4 Anaknya Sarjana, Pahlawan Tak Dikenal itu Bernama Mbah Temu
Di kampungnya, sosok perempuan dengan rambut memutih ini lebih dikenal dengan panggilan Mbah Temu daripada nama aslinya Muinah. Tapi ia tak pernah mempersoalkan nama panggilan itu.
Mbah Temu yang kini berusia 68 tahun, di depan anak - anaknya adalah sosok seorang pahlawan, orang tua yang hebat dan tak mengenal lelah. Setiap hari, pagi dan sore, masuk keluar kampung menjajakan sayur dan kue, demi masa depan anaknya.
Ada rahasia di balik semangatnya itu. Mbah Temu ingin membuktikan kepada orang yang pernah menghinanya. Meski dibilang miskin atau kere, tetapi bisa mengantarkan empat anaknya menjadi sarjana (S-1) di perguruan tinggi dan jurusan yang berbeda.
Tekat Cerdaskan Anak
"Cukup saya saja yang dibilang bodoh, melarat. Predikat itu jangan sampai menurun pada anak - anak saya," kata Mbah Temu, kepada ngopibareng.id, di sebuah warung Jalan Baru Gili Samping Kebun Jeruk Jakarta Barat.
Waktu itu Mbah Temu sedang melepas lelah sambil menikmati teh panas dan gorengan. Keningnya terlihat basah oleh keringat setelah berjalan keliling kampung menjajakan sayuran.
"Saya sering dikatain wong melarat, utang nlecek, omahe koyo kandang wedus," tutur Mbah Temu sambil mengunyah tempe goreng.
Hinaan itu tidak membuatnya meradang. Malah diterima dengan lapang dada. Anak - anaknya pun dimotivasi, agar hinaan itu dijadikan pemicu semangat untuk bangkit.
"Ibarate nyungsang njempalik, kepala dijadikan kaki, dan kaki dijadikan kepala, tidak masalah, akan saya jalani. Yang penting anak saya bisa hidup bahagia, tidak dihina orang karena bodo dan miskin seperti saya," katanya sambil menghitung uang dari hasil jualan sayur. Sehari pagi dan sore kalau hari baik bisa dapat Rp 100 ribu, tuturnya.
Biayai Anak Hingga S-2
Perjuangan yang dilakoni bertahun - tahun sekarang telah membuahkan hasil. Empat anaknya sudah menyandang gelar sarjana (S-1) berbagai disiplin ilmu. Ada yang menjadi Sarjana Komputer (S. Kom), S2, Magister Tehnik (MT). Ada yang menjadi guru les private bahasa Jepang.
"Anak saya yang pinter ngomong Jepang, dulu kuliah di Rawa Mangun (UNJ) sekarang jadi guru bahasa Jepang. Mboke mung sekolah SR (sekarang SD), ora jangkep," kata Mbah Temu sambil tertawa.
"Dihina melarat bene, yang penting anaknya nggak ketularan melarat", ujarnya dengan logat Pemalang tempat kelahiran ibu delapan anak yang terlihat masih enerjik tersebut.
Empat anaknya yang menjadi sarjana itu antara lain, Slamet Riyanto Si , Sarjana Komputer (SKom) - S2, Magister Tehnik (MT); Murtini jurusan Sastra Jepang; Maryati jurusan Akuntansi; dan Slamet Kusmianto Jurusan ilmu komunikasi.
Melihat penampilannya, yang lugu dan sederhana, banyak yang tidak percaya kalau empat anaknya berdiploma S-1. Tapi Mbah Temu tak ambil pusing orang percaya atau tidak. Yang penting dia sudah menjawab hinaan orang lain dengan sebuah kebaikan bagi anak anaknya maupun orang lain. "Harapan saya itu saja, bukan untuk pamer atau sombong - sombongan," katanya.
Karena itu Mbah Temu tidak pernah minder, meski penampilannya tetap seperti wong ndeso. Contohnya ketika mendampingi anaknya wisuda. Wisudawan yang lain diantar mobil mengkilap dengan dandanan necis dan cantik. Mbah Temu dan anaknya tetap bersahaja naik kendaraan umum.
