67 Tahun Emha Ainun Nadjib, Ini Pesan Habib Anis Sholeh Pati
Emha Ainun Nadjib, pejalan ruhani yang dikenal sebagai Kiai Mbeling, hari ini Rabu, 27 Mei 2020 bertepatan dengan hari kelahirannya ke-67. Meski tak dirayakan secara nasional, namun ada juga yang tetap mengingatnya. Tak terkecuali kawan dekatnya, Habib Anies Sholeh Ba'asyin.
"Sejak mengenalnya di tahun 1980 sampai sekarang, 40 tahun kemudian; saya melihat kombinasi kecintaan pada Allah dan RasulNya, sikap zuhud dengan kesetia-kawanan dan empatinya yang tinggi pada rakyat kecil; tak berubah. Selamat memasuki usia ke-67 Cak. #67TahunCakNun," tulis Habib Anis Sholeh Ba'asyin, pada akun facebooknya, Rabu 27 Mei 2020.
Nama aslinya, Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Dikenal sebagai penyair, dan penulis kolom paling produktif di pelbagai media, termasuk Tempo, Surabaya Post dan Jawa Pos, dan sejumlah media nasional lainnya.
Walaupun keilmuannya mumpuni, Cak Nun -- panggilan akrabnya -- tak pernah mau dipanggil dengan sebutan kiai . Ia memang bersahabat dengan banyak kiai besar di seluruh Nusantara. Tetapi ia lebih senang dipanggil Cak Nun atau belakangan akrab dipanggil Mbah Nun.
Cak Nun merupakan sebutan akrab di daerah Jawa Timur. Dengan hanya dipanggil Cak, ia merasa dirinya bisa lebih mudah berbaur dengan masyarakat dan begitupun sebaliknya.
Dia adalah sosok yang tak senang dipuji, disanjung terlebih dihormati secara berlebihan. Menurutnya semua orang berhak duduk bersama, menikmati hidangan bersama, tertawa bersama, dan berdiskusi bersama dalam satu tempat yang tidak ada pembedaan kedudukan.
Sebagaimana dirinya yang disebut sebagai budayawan, maka pemikirannya tak jauh dari budaya itu sendiri. Berawal dari kegelisahannya terhadap apa yang sedang dan sudah terjadi di masyarakat membuat Mbah Nun lebih agresif untuk membongkar dan mendekonstruksi pemikiran masyarakat.
Seperti dilansir situs Cak Nun, budaya merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Dalam berbagai kesempatan, Mbah Nun menjelaskan bahwa budaya merupakan paduan dari sesuatu yang nampak dengan sesuatu yang tidak nampak.
Bahkan yang sangat mempengaruhi sesuatu yang tampak adalah sesuatu yang tidak nampak. Itulah yang harus dirubah dan dikonstruksi. Masyarakat harus sadar betul bahwa semua yang terjadi dipengaruhi cara berpikirnya.
Tetapi ia seringkali dianggap menyalahi aturan karena masih banyak orang yang belum bisa mencerna apa yang disampaikannya.
Kebanyakan yang menjadi kritikan olehnya adalah masyarakat sendiri. sebab ia tidak mau melihat masyarakat yang kebanyakan dari mereka lebih suka ikut-ikutan. Bahkan untuk istilah kafir yang sering dilontarkan oleh kaum muslimin sendiri untuk muslim lainnya dianggapnya sebagai penodaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Hal yang paling diperjuangkan Mbah Nun adalah persoalan persatuan. Oleh karena itu, di saat banyaknya masyarakat yang saling menyalahkan dengan menuduh kafir, sesat, bid'ah dan lain sebagainya maka dirinya tidak akan tinggal diam.
Menurut Mbah Nun, sebelum seseorang memutuskan untuk belajar agama, maka telebih dulu ia harus belajar menjadi manusia.
Manusia adalah orang yang memiliki hati, rasa, jiwa, ruh, pikiran dan raga. Kesemuanya itu harus digunakan untuk menyikapi segala apapun yang terjadi. Masing-masing komponen itu harus dipelajari sedetail mungkin. Dalam kata lain, Mbah Nun mengajak manusia untuk mempelajari dirinya sendiri.
Mengerti dirinya sendiri akan mengantarkan seseorang untuk bisa mengerti orang lain. Dalam penjelasan sederhananya, Mbah Nun sering mengibaratkan bahwa kalau dirinya tidak suka dipukul maka tidak boleh memukul. Kalau tidak suka dihina maka jangan menghina. Jika tidak mau dicubit maka jangan mencubit dan begitupun seterusnya.
Baginya, klaim pengkafiran dan istilah penistaan lainnya akan memicu perpecahan. Padahal semangat perpecahan itu sudah digencarkan oleh kaum zionis yang dibelakangnya adalah kaum Yahudi.
Hasilnya, dengan banyaknya umat Islam sendiri yang saling tuduh, justru akan mempermudah kaum Yahudi untuk memporakporandakan umat Islam. Hal inilah yang sangat disayangkan Mbah Nun.
Semangat yang digaungkan Mbah Nun adalah semangat persatuan sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh para ulama zaman dulu. Mbah Nun sangat mengutuk masyarakat yang tidak tahu apa-apa tetapi ikut-ikutan melakukan penuduhan, klaim dan penistaan yang berujung sampai kepada pertengkaran dan permusuhan.
Oleh karena itu, untuk bisa mengenduskan pemikirannya ke benak setiap lapisan masyarakat, Mbah Nun kemudian membentuk Kiai Kanjeng. Mbah Nun memilih jalur musik sebagai media dakwahnya karena dirasa lebih bisa familiar dengan masyarakat. Sudah banyak model dakwah yang melalui mimbar-mimbar.
Musik yang dipilihnya pun bernuansa budaya sebagaimana salah satu sahabat baiknya Habib Anis Sholeh Ba'asyin asal Pati yang juga menggunakan media dakwahnya orkes puisi Sampak GusUran.
Keduanya memang merupakan dua badan tetapi seperti satu jiwa. Pemikiran keduanya hampir sama. Dan melalui syair-syairnya itu, Mbah Nun mencoba mendeklarasikan sebuah perubahan sudut pandang.
Mbah Nun memahami bahwa tidak semua orang bisa mencerna dengan baik maksud dari syair-syairnya. Oleh sebab itu di sela-sela pementasan atau di akhir pementasan biasanya akan diisi dengan penjelasan dari maksud puisi atau syairnya.
Tidak hanya itu, sebagai oran yang menggaungkan nilai-nilai kebudayaan, maka di tengah-tengah pentasnya, cak nun mengajak audiens atau penonton untuk berdiskusi.
Selain untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman masyarakat, cara ini juga sangat efektif untuk membuat dirinya akrab dengan masyarakat. Kedekatan itulah yang disebutnya sebagai paseduluran . Istilah yang satu ini menjadi semangat berjuangnya dan juga ingin ditancapkan kepada setiap masyarakat.
Advertisement