6 Politikus dan Akademisi, Bicara Peluang Pemakzulan Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan publik. Secara umum, dalam penilaian sejumlah akademisi dan politisi, Presiden Jokowi dinilai tengah mencoba melanggengkan politik dinasti karena putra sulungnya Gibran Rakabuming maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Apalagi, Gibran bisa maju sebagai cawapres lewat putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dalam praktik pengambilan keputusan melanggar etik seperti yang dinyatakan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Para akademisi dan para politikus mulai mengembuskan potensi pemakzulan terhadap Jokowi. Selain karena isu politik dinasti, juga adanya tudingan ketidaknetralan pemerintah dalam pemilihan umum alias Pemilu 2024.
Cawe-cawe politik Jokowi memang berbuntut panjang. Perilaku itu dilihat oleh banyak pihak sebagai ketidaknetralan Jokowi sebagai penyelenggara negara.
Munculnya isu pemakzulan, seiring wacana hak angket dan pemakzulan mengemuka ke publik menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga sarat kepentingan sebagian pihak.
Putusan MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu terjadi hanya 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran peserta Pilpres 2024. Belakangan putusan ini terbukti cacat secara etik.
Putusan MK tersebut terbukti untuk memberikan jalan bagi putra bungsu Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Suatu putusan yang kemudian berbuntut kepada pelaporan paman Gibran, Anwar Usman, ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK).
6 Tokoh Bicara Pemakzulan Presiden
Wacana pemakzulan meluncur, di antaranya dari politikus kawakan, yang termasuk orang yang pernah berada di sekeliling Jokowi. Salah satunya adalah Wakil Presiden (Wapres) Ke-10 dan Ke-12 Jusuf Kalla.
Berikut rangkuman Ngopibareng.id , adanya suara-suara tentang kemungkinan Pemakzulan Presiden. Selain Jusuf Kalla, ada lima tokoh, akademisi dan politikus. Jazilul Fawaid, Bivitri Susanti, Feri Amsari, Mardani Ali Sera, dan Masinton Pasaribu.
1. Jusuf Kalla: Ada Krisis Politik
Jusuf Kalla bicara sangat tegas. Politikus dan penguasa asal Sulawesi Selatan ini memberikan lampu kuning terhadap jatuhnya pemerintahan Presiden Joko Widodo karena dipicu oleh krisis politik dan ekonomi.
Menurutnya, pada era Presiden Soekarno, masa pemerintahannya jatuh akibat krisis politik yang terjadi pada 1966. Hal itu terjadi lantaran masyarakat geram melihat sejumlah orang ditangkap dan harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi.
"Dua krisis bersamaan timbul, [krisis] politik terjadi, ekonomi terjadi waktu yang bersamaan maka jatuh lah suatu pemerintahan. Artinya, demokrasinya tidak jalan, tujuannya tak jalan, yaitu kesejahteraan," ujarnya saat hadir di acara Habibie Democracy Forum di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (15 November 2023).
Pada 1998, dia melanjutkan bahwa situasi serupa dialami Presiden Ke-7 RI Soeharto yang pendekatan otoriternya dikecam banyak pihak. Hal itu diperparah lantaran Indonesia pun dihantam oleh krisis keuangan dunia.
Oleh sebab itu, dengan berkaca pada situasi saat ini, hampir semua orang memprotes kemunduran demokrasi, persoalan ini dapat berujung munculnya krisis politik.
Apalagi, dia menilai bahwa di masa kepemimpinan saat ini ekonomi dunia tengah dalam kondisi yang sulit. Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun seringkali menyebut ekonomi dunia dalam kondisi yang mengerikan.
"Kalau ini dampaknya bersamaan, maka kita harus hati-hati [potensi pemerintahan jatuh]. Artinya kembali ke jalur demokrasi yang baik," pungkas JK.
2. Jazilul Fawaid: Soal Etika Politik
Suara-suara serupa juga muncul dari politikus PKB, Jazilul Fawaid. Jazilul mengungkapkan sulit membedakan presiden sebagai kepala negara dan pemerintah dengan presiden sebagai kepala keluarga.
Menurut wakil ketua umum PKB ini, masyarakat menjadi kurang percaya dengan lembaga-lembaga politik negara saat ini seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga lembaga kepresidenan paska putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Misalkan katakanlah ya, sulitkan membedakan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus pada saat yang sama menjadi kepala keluarga. Itu memang agak sulit itu," ungkap Jazilul.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar lembaga kehakiman tetap menjaga netralitas. Mereka, lanjutnya, tidak boleh memutuskan perkara yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan.
