20 Tahun Lalu, Dekrit Gus Dur, Kudeta Konstitusional Amien Rais
Hari ini, momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepat 20 tahun lalu (23 Juli 2001-23 Juli 2021), Presiden Abdurrahman Wahid meninggalkan istana. Ia telah dilengserkan dalam "Kudeta Konstitusional" dilakukan Amien Rais dan kawan-kawan, dalam Sidang Istimewa MPR RI, yang kemudian mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden berpasangan dengan Wapres Hamzah Haz.
Bermula dari dekrit yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tiga poin penting dalam dekritnya adalah (1) Pembubaran MPR/DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) Membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.
Selaku orang yang bersehabat dengan Gus Dur, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam beberapa kesempatan pun mengungkapkan kenapa dekrit tersebut dikeluarkan. "Wis suwe gak onok dekrit, cak (Sudah lama tidak ada dekrit, cak)," kata Cak Nun sembari menahan tawa saat menirukan perkataan Gus Dur.
Fakta sejarah, setelah dekrit itu, tak perlu waktu lama, lembaga yang kala itu dipimpin Amies Rais (MPR), pun mengkudetanya di siang hari.
Kesaksian Jurnalis Kompas
Dalam buku "Sisi Lain Istana" J. Osdar mencatat, kudeta tersebut tentu memancing perlawanan pendukung Gus Dur yang sudah berkumpul di luar Istana. Dalam situs resmi NU menuliskan, Sebagian politisi NU menyuarakan perlawanan, sebagian kecil bahkan membentuk front "perjuangan", mereka siap mempertahankan Gus Dur di kursi presiden.
Suara perlawanan terus dikumandangkan, basis-basis Nahdliyin menggelegak, dibangkitkan dengan narasi terdzolimi. Di tengah situasi yang panas, tentu banyak yang tahu apa reaski Gus Dur akan adanya aksi tersebut.
Lebih jauh, buku "Sisi Lain Istana" mengisahkan, dengan digandeng putrinya Tenny Zanuba Wabid sekira pukul 20.48 WIB, Gus Dur menuju teras Istana Merdeka dengan celana pendek dan kaos warna abu-abunya yang menjadi saksi catatan sejarah perjalanan bangsa.
Masa Rela Mati
Tiga hari setelahnya, Gus Dur keluar dari Istana diiringi massa yang rela mati untuknya. Ia pun menyempatkan diri untuk berpidato di lapangan Monas. Beberapa hari sehabis momen tersebut Gus Dur pun berkata, "Itu lebih baik daripada tidak pakai celana,".
J. Osdar pun menuliskan, sebenarnya Gus Dur sudah mengenakan pakaian komplit yang lebih formil, namun karena momen tersebut luput dari pantauan wartawan, maka Gus Dur mau mengulangnya.
"Tetapi Gus Dur sudah keburu lepas pakaian dan mengenakan celana pendek. Namun, Gus Dur tidak keberatan untuk tampil begitu," tulis J. Osdar mengutip pernyataan Siane Indriani yang pernah jadi petinggi di Global TV.
Sikap Berpolitik Gus Dur dan Kitab Al-Hikam
Salah satu nilai dari laku hidup seorang Gus Dur yang sukar kita tiru adalah nilai kesatria. Beliau rela diturunkan inkonstitusional oleh oposisinya ketimbang harus ada pertumpahan darah sesama anak bangsa. Kecintaan beliau pada negara dan rakyatnya jauh lebih besar ketimbang cintanya pada dunia apalagi hanya sebatas jabatan presiden.
"Bagi Gus Dur, agama adalah penguat sendi kehidupan berbangsa dan bernegara," tutur Abdul Rouf Hanif, Ketua Lakpesdam PCNU Tanggamus.
Gus Dur sangat menyukai kitab Al-Hikam karya Ibnu Atho’illah Al-asykandari. Ajaran-ajaran tasawuf dari kitab Al-hikam diperaktikkannya untuk memimpin negara. Seringkali beliau juga mengutip kaidah ushul seperti; Tasharaf al-imam ala ra’iyah manutun bil maslahah (keputusan pemimpin harus mengikuti kemaslahatan rakyatnya). Bagi Gus Dur, agama adalah penguat sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sebaliknya, untuk merusak tatanan kenegaraan.
