7 Ribu Polisi Berjaga Larang Peringatan Tiananmen Berdarah
Ribuan polisi memberlakukan larangan aksi di Hong Kong pada hari Jumat 4 Juni 2021 untuk memperingati penumpasan Lapangan Tiananmen (Tiananmen Square). Diperkirakan, 7.000 petugas kepolisian berada di jalan-jalan, untuk melakukan operasi penghentian aksi dan pencarian terhadap demonstrans sepanjang hari.
Keputusan Beijing ini menjadikan para aparat menggunakan tank dan pasukan untuk melawan protes demokrasi damai pada insiden berdarah 4 Juni 1989 itu.
Ketika itu, China daratan masih memberlakukan status tradisional Hong Kong sebagai satu-satunya untuk peringatan berskala besar. Sayangnya, kini hal itu tak bisa ditoleransi dan akan dilakukan penjagaan ketat.
Kerumunan Massa di Victoria Park
Selama lebih dari tiga dekade, kerumunan besar telah berkumpul di Victoria Park kota untuk menyalakan lilin, mengingat mereka yang terbunuh dan menyerukan Cina merangkul demokrasi.
Pihak berwenang melarang pertemuan tahun ini dengan alasan pandemi virus corona – meskipun Hong Kong belum mencatat transmisi lokal yang tidak dapat dilacak dalam lebih dari sebulan.
Polisi mengatakan, ribuan petugas akan bersiaga untuk menghentikan "pertemuan yang melanggar hukum" sementara para pejabat juga telah memperingatkan bahwa undang-undang keamanan nasional yang baru dapat diterapkan terhadap peserta Tiananmen, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat 4 Juni 2021.
700 Polisi Berjaga-jaga
Penyiar publik RTHK, mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, melaporkan 7.000 petugas polisi berada di jalan-jalan pada hari Jumat, melakukan operasi penghentian dan pencarian sepanjang hari.
Sementara izin tahun lalu juga ditolak karena pandemi, ribuan orang menentang pelarangan tersebut.
Berdarah-darah dalam Sejarah
Hari ini, 4 Juni, semestinya warga China memperingati peristiwa pembantaian di Tiananmen Square. Dalam peristiwa 31 tahun lalu atau pada 1989, aparat pemerintah komunis China membantai dan menangkap ribuan demonstran pro demokrasi. Pemerintah Tiongkok, hingga hari ini terus berusaha menghapus memori itu dari benak warganya.
Mengutip History, Mei di penghujung 1990-an, hampir satu juga warga Tionghoa yang didominasi mahasiswa berkumpul di Beijing. Mereka menuntut demokrasi yang lebih besar dan menyerukan pengunduran diri para pemimpin Partai Komunis China (PKC) yang dianggap terlalu represif.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah mengakhiri tindak korupsi "legal", menuntut kebebasan pers, hak-hak perkerja dan banyak lagi. Selama hampir tiga minggu, para demonstran terus menyuarakan aspirasinya sambil berbaris dan meneriakkan tuntutan mereka.
Pada 4 Juni, kekacauan pun terjadi. Pasukan China dan polisi keamanan menyerbu Lapangan Tiananmen. Mereka membredel tanpa pandang bulu ke kerumunan massa.
Ketika puluhan ribu siswa muda berusaha melarikan diri dari pasukan China yang mengamuk, demonstran lain melawan. Mereka melempari pasukan dengan batu dan menjungkirbalikkan kendaraan militer. Salah satu momen ikonik yang terjadi adalah ketika salah seorang dengan berani mencegat tank baja yang hendak merangsek masuk ke Tiananmen Square.
Para wartawan dan diplomat Barat yang berada di tempat kejadian memperkirakan setidaknya tiga ratus dan mungkin ribuan para pengunjuk rasa terbunuh. Sementara, sebanyak sepuluh ribu orang dibekuk aparat.
Hingga saat ini, pemerintah China seolah masih berupaya untuk menghapuskan memori kolektif masyarakat soal peristiwa Tiananmen Square. Pemerintah China, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi warganya memperingati peristiwa tersebut.