Lebih lanjut, dia pun mengingatkan agar setiap pemegang kekuasaan tetap menjaga etika politik. Jazilul meyakini setiap penguasa bisa diturunkan dari jabatannya apabila sudah melupakan etika.
"Kalau di UUD, perbuatan tercela itu bisa mengakibatkan presiden bisa diturunkan, jelas di situ perbuatan tercela. Tercela itu enggak tahu saya apa, itu kan mesti subjek soal-soal yang pengaruhi secara etik, termasuk juga hakim konstitusi bila melakukan perbuatan tercela, termasuk DPR," jelasnya.
3. Suara Akademisi, Feri Amsari
Feri Amsari, Akademisi Universitas Andalas, mengatakan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo sudah memenuhi unsur konstitusi. Feri menyebut presiden secara kasat mata terlibat dalam upaya pemenangan pasangan Prabowo Subianto dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan presiden 2024. “Seluruh konteks dan unsur-unsur pemakzulan sudah terpenuhi,” kata Feri.
Situasi itulah yang membuat Feri sulit berharap pemilihan umum (Pemilu) 2024 berjalan sesuai semangat konstitusi, yaitu Pemilu bersih dan mandiri. Demikian dikutip dari Tempo, Sabtu, 18 November 2024.
Keterlibatan aparat kepolisian, skandal bekas Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adik ipar Presiden Jokowi, pemanggilan para menteri, pembiaran kampanye di luar jadwal, dan pemanggilan pejabat daerah sudah bisa menjadi bukti konkret.
Selain itu, tindakan Presiden Jokowi yang mengatakan anaknya Gibran Rakabuming Raka tidak akan masuk politik, tetapi malah menjadi Wali Kota dan sekarang calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto bisa dijadikan bukti juga.
“Pilihannya keberanian politisi (di parlemen) menegakkan konstitusi dan berhadapan dengan rezim totalitarian Jokowi,” kata Feri.
Menurut Feri, pemakzulan presiden bisa diposisikan sebagai upaya politis. Feri mengutip dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 79, 199, dan 200.
Adapun, pasal 200 berbunyi,” Hak Angket yang dimaksud dalam pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih satu 1 fraksi.
4. Bivitri Susanti: Itu Upaya Bagus
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan ide pemakzulan terhadap Presiden Jokowi upaya bagus. “Peluang pemakzulan sangat layak dilanjutkan,” kata Bivitri. Dengan pengawasan yang sangat serius.”
Menurut Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, Dewan Perwakilan Rakyat bisa segera menggunakan hak angket dan interpelasi. Hak itu dimiliki DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kendati demikian, upaya pemakzulan itu, menurut Bivitri, ada proses yang diatur dalam UU, terutama bukti yang konkret dan dinyatakan secara terbuka oleh presiden Jokowi sebagai alasan pemakzulan.
Dalam peluang ini, kata Bivitri, DPR bisa menggunakan alasan salah satunya seperti pernyataan Presiden Jokowi yang menggunakan lembaga negara, seperti Badan Intelijen Negara untuk memantau partai-partai politik, seperti yang Jokowi katakan pada September lalu.
“Isunya harus riil, bisa dibuktikan, dan erat kaitannya dengan Jokowi sendiri sebagai presiden,” kata dia.
5. Politikus PKS, Mardani Ali Sera
Saat ini, menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuka peluang pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi ketika terang-terangan menyalahgunakan lembaga negara untuk memenangkan salah satu pasangan dalam pemilihan presiden 2024.
Politikus PKS Mardani Ali Sera membuka opsi pemakzulan terhadap Jokowi jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.
"Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2023.
6. Politikus PDIP, Masinton Pasaribu
Di sisi lain, Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR RI Masinton Pasaribu merasa putusan MK nomor 90 itu sebagai tragedi konstitusi. Dia merasa MK telah mempermainkan konstitusi dengan pragmatisme politik yang sempit.
"Saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi, dan demokrasi ini. Ini kita berada dalam situasi yang ancaman konstitusi," ujar Masinton dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (31 Oktober 2023).
Bagaimana pun, suasana dan sikap para tokoh, akademisi, dan wakil rakyat, telah berkembang di masyarakat. Bagaimana selanjutnya, tergantung langkah nyata yang mereka lakukan di lembaga wakil rakyat di Gedug Senayan, Jakarta.
Advertisement