6 Desa Disapu Puting Beliung, 32 Rumah Rusak
Warga di enam desa di Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo melakukan kerja bakti menyingkirkan reruntuhan bangunan dan pohon yang tumbang, Senin, 19 November 2018 pagi. Hal itu mereka lakukan pasca desa-desa itu disapu angin puting beliung, Minggu sore, 18 November 2018.
"Kami menerima laporan, sedikitnya enam desa di wilayah kami dilanda angin puting beliung. Tidak ada korban jiwa, hanya saja sedikitnya 32 bangunan rusak, sebagian besar rumah. Empat di antaranya rata dengan tanah," ujar Camat Krejengan, Rachmad Hidayanto, Senin pagi.
Keenam desa yang dilanda bencana itu meliputi, Opo-opo, Seboro, Karangren, Sumberkatimoho, dan Kedungcaluk. Pihak Kecamatan Krejengan hingga kini dengan menggandeng Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Sosial (Dinsos) masih mendata kondisi ke enam desa itu pasca dilabrak angin puting beliung.
Berdasarkan catatan, dari enam desa yang "disambangi" angin puting beliung, kerusakan paling besar terjadi di Desa Rawan. Menurut sejumlah warga, angin yang oleh masyarakat Probolinggo disebut "lak-palak taon" itu mulai bertiup kencang setelah ashar.
"Yang jelas, pasca orang-orang turun dari masjid untuk shalat ashar, angin bertiup kencang, banyak rumah rusak, pepohonan tumbang," ujar Kepala Desa (Kades) Rawan, Mushtafa. Diawali hujan ringan, tidak seberapa lama angin kencang menderu-deru.
Tidak hanya rumah, bangunan penggilingan padi (selep) dan mushala di Desa Rawan juga rusak. "Jaringan listrik juga terganggu, akibatnya malam hari suasana desa gelap gulita," kata Mushtafa.
Di Desa Rawan, angin puting beliung melabrak tiga dusun yakni, Dusun Semar, Dusun Pette dan Dusun Krajan. Belasan pohon di tiga dusun itu juga tumbang, sebagian menimpa bangunan dan jaringan listrik.
Di antara rumah yang mengalami kerusakan sangat parah adalah milik Jumiati, 44 tahun, warga Desa Rawan. Rumah berukuran sekitar 11 x 5 meter milik mantan tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia itu rata dengan tanah.
"Saya sekeluarga langsung keluar rumah begitu sejumlah tetangga berteriak-teriak, ada angin puting beliung," ujar Jumiati. Ia mengaku, hanya bisa menangis menyaksikan reruntuhan rumahnya.
Karena rumahnya sudah tidak bisa dihuni, Jumiati dan suaminya, Supriadi, 46 tahun, dan anak semata wayangnya langsung mengungsi ke rumah kerabatnya. "Malamnya kami tidur di rumah kakak ipar karena rumah saya sudah rata dengan tanah," ujarnya. (isa)
Advertisement