Ini 3 Tradisi Sunat Perempuan di Indonesia
6 Februari lalu merupakan peringatan hari nol toleransi internasional akan praktik sunat perempuan. Di Indonesia Kementerian Kesehatan melarang praktik mutilasi alat kelamin perempuan lewat Permenkes Nomor 6 tahun 2014.
Namun, masih banyak masyarakat yang percaya dan melangsungkan sunat perempuan dengan ritual dan bentuk khitan yang berbeda-beda. Dasarnya adalah keyakinan agama dan tradisi. Dilansir dari boombastis.com berikut merupakan tiga adat unik untuk mengkhitan anak perempuan di beberapa suku di Indonesia.
Upacara Bakayekan Suku Pasemah
Upacara ini diadakan oleh suku Pasemah di Sumatera Selatan. Tujuannya adalah menyucikan gadis atau anak perempuan sebelum dewasa. Kalau bayi, sebutan upacaranya Kayek Upik. Perempuan yang dikhitan berusia empat hingga tujuh tahun.
Biasanya upaca digelar dengan meriah, seperti mengundang banyak tamu. Tradisi ini sering ditemukan saat Ramadan. Sesaat sebelum dikhitan, anak perempuan akan didandani seperti pengantin. Selain itu, ia harus mengenakan baju adat Sumatera Selatan yang disebut Betaju.
Lalu, perempuan akan diantar ke sungai untuk dimandikan dengan diiringi suara rebana. Setelah mandi, perempuan akan dikhitan dan daging hasil khitan akan ditanam di bawah pohon kelapa. Maknanya agar anak perempuan tersebut seperti tunas kelapa yang bisa beradaptasi di mana pun ia berada.
Adat Mo Polihu Lo Limu (Mandi Lemon)
Mandi lemon (Mo Polihu Lo Limu) merupakan adat orang Gorontalo untuk mengkhitan anak perempuannya yang berusia dua tahun. Tujuannya untuk menghilangkan sifat tidak baik dari anak perempuan. Pada praktiknya hanya dilakukan secara simbolis, seperti mencubit kemaluannya.
Lalu, anak akan dimandikan dengan campuran air lemon dan bunga-bunga. Setelah mandi, anak harus melakukan tepuk mayang, memecahkan telur dan berhias. Anak akan dirias dengan riasan pengantin serta mengenakan busana adat. Keluarga yang hadir akan berdoa untuk si anak perempuan tersebut.
Tradisi Makkatte’
Tradisi Makatte’ dilakukan oleh masyarakat Suku Bugis dan ditujukan untuk anak perempuan, sedangkan sunatan untuk bocah laki-laki disebut dengan Massunna’. Selain tradisi adat, Makkatte juga dianggap sebagai ritual keagamaan. Oleh karena itu, hingga saat ini masih ada yang melakukannya.
Anak perempuan yang dikkate’ bisanya berusia empat hingga tujuh tahun. Dan yang boleh menyunat hanyalah seorang Sanro yaitu para wanita ahli dan dipercaya oleh masyarakat Suku Bugis.
Berbeda dengan daerah Gorontalo dan Sumatera Selatan, khitan perempuan dilakukan ketika anak sudah memakai baju adat. Setelahnya, anak perempuan akan digendong ke tempat yang lebih tinggi. Tujuannya agar anak tersebut bahagia dan tidak trauma.