Ketika Gus Dur Dilengserkan
Saat Gus Dur dilengserkan, banyak yang sakit hati dan ingin membela beliau. Baik kalangan santri, Ansor-Banser, pendekar-pendekar NU dan elemen Nahdliyin pada umumnya semua siap pasang badan ke istana negara. Bahkan menurut pengakuan Gus Mus ada yang mengatas namakan dirinya pasukan berani mati. Tetapi dukungan yang sebegitu besarnya diredam oleh Gus Dur mencegah adanya konflik antar pendukung dan aparatur sipil negara. Bukan sebaliknya dimanfaatkan untuk mengamankan jabatan.
"Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus di bela mati-matian," demikian Gus Dur berprinsip.
Untuk menenangkan lautan massa di depan istana. Gus Dur keluar dengan begitu gagah menyapa para pendukungnya dengan mengenakan kaos dan celana kolor. Kejadian bersejarah, seakan Gus Dur memberikan pesan untuk para politisi dan seluruh rakyat Indonesia melalui cara berpakaianya. Bahwa tidak ada jabatan di dunia ini yang harus di bela mati-matian. Sebab yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan itu sendiri. Nilai-nilai Agama menjadi landasan Gus Dur berlaku arif bijaksana dan bersikap lapang dada, sungguh laku sufistik yang agung.
"Agama dan Negara seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan".
Sikap relegius disertai cinta terhadap nagara merupakan amanah para pendiri Nahdlatul Ulama termasuk kakek Gus Dur Hadratus syeikh Hasyim Asy’ari. Hadratus Syeikh berpesan Agama dan Negara seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bukan sebaliknya Agama dijadikan alat untuk menentang negara, alias makar/bughot.
Kenangan Faisal Basri, Sang Ekonom
Faisal Basri, pakar ekonomi terkemuka, menyampaikan kesan akan Gus Dur. "Kenangan Singkat Bersama Gus Dur", berikut ini:
Tokoh multidimensional yang sangat saya kagumi telah meninggalkan kita semua. Gus Dur wafat meninggalkan sejuta kenangan. Teringat betapa hangat sambutannya ketika saya menemuinya di “rumah transit” Jl. Irian. Saya yang bukan siapa-siapa dipersilakan masuk lebih dulu, sementara tamu-tamu yang jauh lebih penting sudah antre lebih awal. Bersama dua sahabat saya dipersilakan masuk ke kamar tidur tempat Gus Dur menerima tamu.
Kami berbincang tentang upaya-upaya memajukan perekonomian yang kala itu sedang tersengal-sengal keluar dari krisis. Kalau tak salah saya dua-tiga kali bertemu Gus Dur di Jl. Irian.
Sekali waktu, saya dminta menemuinya di Istana selepas subuh. Terrnyata di pagi buta istana sudah kebanjiran tamu, mulai menteri, anggota DPR, pegiat sosial, dan wartawan.
Saya diminta mengikutinya ke salah satu ruangan yang menyerupai ruang kerja. Di situ hanya kami berdua membicarakan upaya untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik.
Beberapa bulan kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan pembentukan Tim Asistensi Ekonomi Presiden yang beranggotakan Widjojo Nitisastro, Alim Markus, Sri Mulyani Indrawati, dan saya sendiri. Presiden tak pernah menanyakan terlebih dahulu tentang gagasan tim ini ataupun kesediaan kami. Tapi kami semua menerima dengan tulus, walau tanpa surat keputusan dan gaji.
Sri Mulyani dan saya ditugaskan mengikuti sidang kabinet mingguan. Agar tak menimbulkan tanda tanya di kalangan angota kabinet, pada awalnya kami ditempatkan di ruang rekaman. Kami bisa menyaksikan dan mendengarkan jalannya sidang kabinet, namun keberadaan kami tak dapat dilihat dari luar. Beberapa menteri merasa kurang nyaman dengan keberadaan kami.
Ada kesan bahwa kami ditugaskan untuk ”mengawasi” para menteri ekonomi, sebagai kepanjangan tangan Presiden. Apalagi mengingat kami, khususnya Sri Mulyani dan saya, diberikan hak bersuara dan menyampaikan pendapat pada sidang kabinet terbatas yang diperluas setiap hari Kamis. Pada forum ini hadir wakil dari Dewan Ekonomi Nasional dan Dewan Pemulihan Ekonomi Nasional yang dipimpin oleh Sofjan Wanandi. Kerap terjadi perdebatan tajam di antara peserta, terutama antara menteri-menteri ekonomi dengan yang bukan menteri. Di forum ini Presiden memperoleh second opinion.
Usia Tim Asistensi Ekonomi Presiden tak panjang, tak sampai satu tahun. Ketika Presiden mengumumkan perombakan kabinet, keberadaan tim ini pun lenyap.
