2024: NO Jokowi, NO Kemenangan???
Oleh: Erros Djarot
Memasuki babak kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kubu Ganjar dan terlebih lagi Prabowo, terkesan masih sangat kuat mengharapkan uluran tangan atau cawe-cawenya Pak Presiden, Jokowi. Harapan ini tentunya berdasarkan asumsi atau ilusi bahwa dalam kedudukan seorang Presiden, Jokowi dapat mempengaruhi hasil akhir Pemillu Pilpres yang sesuai dengan arahannya. Megingat Presiden ala milenial sekarang ini boleh ‘bermain’, cawe-cawe, atur sana atur sini, tidak wajib netral, dan dibenarkan membuat code of conduct-nya sendiri.
Para pimpinan partai kubu Ganjar dan Prabowo pun terkesan saling berlomba memperebutkan tempat duduk paling dekat dengan diri Pak Presiden, Jokowi. Seperti kurang percaya diri, seakan kalau tidak nempel ke Pak Presiden, Jokowi, kemenangan tidak bakal diraih…seolah NO Jokowi, NO Way to win! Hanya Anies Baswedan yang sampai hari ini masih tampil PeDe. Itu pun karena Jokowi memang sengaja menjauh. Belum tentu juga bila Presiden Jokowi tak menjauh, apa Anies tetap PeDe untuk memilih mengambil jarak menolak cawe-cawenya seorang Presiden??? Wallahu A'lam Bishawab..!
Belakangan ini, figur Jokowi menjadi seolah-olah sebagai sang penentu utama hasil akhir Pilpres 2024. Seakan, siapa pun kandidat capres yang terbidik oleh jari telunjuk Jokowi, berpeluang besar akan keluar sebagai pemenang. Sebegitu hebatnya terbangun keyakinan ini sehingga nyaris menjadi mitos resep menang pilpres (NO Jokowi, NO Way to win). Terbukti para pemimpin partai peserta pemilu pun seperti kehilangan percaya diri. Sukma dan jiwa mandiri mereka seperti hilang tersedot oleh tarikan kuat sentral magnet kekuasaan yang ada di dalam istana.
Bahkan, saking begitu menghambanya, seorang kandidat capres dari salah satu kubu rela menyodorkan kursi kandidat cawapresnya kepada putra mahkota ‘Dinasti Jokowi’, Gibran. Sedangkan PDIP, menurut seorang petinggi kunci, partainya melakukan hanya sebagai tindakan ‘ngelulu’, ingin tahu sejauh mana ambisi seorang kader belia bernama Gibran. Jangan-jangan malah semua ini desain bapaknya, sang sutradara. Terbukti ketika faktor umur menjadi kendala Gibran untuk bisa tampil, mereka terus bermanuver pantang mundur. Mahkamah Konstitusi pun ‘digrudug’ oleh tuntutan agar batasan umur minimum Capres/Cawapres, diubah lagi dari 40 tahun kembali lagi ke angka 35 tahun seperti sebelum diubah pada tahun 2017. Luar biasa…!
Fenomena Gibran layak Cawapres ini, sungguh merupakan peristiwa krisis mental, karakter, dan moral politik kenegarawanan dari para pimpinan partai di Republik ini. Di atas panggung politik nasional, mereka sering tampil bergerombol saling berebut antri paling dulu mendekat kursi Pak Presiden. Suatu pemandangan yang menyayat hati dan sangat memprihatinkan. Padahal mereka ini adalah para pimpinan partai, penanggungjawab, pimpinan, dan pengarah lembaga legislatif di Republik ini. Rakyat menugaskan mereka untuk bekerja mengawasi dan mengontrol kinerja Presiden (Eksekutif) walau dalam bingkai kerjasama kemitraan. Bukan menjadi pekathik (bawahan) yang menghamba dan mengharap belas kasihan dari sang majikan, Presiden.
Di tangan mereka dititipkan oleh rakyat hak yang sangat istimewa; bisa melakukan impeachment bila Presiden melakukan perbuatan tercela yang sangat berat. Atau nyata-nyata terbukti telah melakukan pelanggaran mendasar terhadap UUD 1945. Celakanya, antara yang diberi tugas mengawasi dan yang diawasi malah duduk bersama main mata dan ‘main kartu’ di satu meja. Ditambah lagi dengan para penanggung jawab lembaga Yudikatif ikut nimbrung berkomplot, maka selamat tinggallah impian... Good governance, sebagai salah satu cita-cita Reformasi 1998! Pelecehan terhadap kepercayaan rakyat ini pertanda… ‘’matinya institusi negarawan di negeri ini!”
