3 Makna Glipang, Tarian Khas Probolinggo yang Belum Dipatenkan
Glipang sebagai tarian khas Kabupaten Probolinggo ternyata masih lestari di Hari Jadi ke-273 Kabupaten Probolinggo (Harjakapro). Bahkan demi memeriahkan Hajakapro ke-273, sebanyak 273 penari Glipang menari massal di alun-alun Kraksaan, Senin, 22 April 2019.
Penampilan 273 penari itu dipimpin langsung narasumber asli Tari Glipang generasi ketiga, Mohammad Nasir. Dikatakan Tari Glipang yang diperagakan ratusan siswa saat Harjakapro ke-273 ini tidak berbeda bahkan dengan generasi awal perintis Tari Glipang, Sari Truno (Seno).
“Alhamdulillah, Tari Glipang sekarang tetap lestari, tidak berubah dibandingkan generasi awal kakek saya, Mbah Sari Taruno,” ujar Nasir, Senin. Karena dipelajari turun-temurun dari sumber aslinya, gerakan Tari Glipang tetap natural seperti gerakan sigap seorang prajurit.
Meski Tari Glipang belum dipatenkan (Hak atas Kekayaan Intelektual/HaKI) oleh Pemkab Probolinggo, Nasir bersyukur, Tari Glipang popular di kalangan masyarakat terutama pelajar.
“Kami berharap, Dinas Pariwisata segera mengurus hak paten, agar Tati Glipang ini resmi menjadi milik Kabupaten Probolinggo,” kata Nasir, warga Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo itu.
Senada dengan Nasir, Wakil Bupati Probolinggo, HA Timbul Prihanjoko mengatakan, Tari Glipang harus terus dikembangkan. Tujuannya, agar masyarakat mengenal tarian asli Kabupaten Probolinggo itu.
Disinggung belum dipatenkannya Tari Glipang, wabup mengatakan, Pemkab Probolinggo terus berusaha untuk memfasilitasinya. “Nanti akan kami urus hak paten Tari Glipang,” ujarnya.
Parmo (ayah Nasir), generasi kedua Tari Glipang pernah panjang-lebar menceritakan sejarah Tari Glipang. Dikatakan tarian tersebut diciptakan kakek buyutnya, Sari Truno dari Desa Omben, Kabupaten Sampang, Madura.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil yang sangat agamis menolak Topeng Madura. Soalnya di dalamnya terdapat alat musik gamelan. Sehingga kakek saya mengubah Tari Topeng Madura menjadi Raudlah yang artinya latihan atau olahraga,” lanjut Parmo.
Sari Truno kemudian mewariskan kebiasaan tersebut kepada putrinya, Asia atau yang biasa dipanggil Bu Karto. Parmo yang saat itu masih berusia 9 tahun mencoba ikut menekuninya. Tari Glipang tersebut mempunyai tiga gerakan. Tiap-tiap gerakan memiliki makna dan cerita pada saat diciptakan.
Pertama tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Glipang.Tari Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada penjajah Belanda.
Dari rasa ketidakpuasan tersebut akhirnya menimbulkan napas besar.Tari Glipang ini sudah terkenal secara internasional dan sudah mendapatkan beberapa piagam perhargaan.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995. Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali di antaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan. Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke- 39,” tambah Parmo.
Tari Kiprah Glipang yang telah diciptakan oleh Sari Truno benar-benar serasi dan sejiwa dengan pribadi penciptanya. Jiwa Sari Truno yang sering bergolak melawan prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan melalui bentuk tari ini.
Kedua, Tari Papakan yang mempunyai makna bertemunya seseorang setelah lama berpisah. ”Waktu itu digambarkan bertemunya Anjasmara dengan Damarwulan. Dimana waktu itu Damarwulan diutus untuk membunuh Minakjinggo.
Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu oleh 2 istri Minakjinggo.Tetapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan dihadang oleh Layang Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki,” jelas Parmo.
Ketiga, Tari Baris yang menggambarkan para prajurit Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa Timur.”Waktu itu prajurit Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk mengetahui daerah Jawa Timur.Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan kemudian berubah menjadi cerita rakyat,” terang Parmo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang di antaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari Truno.
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” (Bahasa Arab) yang artinya kebiasaan. Dari kebiasaan akhirnya sampai sekarang menjadi tradisi,” katanya. (isa)