6 Tips Menilai Lembaga Survei yang Layak Dilirik
Perdebatan soal lembaga survei yang dianggap tak independen ditambah dengan klaim Prabowo yang menyebut menang secara real count internal, membuat sebagian publik jadi ragu.
Mana yang benar? Yang benar tentu saja, kita harus menunggu penghitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sayangnya baru sebulan akan datang KPU akan mengumumkan siapa yang menang dalam pemilihan umum ini.
Namun sembari menunggu pengumuman resmi KPU yang masih lama, publik biasanya menjadi sandaran informasi dari lembaga survei yang melakukan hitung cepat alias quick count. Lalu bagaimana menilai sebuah lembaga survei itu kredibel?
Asal tahu saja, lembaga survei itu ternyata mempunyai organisasi induk. Namanya Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Persepsi juga mempunyai Dewan Etik.
Dewan Etik ini yang kemudian akan melakukan audit terhadap lembaga-lembaga survei yang dianggap memberikan informasi yang "sesat".
Anggota Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk, seperti dikutip dari tempo.co bercerita pada pilpres 2014, banyak lembaga survei anggota Persepi melakukan hitung cepat.
Namun, ada dua lembaga yang hasilnya berbeda yakni Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia. Puskaptis dan JSI menyatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa mendapatkan suara lebih banyak ketimbang Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sedangkan mayoritas lembaga survei lainnya menyatakan Jokowi-Jusuf Kalla unggul.
Persepi kemudian berinisiatif mengaudit perbedaan hasil hitung cepat itu. “Supaya soalnya menjadi jelas.” Hamdi mengatakan saat itu Persepi meminta seluruh anggotanya mempertanggungjawabkan hasil hitung cepat di depan dewan etik. Dewan etik menguliti mulai dari metode sampling, hingga pengumpulan data. Hamdi mengatakan hampir semua lembaga survei datang. Hanya JSI dan Puskaptif yang emoh diaudit.
Hamdi Muluk berbagi tentang cara untuk memahami hasil survei yang kredibel dan dapat dipercaya. Berikut lima cara memahami lembaga survei kredibel versi Persepi:
1. Institusi kredibel
Lihat apakah institusi di belakangnya juga merupakan institusi yang kredibel. Hal ini dapat dijadikan patokan karena institusi besar yang kredibel, tidak akan merusak reputasi mereka dengan merilis hasil survei yang menyesatkan.
"Jelas sebuah lembaga yang besar tidak mungkin melakukan perbuatan tercela," ujar Hamdi. Perbuatan tercela itu seperti menyesatkan informasi, mengaburkan fakta, mengaburkan opini, menerima order-orderan politik murahan. “Itu taruhan dari sebuah lembaga besar yang kredibel.
2. Kompetensi peneliti
Institusi kredibel juga akan memperhatikan kompetensi para penelitinya. Setidaknya para peneliti akan diseleksi baik dari segi keilmuan, kompetensi, dan lulusan institusi mana. Hamdi percaya orang dengan almamater institusi besar tidak akan menyalahgunakan ilmunya. "Dokter dari Harvard misalnya, apa dia akan menyalahgunakan ilmunya? Ini juga jadi patokan bagi saya."
3. Tergabung dalam asosiasi
Seperti halnya dokter, advokat, atau jurnalis, lembaga survei, menurut Hamdi perlu tergabung dalam sebuah asosiasi. Tujuannya adalah agar ada fungsi kontrol dari asosiasi agar lembaga itu tetap kredibel di mata masyarakat. Selain itu juga ada fungsi kontrol diri sendiri dari kekeliruan.
Hamdi mengakui lembaga survei hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang. Tetapi ia menekankan tetap perlu ada kesadaran di antara komunitas penyelenggara survei itu berhimpun. Untuk itu pula dibentuk dewan etik karena asosiasi yang berhak untuk mengaudit lembaga survei yang menjadi anggotanya. "Tetapi kalau tidak tergabung dalam persatuan, itu tidak ada kewajiban kami audit."
4. Telusuri Reputasi
Masyarakat perlu kritis dan aktif menelusuri reputasi dan rekam jejak lembaga survei. Reputasi ini penting, untuk melihat apakah semua produk-produknya sesuai dengan kaidah akademik, sehingga layak dipercaya.
5. Metodologi
Cek metode yang digunakan. Lembaga survei, ujar Hamdi, harus jujur terhadap metode yang digunakan. Berapa sampel yang diambil, bagaimana prosedur pengambilan sampel, dan berapa margin error yang bisa ditoleransi.
Hamdi mengimbau masyarakat agar tidak terkecoh dengan jumlah sampel besar. Ia mengatakan para ilmuwan sudah menetapkan 1.200 merupakan sampel yang sudah mumpuni dalam sebuah penelitian jajak pendapat. Lebih dari itu, kata dia, hanya akan berefek pada penurunan jumlah margin of error, itu pun tidak signifikan.
Metode pengambilan sampel adalah hal penting. Pengambilan sampel harus dilakukan secara random atau acak. Apabila pengambilannya bias, atau dalam konteks pemilu, sampel diambil dari basis pemilih paslon tertentu tentu hasilnya pun akan bias.
6. Cek Hasil Lembaga Survei lain
Penting membandingkan hasil survei satu lembaga, dengan lembaga lainnya. Bila ada beberapa lembaga survei dengan kredibilitas baik telah menyatakan hasilnya dan tidak jauh berbeda. Kemudian muncul satu, dua lembaga dengan hasil yang sangat kontras, menjadi wajar bila lembaga 'nyeleneh' ini dikritisi.
"Kalau ada empat sampai enam lembaga yang sudah punya rekam jejak bagus mengatakan hasilnya begini, lalu tiba-tiba satu lembaga hasilnya nyeleneh, setelah kita telusuri rekam jejaknya, siapa orang di belakangnya, dan hasilnya tidak jelas, wajar dong dikritisi dengan keras," ujar Hamdi.
Advertisement