Empat anaknya yang nomor satu sampai nomor empat tidak sempat kuliah sampai tuntas, protol di tengah jalan karena tidak ada biaya. Mbah Temu pindah dari Pemalang ke Jakarta sekitar tahun 2007.
Hidup Sederhana
Sebentar lagi tugas Mbah Temu mengantarkan anak - anaknya akan selesai. Doa dan keinginan agar anaknya bisa menjadi orang pintar katanya sudah dikabulkan oleh Allah, empat anak sudah menjadi sarjana. Yang bontot sebentar lagi menikah.
Mbah Temu bersama suami Sukirno, 73 tahun dan anaknya yang bontot Maryati, tinggal di sebuah rumah kontrakan yang cukup sederhana di Kampung Budi III persis di belakang Kantor Pajak Jalan Arjuna Selatan, Kebun Jeruk Jakarta Barat.
Untuk menuju rumahnya harus menyusuri jalan setapak di perkampungan padat penduduk yang hanya bisa dilewati sebuah sepeda motor. Kalau berpapasan salah satu harus mengalah.
Di depan rumahnya terdapat tanah garapan seukuran 20 x 50 meter milik orang lain yang dipinjamkan untuk menanam bayam dan sawi. Sebelum tanamannya itu panen, Mbah Temu berjualan kue dan mengerjakan apa saja yang menghasilkan uang untuk menyambung hidup dan biaya kuliah anaknya. Sedang suaminya membantu merawat kebun sayur.
Suaminya pernah bekerja sebagai sopir rumah tangga, dan kondisinya tidak sekuat dulu karena faktor usia. Mbah Temu tinggal di rumah kontrakan bertiga bersama suami dan si bungsu Maryati. Sedang anak anaknya yang lain sudah mentas artinya sudah punya rumah sendiri.
Masuk rumah Mbah Temu mengingatkan pada suasa rumah di desa yang jauh dari keramaian. Di ruang tamu berjajar foto anak - anaknya yang dibingkai dalam pigura besar.
Si Bungsu Maryati yang baru satu tahun menyelesaikan kuliahnya di jurusan akutansi Universitas Esa Unggul Jakarta, menuturkan anak - anak sebenarnya sudah melarang ibunya jualan. Mengingat sudah tua, lebih baik istirahat di rumah saja, kan anaknya sudah besar besar. Tapi ibunya tetap ngotot. Katanya akan istirahat setelah anaknya semua sudah mandiri.
"Saya bangga dan salut atas pengorbanan Ibu demi masa depan anak - anaknya. Ibu tidak ingin hidup sengsara seperti yang pernah dirasakan menurun pada anaknya," kata Maryati.
Waktu kuliah Ia sempat melihat ibunya gali lubang tutup lubang untuk biaya kuliah. "Sekarang waktunya kami berusaha membalas jerih payah ibu," tutur Maryati.
Pahlawan Bagi Anaknya
Maryati sendiri saat ini sedang sibuk menyiapkan hari pernikahannya yang akan digelar di sebuah restoran kawasan Menteng Jakarta Pusat, pada Sabtu 8 Januari 2022. "Bukan pesta, yang diundang pun hanya keluarga terdekat, sekadar syukuran," katanya.
Sarjana akutansi yang kini berusia 27 tahun, dipersunting pria bernama Anak Agung Gede Rai Rassi yang dikenalnya saat sama - sama menjadi tenaga honorer di kantor pajak daerah Jakarta Barat.
Menanggapi rencana resepsi pernikahan anaknya, Mbah Temu mengatakan hanya merestui, tidak ikut ngatur. "Saya tidak ikut cawe - cawe, semua diurus oleh anaknya sendiri," kata Mbah Temu sambil menjinjing keranjang berisi bayem dan sawi untuk dijajakan.
"Itulah ibu saya, membekali anak anaknya dengan jala supaya bisa dipergunakan untuk mencari ikan, bukan harta yang melimpah. Tapi saya bangga," kata Maryati, bola matanya berkaca - kaca ketika menatap ibunya berangkat menjajakan sayuran.