5 Macam Riya' Mereduksi Nilai Kehambaan, Menurut Syaikh Nawawi
Riya’ dalam bahasa Arab arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada orang lain.
Menurut istilah riya' adalah memperlihatkan ibadah dengan maksud dan tujuan dilihat manusia dan mengharapkan pujian atas apa yang diperlihatkannya itu. Riya’ seringkali sepadan dengan kata pamer.
Dalam KBBI pamer adalah menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri.
Riya’ termasuk perbuatan yang tercela. Selain berdosa, sifat riya juga merugikan diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Riya itu merusak keimanan, termasuk kedalam syirik kecil. Rasulullah SAW bersabda: “Sesuatu yang sangat ditakutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, ditanya tentang apa yang dimaksud syirik kecil itu, maka beliau menjawab yaitu riya.” (HR. Ahmad)
Lima Hal Penting Diperhatikan
Riya’ itu tidak hanya dalam masalah agama semata, Syaikh Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Maraqil Ubudiyyah ternyata membagi riya’ menjadi 5 macam, yaitu:
Pertama, riya’ dalam masalah agama dengan menampakan anggota badan.
Seperti menampakan tubuh yang kurus dan pucat serta membiarkan rambut acak-acakan. Dengan tubuh yang kurus ia ingin menunjukkan sedikit makan, dan dengan wajah yang pucat ia ingin menunjukkan kurang tidur pada waktu malam dan sangat prihatin dengan urusan agama.
Sedangkan dengan rambut acak-acakan ia ingin menunjukkan bahwa ia sangat memikirkan masalah agama dan tidak sempat menyisir rambutnya. Dari perbuatannya tersebut ia mengharapakan dan menginginkan pujian dan menjadi orang yang alim.
Kedua, riya’ dengan penampilan dan pakaian.
Misalnya, menundukkan kepala ketika berjalan, bersikap tenang dalam bergerak, menampakan bekas sujud pada jidatnya, mengenakan pakaian yang kasar dan tidak membersihkannya serta membiarkannya baju robek dan memakai pakaian yang bertambal.
Dari penampilannya tersebut ia ingin terlihat seperti orang alim dan agar banyak orang yang berbelas kasih kepadanya. Selain itu ada juga yang selalu menggunakan barang-barang mewah dan branded agar mendapatkan pujian orang lain bahwa ia seorang yang kaya raya.
Ketiga, riya’ dengan perkataan.
Contohnya, mengucapkan kata-kata bijak dan menggerakkan bibir saat berdzikir di hadapan orang banyak, menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar di hadapan khalayak.
Termasuk dalam kategori ini adalah menampakan marah atas perbuatan maksiat, menampakan penyesalan karena orang lain berbuat dosa, melemahkan suara ketika berbicara, dan melunakkan suara ketika membaca Al-Quran untuk menunjukkan rasa takut dan sedih.
Perbuatan yang baik bisa terjatuh kepada perbuatan buruk jika niat melakukan hal tersebut salah, bahkan menjadi perbuatan dosa.
Keempat, riya’ dengan perbuatan.
Seperti, menampakan kekhusyukan ketika shalat, berlama-lama saat berdiri, sujud, ruku’, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, serta meluruskan Kedua telapak kaki dan tangan.
Begitu juga riya’ ketika berpuasa, haji, dan pada saat mengeluarkan zakat, infak, maupun sedekah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan baik, ternyata perbuatan baik pun bisa terjerumus menjadi riya’ karena niat yang salah.
Kelima, bersikap riya’ kepada teman, para tamu, dan manusia pada umumnya.
Misalnya, orang yang banyak didatangi tamu dari kalangan ulama, ahli ibadah, para penguasa, maupun para pejabat supaya dikatakan bahwa mereka mengambil berkah darinya karena kemuliaan derajat agamanya. Atau seperti orang yang sering menyebut nama para ulama atau guru agar dikatakan banyak memiliki guru dan banyak belajar dari mereka.
Perbuatan baik jika niat yang salah maka tidak akan mendapatkan pahala tapi sebaliknya akan mendapatkan dosa.
Orang yang rajin beribadah sekalipun bukan berarti dapat terbebas begitu saja dari riya’. Terkadang godaan datang silih berganti untuk menjerumuskan ibadah yang dilakukan pada jalan yang salah.
Dilansir situs resmi jatman.or.id, disimpulkan: Jadi riya’ itu mengerjakan perbuatan lantaran mengharap pujian dan sanjungan orang lain dalam hal apapun, bukan didasarkan keikhlasan. Sehingga untuk menghindari dari perbuatan riya’ perbaiki niatnya dan didasarkan atas keikhlasan semata. Maka dari itu, dibutuhkan kesabaran dan usaha maksimal untuk mengalahkannya.
Demikian wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.