60 Tewas di Sudan, Begini Langkah Militer Lindungi Warga Sipil
Situasi di Sudan mulai menegangkan. Pemerintah Sudan segera menempatkan pasukan militer, di Kota Masteri, Utara Beida, Darfur, Sudan, setelah terjadinya penyerangan terhadap warga sipil setempat, Sabtu 25 Juli 2020.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), Minggu 26 Juli 2020, menyatakan setidaknya 60 orang tewas dan 60 lainnya luka-luka dalam serangan yang dilakukan oleh sekitar 500 pria bersenjata itu.
Dalam pernyataannya OCHA turut menyebut serangan menargetkan Kelompok Masalit, yang merupakan komunitas lokal.
“Serangan menargetkan para anggota komunitas lokal, Masalit, menjarah dan membakar rumah-rumah dan beberapa bagian dari pasar setempat,” tambah penyataan OCHA dilansir NDTV, Selasa 28 Juli 2020.
Menurut OCHA, para anggota Kelompok Masalit menyatakan tidak akan mengubur jenazah-jenazah hingga otoritas pemerintah setempat mengambil langkah nyata.
“Menyusul serangan hari Sabtu di Masteri, sekitar 500 orang lokal melakukan protes menuntut perlindungan lebih dari pihak berwenang,” terang OCHA.
Dua hari setelah serangan terjadi, Minggu 26 Juli 2020, Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok, mengumumkan, akan menempatkan pasukan militer pasca serangan.
“Sudan akan mengerahkan pasukan keamanan ke Darfur yang dilanda konflik untuk "melindungi warga dan musim pertanian" setelah serangkaian serangan,” tegas Hamdok dilansir Aljazeera.com.
Penempatan pasukan militer itu akan dipusatkan di lima wilayah di Darfur.
“Pasukan keamanan bersama akan dikerahkan di lima negara bagian wilayah Darfur untuk melindungi warga selama musim pertanian. Pasukan itu akan mencakup pasukan tentara dan polisi, katanya,” kata kantor Hamdok dalam sebuah pernyataan.
Sementara, serangan yang menyasar Komunitas Masalit pada Sabtu lalu, turut menewaskan anak-anak bersama para orang dewasa ketika kembali ke ladang untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun terakhir.
Darfur merupakan wilayah di Sudan yang dilanda konflik mematikan sejak 2003, akibat adanya perlawanan dari etnis minoritas Suku Kulit Hitam yang menuduh Presiden Omar al-Bashir meminggirkan daerah itu.