Saya sempat diutus oleh Presiden ke Amerika Serikat menjajaki kemungkinan penyelesaian utang luar negeri selama 10 hari. Bersama Duta Besar RI di Washington, DC, Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, kami menyambangi tokoh-tokoh politik dan mantan Gubernur The Fed, investment banks, IMF, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga rating. Sempat pula berdiskusi di Usindo bersama tokoh-tokoh AS yang memiliki kepedulian tinggi terhadap Indonesia.
Setelah Gus Dur disingkirkan, kami lebih kerap berjumpa. Ia tak kenal lelah menyampaikan gagasan bagi kemajuan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Ia hampir selalu di jajaran terdepan kalau demokrasi dan pluralisme terancam. Sekali waktu, ia menghadiri diskusi sabtuan di Radio 68H dengan slang infus, keluar sejenak dari ruang perawatan di RSCM.
Kenangan yang juga tak terlupakan ialah ketika saya mendeklarasikan sebagai bakal calon gubenur Jakarta dari PDI Perjuangan di Gedung Proklamasi. Tak dinyana, Gus Dur hadir.
Teramat banyak masih kenangan indah bersamamu. Engkau guru bangsa.
Selamat jalan Gus Dur. (sosbud-kompasiana)
Kesaksiakn KH Husein Muhammad
Ada catatan istimewa sebagai kesaksian sejarah. Ditulis Dr. (H.C.) K.H. Husein Muhammad, Pendiri Institut Studi Islam Fahmina, Komisioner Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan. Kiai Husein Muhammad dikenal dekat dengan Gus Dur, yang humanis.
Berikut catatan tentang Saat Gus Dur Tinggalkan Istana:
“Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Bila musim Haul Gus Dur tiba, ingatanku tentang Gus Dur meninggalkan istana menyembul lagi bersama dengan sejuta kenangan yang lain. Minggu akhir Juli 2001 (aku tak ingat tanggal pastinya) pagi-pagi sekali aku berangkat ke Jakarta, setelah mendengar kabar bahwa Presiden Gus Dur akan meninggalkan istana untuk selanjutnya terbang ke luar negeri (Amerika) untuk berobat.
Dari stasiun Gambir aku langsung menuju istana Negara, tempat tinggal Gus Dur dan keluarganya selama menjadi Presiden. Aku acap datang ke sana sebelumnya jika diperlukan. Beberapa kali aku menginap di kamar di Istana Merdeka.
Di pintu masuk aku melihat sudah banyak orang, teman-teman dan para pecinta Gus Dur, yang antri masuk ke istana. Akupun ikut antri. Begitu tiba di teras aku langsung memasuki kamar Gus Dur. Di situ Ibu Sinta sedang duduk di atas tempat tidur, dengan dandanan yang sudah rapi.
Aku menyalami dan mendoakan kesehatannya, lalu keluar lagi. Di kamar itu aku sempat melihat kardus-kardus besar yang sudah dikemas rapih. Gus Dur di ruang lain sedang bincang dengan adiknya dan yang lain.
Di luar kamar, telah berkumpul para sahabat dan para pegawai istana. Mereka berdiri dan berbaris melingkar. Wajah-wajah mereka tampak lesu. Mataku dan mata mereka mengembang air dan tanpa terasa menetes satu-satu.
Istana bagai banjir air mata. Gus Dur dan ibu keluar, lalu menyalami mereka satu-satu. Setiap orang mencium tangannya dengan dada yang berdegup.
Aku menyalaminya. Sambil tangan masih saling menggenggam, Gus Dur seakan-akan mengatakan kepadaku : “Aku akan turun dari tahta ini dan meninggalkan istana ini karena keberadaanku di sini menimbulkan perpecahan bangsa. Aku bersedia tidak memiliki dunia ini, bila kalian menginginkannya, karena hatiku luas, seluas samudera, dan aku yakin bahwa Tuhan akan menunjukkan kebaikan dan memberikan kebahagiaan kepadaku. Aku katakan kepadamu : “Bila kalian menginginkan kebahagiaan, carilah kedamaian”.
Lalu Gus Dur meninggalkan kami menuju mobil sedan. Aku melihat dari belakang, mobil itu tak lagi berplat merah nomor RI 1. Selamat Jalan Gus Dur.
Aku selalu mencintaimu. Tanganku melambai-lambai lalu jatuh, lunglai, tak berdaya. (29.12.19/HM)