22 Jam Evakuasi Anak dari Episentrum Pandemi Jakarta
Ini cerita sehari menjelang pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta. Lockdown endek-endekan, kata orang Surabaya.
Ibukota RI ini menjadi kota pertama yang melaksanakan keputusan pemerintah pusat tentang Darurat Kesehatan. Cara yang dipilih untuk memutus mata rantai penularan virus Corona.
Hari itu, saya punya berkewajiban menjemput anak yang sudah dua minggu lebih harus ngendon di kamar karena Work from Home alias Kerja Nang Omah Wae dalam status ODP (Orang Dalam Pantauan) terkait pandemi Corona.
Kebetulan dia itu anak saya sendiri. Yang sejak setahun lalu bekerja di Jakarta. Di sebuah perusahaan milik pemerintah. Yang belum lama diambil alih kepemilikannya dari asing. Singkatnya diakuisisi. namanya SBI.
Sebetulnya anak saya menolak pulang. Bukan karena tidak ingin pulang. Tapi karena khawatir menjadi pembawa virus dari zona merah di Jakarta. Sikap hati-hati yang sangat luar biasa.
Padahal masa WFH di Jakarta diperpanjang. Sebentar lagi puasa Ramadhan. Juga lebaran. Padahal ia tinggal di kos-kosan. Bukan rumah atau apartemen yang nyaman.
Ikhlas Tak Mudik Lebaran
Dia sebetulnya sudah mengikhlaskan tidak mudik lebaran. Dia memilih kerja dari kosan di Jakarta selama masa Darurat Kesehatan. Meski itu sangat membosankan.
Tapi saya punya pikiran lain. Kalau sampai berbulan-bulan berada dalam kamar kos kecil, seperti apa jadinya. Tidak bisa ke mana-mana. Apalagi kalau penyebaran virus ini tak bisa diputus mata rantainya.
''Lama-lama kamu bisa berubah jadi kepompong dan hibernasi jadi kupu-kupu,'' kata saya berkelakar.
Maka bujuk rayu dilakukan. Saya yakinkan jika kebijakan pemerintah seperti sekarang dan sikap warga yang masih meremehkan, pandemi ini akan berkepanjangan. Tidak jelas kapan berakhirnya.
Singkat kata, ia akhirnya bersedia. Lalu dengan apa pulang ke Surabaya? Naik pesawat, tidak lebih aman untuk tak tertular. Naik kereta, apalagi. Sebab, perjalanan kereta lebih lama. Lantas bagaimana bisa balik ke Surabaya dengan mengikuti protokal ketat pencegahan Corona?
Ijin meninggalkan Jakarta dari atasanya dan dokter perusahaan pun didapatkan. "Pake mobil pribadi dan tidak mampir. Tetap PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, red), dan di surabaya WFH," pesan dokter dan atasannya.
Tak hanya itu. Protokol selama dalam perjalanan pun dibuat. "Jika terpaksa berhenti untuk ke toilet pastikan PHBS dan lokasi yg tidak ramai. Toilet adalah lokasi rawan," tambahnya.
Laporan Harian Suhu Badan
Mendapat pesan tentang protokol perjalanan ini membuat hati ini lega. Membuktikan perusahaan tempat anak saya bekerja sangat profesional. Juga sangat memperhatikan nasib maupun kesehatan karyawannya.
Selama menjalani WFH di Jakarta pun, kontrol dari perusahaannya sudah cukup ketat. Itu berlangsung selama 14 hari tanpa henti. Sampai status ODP dari kantor dicabut beberapa hari lalu.
Selama ODP, setiap hari dia dipantau. Harus melaporkan suhu badan kepada dokter tempat ia kerja. Juga melaporkan kalau ke luar rumah untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Jelas itu merupakan pekerjaan lain di luar pekerjaan kantor yang harus di kerjakan di rumah, eh di kosan. Selama 14 hari berturut-turut dengan protokol ketat. Benar-benar ndekem di kosan. Tak boleh keluar rumah.
Alhamdulillah, tak ada apa-apa setelah batuknya reda. Hanya gejala flu biasa. Bukan gejala terpapar Covid-19. Sampai setelah 14 hari sehat-sehat, status ODP dari kantornya dicabut.
Selama ndekem di kosan, hiburannya hanya nonton film lewat laptopnya. Saat di luar jam kerja. Kalau malam lakukan video call bersama keluarga. Dengan yang di Surabaya dan adiknya yang di Jogja.
Juga mengakses media sosial yang justru sering bikin uring-uringan. Saat melihat komentar netizen yang tak masuk akal. Atau perdebatan dunia maya yang tak sesuai akal sehat.
