3.000 Rumah Belum Punya Akses Sanitasi
Sekitar 96 persen rumah tangga di Kota Probolinggo sudah memiliki akses terkait limbah domestik. Meski sebagian kecil yakni, 4 persen rumah tangga belum memiliki akses sanitasi, namun tidak bisa dianggap remeh karena berdampak pada kesehatan warga dan lingkungannya.
"Sebanyak 4 persen itu setara sekitar 3.000 rumah tangga. Lumayan besar tangga yang belum punyai akses sanitasi limbah domestik,” kata Ratih Astuti Dewi, konsultan USAID Indonesia Urban Water, Santitation and Hygiene (USAID-IWASH) di sela-sela workshop pemanfaatan dana kelurahan untuk pengembangan sanitasi di Kota Probolinggo di Kantor Lurah Jati, Kota Probolinggo, Selasa, 25 Februari 2020.
Karena itu, sebagai Behaviour Change and Marketing Specialist USAID-IWASH, Ratih menyarankan, sebagian dana kelurahan di Kota Probolinggo dianggarkan untuk program sanitasi.
"Pertimbangannya, Kota Probolinggo harus Open Defeacation Free (ODF) atau bebas dari perilaku buang air besar sembarangan (BABS) terkait Millenium Development Goal Goal’s pada 2030," katanya.
Karena dana kelurahan tidak diperuntukan perorangan, kata Ratih, maka proyek sanitasi harus bersifat komunal. “Dana kelurahan bisa digunakan untuk membangun septic tank komunal skala kecil untuk 10 rumah dengan kapasitas tangki 5 meter kubik,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Imam Suhadi, Goverment Specialist USAID-IWASH. "Prasana wilayah permukiman berupa pengelolaan limbah domestik komunal harus memperhatikan Permendagri, Perda, hingga Perwali agar tidak menabrak aturan," katanya.
Dikatakan sanitasi terbagi atas tiga cakupan yakni, drainase, sampah, dan limbah domestik. "USAID-IWASH di Kota Probolinggo fokus ke penanganan limbah domestik,” ujar Imam.
Hasil workshop yang difasilitasi Bappedalitbang pun menyimpulkan, penggunaan dana kelurahan untuk sanitasi diusulkan sejak di Musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan, hingga Kota Probolinggo. “Kalau sekarang belum diusulkan, ya bisa melalui PAK (perubahan anggaran keuangan) agar diusulkan untuk pembangunan septic tank komunal," kata Imam.
Ratih mengatakan, kalau dikupas lebih rinci, rumah tangga yang tidak punya akses sanitasi sebenarnya bisa di atas 4 persen. "Soalnya, ada yang tidak punya WC, tetapi masih bisa nunut WC ke tetangga atau kerabat dekat," ujarnya.
Belum lagi dari segi teknis, masih banyak dijumpai pembangunan septic tank yang tidak kedap air. "Jadi limbah di dalam septic tank bocor ke tanah. Makanya Dinkes Kota Probolinggo menemukan sejumlah sumur tercemar bakteri E.coli," katanya.
10 Kelurahan
Pada 2019 lalu, Dinkes Kota Probolinggo merilis data, dari 29 kelurahan, hanya 10 yang ODF alias bebas perilaku buang air besar sembarangan (BABS). Sebanyak 3.435 rumah tangga di Kota Bayuangga masih berperilaku BABS.
Sedangkan yang sudah memiliki Jamban Sehat Permanen (JSP) tercatat 50.634 rumah tangga. Yang memiliki Jamban Sehat Semi Permanen 2.280 rumah tangga. Sedangkan 1.883 KK masih tergolong sharing atau numpang jamban.
Dari 29 Kelurahan, tercatat 10 kelurahan di 5 kecamatan yang tergolong zero perilaku BABS. Di Kecamatan Mayangan ada Kelurahan Wiroborang dan Sukabumi. Di Kecamatan Kanigaran ada Kelurahan Tisnonegaran dan Kebonsari Wetan.
Sementara itu di Kecamatan Kademangan ada Kelurahan Pilang dan Ketapang. Di Kecamatan Kedopok ada Kelurahan Sumber Wetan dan Jrebeng Wetan. Sedangkan di Kecamatan Wonoasih dua kelurahan zero BABS yakni, Kelurahan Pakistaji dan Sumbertaman.
Sedangkan 19 Kelurahan lainnya masih ada beberapa KK yang berperilaku BABS. Padahal Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Probopinggo melalui Kabid Kesmas dr NH. Hidayati berulang kali menekankan bahaya perilaku BABS.
"Untuk menciptakan sanitasi sehat dan bersih perilaku buang air besar sembarangan harus dihentikan. Pasalnya itu bisa menimbulkan penyakit jika mengalir ke sumber air. Bakteri E. coli-nya itu yang bahaya bagi masyarakat," kata Hidayati.