6 Hal Penting, Tak Bermazhab dan Pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Pokok-pokok penting yang terkandung dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Menurutnya, berdasarkan Muktamar Khusus 1986 di Solo, dirumuskan 16 pokok manhaj tarjih. Namun, setidaknya hanya enam hal atau poin penting, yang perlu diketahui secara umum.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Asep Sholahuddin menerangkan sebagai berikut:
Pertama, Dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah Al-Quran dan al-Sunnah al-maqbulah.
Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
Kedua, Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian, pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat.
“Keputusan dilakukan secara musyawarah, tidak dilakukan secara pribadi. Ini cerminan sebagai sebuah organisasi, maka di Muhammadiyah segala sesuatu yang menyangkut putusan dilakukan secara musyawarah,” terang Asep dalam Pengajian Malam Selasa yang diselenggarakan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, seperti dilansir muhammadiyah.or.id.
Ketiga, Tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab.
Hal itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Keempat, Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar.
Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapa pun akan diterima.
Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
Kelima, Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara al-jam’u wa al-taufiq.
Dan kalau tidak dapat, baru digunakan tarjih.
Keenam, Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
“Ketika Muhammadiyah memahami dalil yaitu Al Quran dan Hadist, maka Muhammadiyah menggunakan dengan cara komprehensif. Artinya, dalam memahami sebuah dalil itu dilakukan dengan istilah istiqra ma’nawi atau mengumpulkan semua dalil yang berkaitan dengan suatu masalah,” tutur Asep.