Ia sempat membatasi melihat medsos karena justru membikin senewen. Yang malah mengganggu kesehatan fisik maupun jiwa. Akhirnya melakukan pembatasan mandiri juga.
Makannya? Terkadang pesan makanan lewat daring. Atau melalui ojek online. ''Jadi terpaksa belajar memasak untuk tidak makan itu-itu saja,'' katanya masih dengan riang.
Ganti Masker 4 Jam Sekali
Untuk meyakinkan perjalanan evakuasi dari Jakarta aman, saya memutuskan menjemput sendiri. Bersama sopir keluarga yang riwayat kesehatannya selama pandemi juga dijaga ketat.
Persiapan perjalanan dilakukan. Semua kebutuhan dipenuhi. Makanan, minuman, dan beberapa alat tambahan. Ada juga hand sanitizer, masker dan semprotan portable disinfektan.
Masker bawa berlebih. ''Ganti masker setiap 4 jam sekali selama dalam perjalanan. Anak di belakang, bapak di depan sama sopir,'' kata Dr Widodo, kolega saya di RS Mata Undaan.
Istri langsung membuat daftar apa saja yang harus dibawa begitu saya memutuskan berangkat ke Jakarta. Minuman apa saja, makanan kecil yang bagaimana, sampai alat semprot jika harus gunakan fasilitas publik selama perjalanan.
Dia tahu saya belum pernah ke Jakarta naik mobil sendiri. Meski jalan tol Trans Jakarta sudah lama dituntaskan pemerintahan Jokowi. Yang sering hanya sampai Purwokerto atau Tegal di jalur utara.
Sopir saya juga belum pernah mengaspal ke Jakarta sejak jalon tol Trans Jakarta diresmikan. Tak apa. Cukup masuk gerbang tol Waru Surabaya terus saja sampai keluar di salah satu gerbang tol di Jakarta. Beres.
Tepat jam 19.00 berangkat dari rumah. Tadinya saya memperkirakan sampai Jakarta jam 6.00 pagi. Eh, di tengah perjalanan, cek aplikasi google map ternyata jam 3.30 sudah nyampai.
Sepanjang jalan tol sepi. Hanya satu dua kali menyalip mobil lain. Padahal, di hari biasa, jalan tol Surabaya-Mojokerto selalu padat. Juga tidak terlihat angkutan umum yang biasa melalui jalan tol.
Makin ke barat makin sepi. Seakan jalan tol yang lebar ini seperti milik sendiri. Ini baru namanya jalan yang benar-benar bebas hambatan.
Di Surabaya dan Jakarta, jalan bebas hambatan tidak sepenuhnya seperti sebutannya. Terkadang macet total. Atau tak bisa menggunakan kecepatan yang normal. Sering jalan merambat.
Terbayang betapa operator tol kali ini pasti sudah susah tidur. Demikian juga investornya. Harapan untuk panen setahun sekali pun kini terkubur. Sebab, pemerintah menganjurkan warga tidak mudik lebaran. Juga para pedagang yang telanjur nyewa kios di rest area. Gigit jari di lebaran kali ini.
Baru mulai Cirebon banyak mobil angkutan barang beriring-iringan. Mobil pribadi yang hanya satu dua. Masuk Cikampek, banyak truk juga melintas jalan tol menuju ibokota. Ini bukti produksi masih juga berjalan. Banyak kawasan pabrik di sepanjang Cirebon sampai Jakarta.
Saat sampai dini hari di daerah Cirebon, perut terasa lapar minta diisi. Saya minta berhenti di rest area. Untuk buang air kecil dan mecari makan malam. Rest area yang ada di tengah persawahan.
Niat makan malam terpaksa dibatalkan karena suasananya menyeramkan. Banyak warung yang sudah tutup. Yang masih terang benderang hanya mini market.
Tapi bukan itu yang membuat rasa lapar langsung hilang. Banyak sekali hewan kecil seperti lalat beterbangan. Bahkan tak sungkan menempel di badan. Ngeri.
Hanya sempat buang air kecil, lantas perjalanan dilanjutkan. Untuk mengganjal perut akhirnya makan pisang dan roti tawar yang disiapkan istri dari rumah. ''Makan di mobil saja. Rest area tempat penularan yang berbahaya,'' katanya.
Demi kehati-hatian, protokol ketat selama perjalanan diterapkan. Sepanjang jalan saya dan sopir selalu pakai masker. Setiap habis pegang sesuatu langsung cuci tangan pakai hand sanitizer. Memakai bungkus pastik di tangan saat mengisi pin ATM setiap bayar bensin. Seperti orang tak mau meninggalkan sidik jari di benda apa pun.
