73 Tahun Perjuangan Palestina, Fakta Penjajah Jadi Konflik Lahan
Selain kekuatan politik, dominasi dan hegemoni juga mampu mengubah fakta sejarah. Sebagian masyarakat dunia saat ini banyak yang terbalik dalam memandang bangsa Palestina.
Demikian terjadi pada bangsa Palestina, menurut Duta Besar RI untuk Lebanon Hadjriyanto Y Thohari pada forum Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah, dalam keterangan Senin 24 Mei 2021.
Relasi Kekuasaan dan Ilmu
“Relasi kuasa itu tidak selalu koersif, tapi juga dominasi. Akhirnya orang yang terdominasi mengikuti. Tapi ada yang lebih halus lagi yaitu hegemoni. Karena itu penting bagi kita terus mengakses sumber-sumber informasi,” jelas Hadjri mengutip teori filsuf modern Perancis Michel Foucoult terkait relasi kekuasaan dan ilmu.
Hadjri khawatir dengan berubahnya narasi yang berkembang tentang perjuangan bangsa Palestina dapat mengaburkan posisi masyarakat Indonesia pada Palestina. Karena itu, Hadjri mendorong masyarakat terus mengakses sumber-sumber bacaan ilmiah dan tak lantas percaya dengan narasi umum di media massa.
Menurut Hadjri, penjajahan Palestina secara kasat mata dapat dilihat dari pendirian Israel pada tahun 1948. Pendirian itu adalah akibat dari keruntuhan Ottoman dan kemenangan Inggris dalam Perang Dunia II. Dunia Arab yang dulu adalah wilayah Ottoman pun dibagi-bagi oleh pemenang perang.
Memahami Sejarah Memang Penting
Sebelum masa itu, Amerika dekat dengan setiap negara di Timur Tengah dengan mengirimkan guru, dokter dan insinyur untuk memetakan minyak bumi. Proyek misionari sendiri tidak berhasil, namun mampu mendirikan perguruan tinggi kelas atas di Lebanon, Kairo, Suriah dan negara lain.
Lanjut Hadjri, kedekatan Amerika dengan dunia Arab berakhir setelah Presiden Amerika ke-33 Harry S Truman menyatakan dukungan kepada Israel 4 jam setelah pendirian negara Zionis.
Karena ketidakberdayaannya, negara-negara Arab mendekat pada Soviet. Tapi ketika Soviet runtuh, negara-negara Arab kembali mendekat dengan Amerika. Menurut Hadjri, hal inilah yang membuat negara-negara Arab tidak kompak dalam mendukung Palestina.
Tak cukup memainkan narasi di jaringan media massa, Amerika juga membuat narasi melalui hegemoni dengan negara-negara Arab tersebut.
Wajah Protagonis AS
Amerika menurut Hadjri juga membuat berbagai konvensi dan dokumen sepihak yang mengarahkan pada legalitas posisi bahwa Israel seakan-akan tampil sebagai negara protagonis.
Hal itu menurut Hadjri dapat dilihat pada pengakuan Amerika tahun 2017 terhadap Yerusalem, beserta dokumen Peace to Prosperity tahun 2020 yang menyatakan bahwa Jerusalem adalah milik Israel dan tidak akan dibagi. Perjanjian perdamaian lain yang sepihak juga dilakukan Israel dan Amerika.
“Itulah pentingnya pengetahuan. Karena itu, umat Islam selalu dianjurkan bahkan diwajibkan untuk terus belajar dan tidak berhenti. Mendengar semua informasi dan memilih yang paling baik. Eklektik,” pesan Hadjri.
Selain aktif memahami akar permasalahan Palestina, Hadjri juga mendorong masyarakat terus peduli dengan nasib bangsa Palestina sebagai komitmen terhadap pembukaan UUD 1945.
“Agresif secara fisik harus aktif, tapi juga agresif dalam berinfak. Karena yang agresif dalam berinfak adalah orang-orang kafir juga. Innaladzina kafaruu yunfiquuna amwalahum liyasuddu an sabilillah,” ujar Hajri.