5 Negara Bangkrut Senasib dengan Sri Lanka
Sri Lanka mengalami kebangkrutan. Negara berpenduduk 22 juta orang itu berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk karena kehabisan devisa untuk bayar utang luar negeri yang mencapai Rp 754,8 triliun. Sri Lanka tidak bisa membiayai impor yang paling penting, termasuk makanan, bahan bakar minyak, dan obat-obatan.
Sri Lanka bahkan telah menutup sekolah dan menghentikan layanan yang tidak penting selama dua pekan ke depan sejak Senin, 20 Juni 2022 waktu setempat. Penyebab Sri Lanka bangkrut karena runtuhnya perekonomian negara tersebut.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan melakukan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) adalah jalan satu-satunya agar negara ini bisa kembali pulih.
Di sisi lain, masyarakat dan mahasiswa pun sudah melakukan protes berbulan-bulan yang meminta Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa untuk mundur karena dituduh korupsi dan salah mengurus negara.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga melakukan upaya tanggap darurat untuk memberi makan ribuan perempuan hamil yang menghadapi kekurangan pasokan makanan di Sri Lanka.
Kebangkrutan sebuah negara karena gagal membayar utang luar negeri menjadi momok di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain Sri Lanka, kebangkrutan sebenarnya pernah dialami sejumlah negara. Bahkan, kebangkrutan terjadi jauh sebelum ketidakpastian ekonomi global akibat perang dan pandemi.
Berikut ini daftar negara yang bangkrut karena utang:
1. Yunani
Yunani tak bisa membayar utang senilai Rp 1.987 triliun pada 2012 lalu. Yunani disebut menyandang status bangkrut pada 2015 karena utang terus meningkat hingga Rp 5.184 triliun. Kenaikan utang membuat jumlah orang miskin di Yunani melonjak.
Jumlah tunawisma naik hingga 40 persen pada 2015. Sementara, pengangguran naik dari 10,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada 2014. Yunani kini mulai kembali ke pasar obligasi internasional sejak 2017. Negara itu sempat menghilang akibat krisis utang.
2. Argentina
Argentina dinyatakan gagal bayar (default) karena tak bisa melunasi utang ke kreditur. Hal ini berawal dari kebijakan pemerintah Argentina yang mematok 1 dolar Amerika Serikat (AS) sama dengan 1 peso Argentina. Namun, mata uang Argentina dengan dolar AS menjadi tidak akurat. Situasi itu menimbulkan kepanikan, sehingga banyak masyarakat yang menarik uang di bank.
Argentina mengajukan utang ke IMF untuk menangani krisis ekonomi yang sedang terjadi saat itu. Krisis terjadi lantaran kenaikan inflasi yang signifikan, sehingga mata uang peso Argentina anjlok hingga 40 persen sepanjang 2018.
Sementara, Argentina mengungkapkan tak bisa membayar utang ke IMF sebesar Rp648 triliun pada tahun ini. Pemerintah mengaku tak memiliki dana untuk membayarnya.
3. Zimbabwe
Zimbabwe terlilit utang hingga Rp 64,8 triliun pada 2008. Tingkat pengangguran Zimbabwe juga melonjak hingga 80 persen. Masyarakat Zimbabwe berhenti menggunakan bank. Bahkan, mereka juga berhenti membayar pajak dan tak menggunakan mata uang nasional sebagai alat transaksi jual beli.
Zimbabwe juga mengalami hiperinflasi. Masyarakat tak lagi bisa menjangkau harga bahan-bahan pokok. Dengan demikian, uang seperti tak berarti bagi masyarakat Zimbabwe selama harga barang terus melonjak. Mereka lebih memilih sistem barter.
4. Venezuela
Pada 2017, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan pemerintahannya tak bisa membayar seluruh utangnya. Ia mengaku Venezuela dan perusahaan minyak negara tersebut akan meminta restrukturisasi terhadap pembayaran utang. Venezuela tercatat memiliki utang kepada sejumlah negara. Beberapa negara tersebut, antara lain China dan Rusia.
5. Ekuador
Ekuador menyatakan tak mau membayar utang pada 2008 lalu. Pemerintah saat itu mengklaim utang negara di masa lalu disebabkan aksi korupsi di pemerintahan sebelumnya. Sementara, Ekuador mendapatkan pinjaman sebesar Rp 9,25 triliun dari IMF pada 2020. Dana itu digunakan untuk pembiayaan darurat menangani pandemi Covid-19.