Akhirnya, jelang subuh sampailah di Jakarta. Dekat tempat kos anak saya. Di Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Sambil mengisi bensin, menghela nafas sejenak. Sopir saya menyempatkan mandi sebelum salat Subuh di Pom Bensin.
Setelah usai langsung meluncur ke tempat kos anak saya. Yang tinggal beberapa blok dari pemberhentian terakhir di Jakarta. Ia pun sudah siap. Langsung membawa barang-barangnya ke mobil. Saya menyempatkan numpang mandi sebentar di tempat kos anak saya.
15 Menit Misi Penjemputan
Total hanya butuh waktu 15 menit untuk berada di atas mobil untuk kembali ke Surabaya. Selama di Jakarta, kami sama sekali tidak berinteraksi dengan orang. Apalagi sempat ngobrol.
Hanya saat melakukan pengisian bahan bakar. Itu pun dengan protokol ketat. Tetap dalam mobil saat isi bensin. Tetap pakai masker dan menggunakan bungkus plastik saat menunul mesin EDC (Electronic Data Capture) saat membayar.
Mengapa harus demikian? Sebab, virus corona menular melalui tiga cara. Melalui Droplet alias percikan ketika orang batuk atau bicara, kontak erat seperti salaman, berpelukan, ciuman, dan cipika-cipiki. Juga lewat menyentuh benda yang terkontaminasi karena virus ini bisa bertahan berjam-jam di benda mati.
Maka selama perjalanan, semua yang berpotensi menularkan virus itu kami hindari. Ketika ketemu anak pun juga tidak bersalaman dan cipika-cipiki. Meski hampir dipastikan dia tidak sedang positif corona.
Hanya butuh 15 menit proses penjemputan anak dari kosan. Kami langsung meluncur pulang kembali ke Surabaya. Karena senang sudah bersama anak, sampai lupa mengarahkan jalan ke sopir. Sempat tersesat menuju Priok dan terpaksa memutar kembali ke tol yang mengarah ke Cikampek.
Setelah lepas Cikampek sejenak berhenti di rest area. Inginnya beli sarapan. Ternyata nasinya belum matang. Akhirnya cukup minum kopi dan sekadar makanan ringan untuk mengganjal perut. Lalu tancap gas lagi menuju Surabaya.
Rasakan Lokcdown di Tegal
Sesampai di wilayah Tegal perut terasa keroncongan. Saya putuskan keluar tol untuk mencari makan. Sambil melihat situasi kota yang lalu mengambil keputusan lockdown.
Pilihan utamanya makan sate kambing muda. Yang begitu terkenal di kota ini. Setelah mendapat referensi dari adik yang lama tinggal di Tegal, meluncurlah ke Warung Sate Windys.
Warung yang biasanya ramai ini pun tampak sepi. Saat itu hanya kami bertiga yang makan. Tak ada langganan lain yang datang. Asyik, bisa phisycal distancing dengan nyaman.
"Setelah lockdown hanya orang lokal yang datang," kata Windi, penjualnya. Biasanya warung ini jadi jujugan orang luar kota yang ingin kuliner di Tegal.
Selesai makan, sejenak keliling kota. Apa yang dimaksud lockdown oleh mereka? Mereka malakukan penutupan sejumlah ruas jalan. Juga beberapa jalan kecil masuk perkampungan.
Di beberapa tempat ada pengecekan suhu badan untuk para pengendara. Termasuk mobil yang lewat. Mereka terdiri dari petugas kota dibantu ormas kepemudaan setempat. Keren juga. Terasa suasana krisis di kota.
Setelah itu masuk kembali ke jalur tol menuju Surabaya. Hanya berhenti sebentar di rest area untuk buang air kecil. Menyusuri jalan bebas hambatan yang sangat sepi kendaraan.
Persis jam 16.50 menit sampai di rumah Surabaya. Langsung disambung si bungsu yang sudah pakai APD sederhana dengan penyemprot disinfektan. Seluruh bodi mobil dia semprot. Juga barang-barang yang dibawa.
Cukup? Tidak. Dengan thermogun, satu persatu yang baru pulang dari Jakarta dicek suhu badannya. Juga langsung disuruh mandi dan ganti semua pakaian.
The mission accomplished. Misi evakuasi anak dari Jakarta tuntas dalam 22 jam. Si sulung yang pernah berstatus ODP di Jakarta langsung diisolasi di kamarnya. Saya juga diperlakukan demikian. Lumayan bisa istirahat total tanpa ada gangguan. Setelah sehari semalam nonstop melakukan perjalanan.
Kok sebegitunya seperti takut mati? Tentu kami tak takut mati. Hanya kami tak mau mati dalam sepi dan sunyi. Apalagi tidak ada yang nahlili alias membacakan tahlil usai mati.