa.
Buku "79 Kisah di Balik Liputan Istana" menghadirkan 79 cerita unik dan menarik dari para wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan dari era Soeharto hingga Jokowi.
Suka duka sebagai wartawan Istana Kepresidenan tersebut, terjadi dari era Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Joko Widodo.
Latar belakang yang beragam para wartawan yang menuangkan kisah dan pengalamannya membuat buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Gramedia ini, unik dan menarik. Setiap tulisan memiliki gaya bahasa, dan gaya bertutur yang berbeda.
Pengalaman para wartawan peliput Istana Kepresidenan ini bukan saja memaparkan peristiwa politik yang terjadi di era presiden yang sedang berkuasa, tetapi juga memberi gambaran sisi-sisi lain dari seorang presiden dan lingkungan yang melingkupinya.
Pengalaman seorang wartawan istana yang meliput di era Soeharto akan sangat berbeda dengan wartawan yang bertugas di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Begitu pula pengalaman di era Presiden Habibie, tidak akan sama dengan saat bertugas di era Presiden Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Joko Widodo. Kisah-kisah yang dramatis, tegang, kadang lucu dan sedikit konyol memberi perspektif lain tentang "Istana".
Di era Presiden Soeharto misalnya, seleksi bagi wartawan untuk mendapat izin meliput kegiatan kepresidenan amat sangat ketat. Mulai dari menjalani Litsus dari berbagai instansi badan intelejen negara, menelisik garis keturunan wartawan yang bersangkutan sampai tiga generasi ke atas, hingga aturan berpakaian yang harus ditaati.
Sementara di era Presiden Abdurrahman Wahid meliput di Istana Presiden nyaris tanpa aturan protokoler, namun harus kuat menjadi "penunggu" istana, karena setiap saat presiden punya acara dadakan, dan memberi keterangan.
"Istana seharusnya bisa seperti Kantor Kelurahan, mudah diakses oleh rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi dan persoalannya," kata J Osdar, mantan wartawan Harian Kompas yang bertugas di Istana Kepresidenan dari era Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo.
Terbitnya buku ini berawal dari gagasan seorang wartawan yang pernah meliput di Istana Kepresidenan Maria Karsia. Gagasan tersebut disambut oleh rekan-rekan wartawan lain yang pernah meliput di Istana.
Empat rekan wartawan, Maria Karsia, Tingka Adiati, Elvy Yusanti, dan Tuti Marlina menjadi motor penggerak terwujudnya gagasan tersebut. Tinka, dan Elvy menjadi penyusun dan editor.
Tuti selain bertindak sebagai humas juga mengumpulkan tulisan-tulisan dari para wartawan yang menjadi kontributor. Pencarian foto dibantu oleh wartawan Kompas Suhartono.
Mengajak, menyemangati, dan mengumpulkan tulisan dari rekan-rekan wartawan yang tersebar di berbagai media, dan yang telah berkiprah di bidang lain, bukan soal mudah, perlu upaya dan strategi yang tepat.
Tantangan juga muncul dari menggali kembali ingatan wartawan, karena meski piawai menulis laporan tidak semua wartawan memiliki catatan harian tentang kegiatannya sehari hari.
Ingatan yang ada seringkali hanya sepotong-sepotong dan harus digali kembali oleh tim penyusun agar menjadi cerita yang utuh.
"Mengumpulkan 79 cerita dari para wartawan ternyata tidak mudah, sampai last minute deadline masih ada yang baru setor," tutur Tingka
Usaha yang dirintis sejak bulan Agustus 2023 ini akhirnya membuahkan hasil dengan terbitnya buku sebagai persembahan dari wartawan peliput kepresidenan kepada HUT ke-79 Kemerdekaan Indonesia.
Advertisement