200 Ribu Orang Meninggal Akibat Covid-19 di Amerika Serikat
Kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat mencapai angka 200 ribu, pada Selasa 22 September 2020. Jumlah yang tak pernah diprediksi akan terjadi di negara terkaya di dunia, dengan laboratorium yang tersebar merata, ilmuwan utama, dan stok obat dan kebutuhan medis yang mencukupi, delapan bulan yang lalu.
"Sangat tidak terduga kami bisa ada di titik ini," kata Jennfier Nuzzo, peneliti di Universitas Johns Hopkins.
Titik baru yang suram ini hingga saat ini menjadi yang tertinggi di antara negara lain di dunia. Datanya didapat dari hasil hitung Johns Hopkins yang bersumber dari otoritas kesehatan setempat.
Namun, angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi dari yang terhitung. Sebab, kematian Covid-19 bisa jadi terbenam di antara penyebab lainnya, terutama pada masa testing Covid-19 belum merata.
Selain itu, jumlah kematian yang tercatat ini juga setara dengan kematian korban tragedi WTC 9/11, di setiap harinya selama 67 hari terakhir. Jumlahnya juga disebut setara dengan populasi yang tinggal di Salt Lake City atau Huntsville, Alabama.
Angka kematian pun terus meningkat. Laporan hariannya mencapai 770 kematian rata-rata di setiap harinya. Kota besar seperti Washington diprediksi akan menambah jumlah kematian hingga mencapai 400 ribu di akhir tahun ini. Faktor dibukanya sekolah, kampus, dan musim dingin, juga turut meningkatkan kemungkinan terburuk itu. Sementara, ketersediaan vaksin secara mencukupi baru ada di tahun 2021.
"Ide tentang 200 ribu orang meninggal, sangat menyedihkan, dan mengejutkan," kata Anthony Fauci, ahli kesehatan pemerintah kepada CNN.
Jumlah ini didapat Amerika Serikat, enam minggu sebelum hari pemilihan presiden belangsung, pada 3 November nanti.
Fakta ini juga membuat tenaga kesehatan Amerika Serikat heran. Sebelumnya, Amerika Serikat selalu menjadi panutan dalam berbagai hal, seperti demokrasi, moralitas pemimpinnya, serta dukungan atas teknologi hingga mampu mendarat pertama kali di bulan. "Sekarang, yang terjadi malah betapa antinya kami terhadap ilmu pengetahuan," kata Cedric Dark, seorang tenaga kesehatan di Sekolah Medis Baylor. (Alj)
Advertisement