5 Fakta Geger Voting R2P Indonesia di PBB dan Genosida Israel
Netizen geger dengan kabar utusan Indonesia memilih opsi tidak terhadap pembahasan norma Responsibility to Protect (R2P) dalam voting di Sidang Umum PBB beberapa saat lalu. Kabar tersebut dikaitakan dengan tuduhan genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina saat ini. Sebagian netizen Indonesia pun geram lantaran mengira Indonesia tidak mendukung penegakan R2P dalam genosida Israel.
R2P dan Genosida Israel
Responsibility to Protect (R2P) adalah norma baru yang digagas masyarakat internasional dengan tujuan memberikan perlindungan pada penduduk dunia, agar mendapatkan jaminan hak dasar sebagai manusia, bahkan jika mereka adalah warga negara sebuah wilayah yang sedang dilanda konflik.
Banyaknya peperangan sipil dalam negara, juga pemerintah atau penguasa yang justru menyakiti warganya sendiri, membuat norma ini banyak dibicarakan sebagai jawaban. Berbagai kasus kekejaman rezim pemerintahan dan perang sipil di antaranya genosida di Rwanda dan yang dilakukan oleh Nazi.
Terbaru, Israel juga dituduh sedang melakukan genosida terhadap penduduk Palestina lewat seragan bertubi-tubi dan berbagai aturan yang diskriminatif terhadap penduduk Palestina.
Norma R2P di Dalam PBB
Norma ini pertama kali dibahas dalam World Summit 2005 yang mempertemukan seluruh pimpinan negara anggota PBB. Salah satu hasilnya, pertemuan menyepakati tentang tiga pilar R2P dalam Responsibility to protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crimes against humanity, antara lain:
Pertama, perlindungan masyarakat dari kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena merupakan kewajiban pemerintah di negara negara.
Kedua, apabila negara tersebut tidak mampu untuk memberikan perlindungan, maka komunitas internasional wajib memberikan bantuan kepada negara tersebut untuk dapat melakukan perlindungan.
Ketiga, yaitu apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak mau untuk memberikan perlindungan, masyarakat internasional dapat melakukan aksi kolektif (collective actions) untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat. Hal itu sesuai Bab 7 Piagam PBB, dilansir dari Ngopibareng.id.
Konsekuensi dan Dilema Intervensi Kemanusiaan R2P
Konsekuensi dari norma R2P ini, maka masyarakat internasional berhak untuk intervensi terhadap konflik yang terjadi di sebuah negara berdaulat. Intervensi bisa dilakukan jika pemerintah negara berdaulat dipandang gagal dalam memberikan perlindungan pada penduduknya dari kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebagai intervensi kemanusiaan, R2P memiliki sejumlah konsekuensi yang seringkali mengancam kedaulatan negara yang diintervensi. Masuknya berbagai upaya masyarakat internasional bisa dalam bentuk bantuan logistik hingga intervensi militer.
Sejumlah intervensi R2P juga digunakan untuk mengintervensi kekerasan akibat konflik perang sipil di dalam sebuah negara. Seperti intervensi NATO di Libya di tahun 2011. Hasilnya, penguasaan panjang pemerintahan Muammar Ghadafi di Libya tergulingkan.
Intervensi R2P pun masih memiliki pro dan kontra. Bagi yang pro, intervensi kemanusiaan dibutuhkan untuk melindungi manusia secara universal, termasuk warga dari sebuah negara berdaulat. Intervensi wajib dilakukan karena pemerintah negara tersebut dianggap tak mampu memenuhi HAM dari penduduknya.
Sementara yang kontra menilai bahwa intervesi R2P adalah bentuk campur tangan asing atas negara yang berdaulat.
Sikap Indonesia tentang R2P
Norma ini pun terus berkembang. Perdebatan muncul untuk menentukan kapan intervensi kemanusiaan boleh dimulai, seperti berapa banyak jumlah korban yang tewas, adakah gelombang pegungsi, berapa lama konflik sipil terjadi, hingga parameter lain seperti hingga kapan intervensi boleh berlangsung, dan tujuan akhir dari intervensi.
Berbagai perdebatan dan parameter dibutuhkan agar intervensi kemanusiaan tidak disalahgunakan serta intervensi militer tidak menimbulkan lebih banyak korban.
Indonesia aktif mengikuti pembahasan tantang R2P di forum PBB, sejak 2005 lalu, Menurut Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian A Ruddyard saat konferensi pers secara virtual, Kamis 20 Mei 2021, dilansir dari Koran Tempo.
R2P menjadi agenda tambahan sejak 2018 hingga 2020. Perwakilan Indoensisa terlibat dalam pembahasan itu setiap tahun.
Indonesia berpendapat, R2P harus diperkuat dalam aspek yang lebih faktual, seperti kajian dan implementasi dengan meyusun definisi dan parameter yang jelas. Sebab hingga saat ini belum ada konsensus internasional yang mengatur implementasi R2P, menurut Febrian.
Geger Voting Tidak Indonesia untuk R2P
Pemikiran ini pula yang membuat voting tidak, keluar dari delegasi Indonesia di Sidang Umum PBB belum lama ini. Delegasi menurut Febri menolak jika agenda R2P dibahas khusus dalam agenda permanen.
Sebab, tindakan ini justru akan membuat berbagai janji dan usulan atas norma R2P yang sudah berjalan sejak 2005, harus diulang kembali lantaran menjadi agenda baru.
“Dengan adanya permintaan jadi agenda tetap, kita merasa agak kurang sesuai, karena berbagai janji telah disampaikan, dan sebetulnya mata agendanya sudah ada dan sangat relevan yaitu agenda Outcome of The World Summit 2005,” katanya dikutip dari kompas.com. (Tmp/Kmp/Ngo)
Advertisement