Ini 5 Kiat Tangkal Radikalisme di Tingkat Perguruan Tinggi
Menangkal radikalisme dan terorisme adalah tugas semua pihak, termasuk perguruan tinggi harus mengambil peran dalam hal ini. Karena itulah, Pusat Pembinaan Ideologi LPPM Universitas Negeri Surabaya menggelar Webinar Nasional dengan tema 'Menjernihkan Hati Melawan Radikalisme'.
Dalam webinar tersebut, mantan napi teroris dan mantan jihadis ISIS di Suriah, Wildan Fauzi hadir sebagai pembicara. Fauzi mengungkapkan apa saja kiat-kiat yang bisa dilakukan guna menangkal radikalisme pada tingkat perguruan tinggi.
Kiat-kiat tersebut antara lain:
1. Perguruan tinggi harus terlibat aktif
Wildan menjelaskan bahwa radikalisme bisa masuk lewat pergaulan dan bisa pula lewat media sosial. Media sosial justru lebih berbahaya, para pelaku bisa bergerak secara lone wolf atau operasi sendiri.
"Operasinya bisa terputus dari jaringan, tidak memiliki kelompok, tetapi bisa melakukan sendiri dengan panduan yang ada di internet," imbuhnya.
Sementara itu, secara yuridis, perguruan tinggi dituntut terlibat aktif dalam menangkal radikalisme maupun ekstrimisme di kampus. Karena itu, Unesa turut aktif menjadi partner pemerintah dan masyarakat dalam menangkal paham yang bertentangan dengan Pancasila.
2. Kontrol orang tua dan sosial
Menurut Wildan, masuknya paham ekstrimisme karena kurangnya kontrol sosial dan orang tua. Padahal itu sangat penting dan menjadi tembok pertahanan yang kokoh dalam menangkal pengaruh paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Ia pun menceritakan awal mula dirinya bertolak ke Suriah. Dari pengalamannya, penyebar radikalisme bukan asli Timur Tengah, tetapi justru banyak dari Indonesia yang memodifikasi ajaran agama untuk kepentingan sendiri.
“Paling penting adalah perkuat kontrol sosial dan keluarga, dengan siapa anak kita bergaul dan kepada siapa mereka mengaji,” tukasnya.
3. Tumbuhkan rasa cinta dan bakti kepada orang tua
Wildan mengungkapkan, pada banyak kasus ekstrimisme masuk lewat teman pergaulan. Tahap lebih lanjut, mereka lebih mengikuti ajakan temannya ketimbang orang tuanya. Akhirnya banyak kasus mengkafirkan orang tua sendiri dan orang lain. Yang lain salah, mereka benar.
"Untuk meminimalisir hal itu, anak-anak perlu dididik untuk belajar lebih mencintai orang tuanya lebih dari teman-temannya," jelasnya.
Ia pun saat ini mendedikasikan diri untuk aktif dalam gerakan kesedaran anak-anak muda agar lebih cinta dan bakti kepada orang tua. Pasalnya, sekuat apa pun laki-laki, ketika mengingat ibunya, dia akan jatuh tersungkur.
“Jihad yang paling besar adalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan orang tua, bukan justru membangkang apalagi mengkafirkan mereka,” ujarnya.
4. Merangkul bukan tak acuh
Faktor lain yang membuat anak muda cepat terpapar paham radikal, yakni karena adanya rasa tak diterima di lingkungannya. Mereka yang sering menyendiri dan tampil beda pun lama-lama bisa terpapar paham yang berbahaya.
Karena itu, budaya kekeluargaan harus ditumbuhkan, anak-anak muda harus didekati dan diajak untuk berkomunikasi dengan hangat.
“Mereka bisa meluapkan apa pun pandangannya. Jika sudah begitu, kan kecil mereka bisa terpapar paham radikal,” tukasnya.
5.Pembumian ajaran agama moderat
Wildan mengatakan, paham radikal bisa ditangkal lewat beberapa cara, salah satunya lewat pembumian ajaran agama yang moderat. Setidakya ada tujuh ciri moderasi agama dalam Islam.
"Pertama, tawazun atau keseimbangan hidup antara lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kedua, tasamuh atau toleransi sebagai suatu keharusan bagi negara dan bangsa yang beragam aseperti Indonesia. Ketiga, i’tidal atau tegak, konsisten dan keadilan. Prinsip keadilan konsisten menjadi pondasi penting dalam berbangsa dan bernegara," jelasnya.
Keempat, ishlah atau perbaikan hidup ke dalam dan ke luar untuk menjadikan dunia ini menjadi lebih baik untuk semua. Kelima, prinsip syura atau musyawarah yakni menjunjung tinggi pendapat, eksistensi orang lain. Bukan pemaksaan pendapat atau kehendak sendiri. Keenam, qudwah atau keteladanan.
Ketujuh, muwathanah atau kewarganegaraan atau nasionalisme. Apa yang dilakukan? Perlu pengembangan narasi moderat, pengembangan budaya literasi moderat, early warning system yang baik, peer group moderat, dan pengembangan pola komunikasi yang baik.