Kembali ke mitos ‘NO Jokowi, NO Way to win’ rasanya menjadi perlu untuk secara rasional, melalui pintu budaya politik, dipertanyakan; apakah benar Presiden, Jokowi, merupakan sang penentu utama bagi kemenangan seorang kandidat capres dalam kontestasi Pilpres 2024? Karena anehnya, cukup banyak pengamat yang bersetuju dengan mitos ini. Secara pribadi, saya memberanikan diri untuk menyisakan kesangsian. Sekali pun tidak saya pungkiri bahwa berdasarkan UUD 1945, kekuasaan seorang Presiden Republik Indonesia sangat luarbiasa besarnya.
Saya teringat peristiwa tarik menarik di ruang politik kekuasaan pada zaman Orde Baru yang bisa kita jadikan referensi. Saya masih ingat betul bagaimana di masa jayanya seorang Ali Murtopo, Jenderal intel kepercayaan Pak Harto paling atas yang begitu sangat powerfull. Perintahnya selalu ditaati dan sigap dilaksanakan oleh para anak buahnya maupun para pemimpin institusi penyelengggara negara. Tapi begitu kedudukannya dilengserkan Pak Harto, dan lewat pintu Sekertaris Negara Sudharmono ditampilkan menjadi pemimpin baru, mendadak sontak berbondong-bondong para pengikut hingga kaki tangan Ali Murtopo melakukan hijrah pengabdian. Sebagian besar langsung hanya menuruti perintah sang bos baru, Sudharmono.
Hal yang sama terjadi pada diri Jenderal yang dikenal sangat berkuasa menentukan nasib seseorang, sangat ditakuti dan menyeramkan, Benny Murdani. Namun, ketika dilengserkan, dan Habibie (bos ICMI) dimunculkan Pak Harto sebagai putra mahkota, langsung Jenderal Benny Murdani tampil tak ubahnya bak singa ompong bahkan mirip seekor bebek lumpuh. Terakhir, terjadi pada Pak SBY. Tokoh yang dipuja-puja dan dielukan begitu tinggi selama satu dasa warsa, jelang masa purna jabatan sebagai Presiden, kehadiran tokoh kharismatik ini di mata publik politik tak lebih seperti figur kosong melompong yang omongan dan perintahnya diterima bawahan seperti angin lalu yang lewat begitu saja.
Pemujaan dan garis komando pun beralih ke sang idola harapan baru 2014, Joko Widodo alias Jokowi. Dan sebagai catatan tambahan yang sangat penting; Setiap penguasa/Raja baru tidak akan membiarkan dirinya hidup dalam bayang-bayang kejayaan penguasa/Raja sebelumnya! Begitulah tarik menarik-timbul tenggelamnya kekuasaan yang sering dan hampir selalu terjadi dalam wilayah budaya kekuasaan selama ini.
Oleh karenanya, sangat ahistoris bila di masa-masa akhir kekuasaan Jokowi, beliau masih diposisikan sebagai figur pemimpin yang perintahnya selalu ditaati bawahan di wilayah institusi negara, baik sipil maupun militer. Sekalipun saat ini mereka sudah jauh terpenjara dalam ilusi yang secara intens digelembungkan oleh para buzzer dan para penyihir di kalangan intelektual pendukung buta Jokowi. Sehingga mereka masih percaya bahwa ‘NO Jokowi, NO Way to win’ adalah realita. Seakan tanpa Jokowi sama dengan tanpa kemenangan….hmmm???
Ingat bapak-bapak dan Ibu, masih ada jarak cukup panjang hingga ‘hari H’ pencoblosan. Dalam dinamika politik yang liar seperti sekarang ini, segala sesuatu bisa terjadi. Termasuk juga hal yang tidak kita harapkan!
Untuk itu, sebagai tawaran, motto yang rasanya perlu kita kembangkan sebaiknya berbunyi begini… TANPA RAKYAT, pastilah TANPA KEMENANGAN SEJATI..!
Memang Jokowi adalah Presiden Indonesia, tapi Indonesia bukanlah Jokowi..! Tanpa Indonesia, Jokowi pun niscaya ‘tiada’ dan bukan apa-apa. Tapi tanpa Jokowi, Indonesia akan selalu dan harus tetap ada! (Dikutip seluruhnya dari GBN.Top)
*Erros Djarot; Poliitikus dan Budayawan