17 Pesan Istimewa Gus Miek, Sebelum Nyai Lilik Wafat
KH Hamim Tohari Djazuli (akrab dipanggil Gus Miek) lahir pada 17 Agustus 1940. Putra KH Djazuli Utsman, seorang ulama sufi dan ahli tarekat Pendiri Pondok Pesantren Al Falah Mojo Kediri).
Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur.
Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan.
Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”Dzikrul Ghofilin” (pengingat mereka yang lupa).
Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Tepat pada 5 Juni 1993 Gus Miek mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Budi Mulya Surabaya (kini, RS Siloam). Kiai yang nyeleneh dan unik ini, meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini dirindukan.
Gus Miek mempunyai pendamping setia hingga akhir hayatnya. Dialah Bu Nyai Lilik Suyati atau akrab dipanggil Bu Nyai Lilik atau Bu Yat. Istri setia Gus Miek ini, pada Minggu, 6 Oktober 2019, meninggal dunia. Jenazah almarhumah pada Senin 7 Oktober pukul 08.00 WIB dimakamkan di Makam Aulia (Makam Dusun Tambak, Ploso, Mojo ) di Kediri.
Pasangan serasi, Gus Miek dan Nyai Lilik Suyati, dikaruniai enam anak, empat putra dan dua putri. Mereka adalah H Agus Tajjuddin Heru Cokro, H Agus Sabuth Pranoto Projo, Agus Tijani Robert Syaifunnawas, H.Agus Orbar Sadewo Ahmad, Hj Tahta Alfina Pagelaran, Ning Riyadin Dannis Fatussunnah.
Gus Miek mempunyai pesan-pesan khusus (Dhawuh) yang diyakini memberi jalan pencerahan bagi umat Islam, khususnya kaum santri dan warga Nahdliyin. Pesan ini pun beredar di masyarakat, sebelum wafatnya Bu Nyai Lilik Suyati, isteri tercinta Gus Miek.
Dhawuh 1
Saya adalah mursyid tunggal Dzikrul Ghofilin.
“Lho, Gus kok berkata begitu bagaimana dengan Farid dan Syauki..?” tanya Gus Ali Sidoarjo.”mereka hanya meramaikan saja," jawab Gus Miek
Dhawuh 2
Demi Allah, saya hanya bisa menangis kepada Allah, semoga sami’in yang setia, pengamal Dzikrul Ghofilin, semua maslah-masalahnya tuntas diperhatikan oleh Allah.
Dhawuh 3
Bila mengikuti Dzikrul Ghofilin, kalau tidak tahu artinya yang penting hatinya yakin.
Dhawuh 4
Barusan ada orang bertanya: Gus, Dzikrul Ghofilin itu apa..? saya jawab: “Jamu”.
Dhawuh 5
Dzikrul Ghofilin itu senjata pamungkas, khususnya menghadapi tahun 2000 ke atas
Dhawuh 6
Ulama sesepuh yang dikirimi surat Al-Fatihah oleh orang-orang yang tertera atau tercantum dalam Dzikrul Ghofilin itu yang akan saya dan kalian ikuti di akhirat nanti.
Dhawuh 7
Dekatlan kepada Allah..! kalau tidak bisa, dekatlah dengan orang yang dekat denganNya.
Dhawuh 8
Kemanunggalan sema’an Al-Quran dan Dzikrul Ghofilin adalah sesuatu yang harus di wujudkan oleh pendherek, pimpinan Dzikrul Ghofilin, dan jama’ah semaan Al-Qur’an. Sebab antara sema’an Al Qur’an kaliyan Dzikrul Ghofilin ingkang sampun dipun simboli kaliyan fatihah miata marroh ba’da kulli shalatin, meniko berkaitan manunggal.
Dhawuh 9
Semoga Dzikrul Ghofilin ini menjadi ketahanan batiniah kita, sekaligus penyangga kita di hari Hisab (hari perhitungan amal). Itulah yang paling penting..!
Dhawuh 10
Nuzulul Qur’an yang bersamaan dengan turunnya hujan ini, semoga menjadi isyarat turunnya petunjuk kepada saya dan kalian semua, seperti firman Allah: “Ulaika ‘ala hudan min rabbihim wa ulaika hum al-muflihun” (Mereka telah berada di jalan petunjuk , dan mereka adalah orang-orang yang beruntung).
Dhawuh 11
Barusan ada orang yang bertanya: Gus, bagaimana saya ini, saya tidak bisa membaca Al Qur’an..? saya jawab: “Paham atau tidak, yang penting sampean datang ke acara sema’an, karena mendengarkan saja besar pahalanya”.
Dhawuh 12
Sejak sekarang, yang kecil harus berpikir: kelak kalau besar, aku besar seperti apa, yang besar harus berpikir, kalau tua kelak, aku tua seperti apa, yang tua juga harus berpikir, kelak kalau mati, aku mati dalam keadaan seperti apa.
Dhawuh 13
Dalam sema’an ada seorang pembaca Al- Qur’an, huffazhul Qur’an dan sami’in. Seperti ditegaskan oleh sebuah hadits: Baik pembaca maupun pendengar setia Al Qur’an pahalanya sama. Malah di dalam ulasan tokoh lain dikatakan: pendengar itu pahalanya lebih besar daripada pembacanya. Sebab pendengar lebih main hati, pikiran, dan telinganya. Pendengar dituntut untuk lebih menata hati dan pikirannya dan lebih memfokuskan pendekatan diri kepada Allah.
Dhawuh 14
Satu-satunya tempat yang baik untuk mengutarakan sesuatu kepada Allah adalah majelis semaan Al-Qur’an. Hal ini tertera di dalam (kalau tidak salah) tiga hadits. Antara lain Man arada an yatakallam ma’a Allah falyaqra’ Al-Qur’an (siapa ingin berkomunikasi dengan Allah, hendaknya ia membaca Al-Qur’an).
Dhawuh 15
Seorang yang ikut sema’an berturut-turut 20 kali saya jamin apa pun masalah yang sedang dihadapinya pasti akan beres/tuntas.
Dhawuh16
Ada seorang datang kepada saya: “Gus, problem saya bertumpuk-tumpuk, saya sudah mengikuti sema’an 19 kali, tinggal 1 kali lagi, kira-kira masalah saya nanti tuntas atau tidak..?” saya jawab: “yang sial itu saya, kok bertemu dengan orang yang mempunyai masalah seperti itu.”
Dhawuh 17
"Saya sendiri sebagai pencetus sema’an Al Qur’an ternyata kurang konsekuen, sementara sami’in datang dari jauh, bahkan hadir sejak subuh, mulai surat Al fatihah dibaca sampai berakhir setelah doa khatmil Qur’an malam berikutnya baru mereka pulang. Sedang saya ini, baru datang kalau semaan Al-Qur’an akan diakhiri. Itu pun tidak pasti. Terkadang saya berpikir, saya ini seorang yang dipaksakan untuk siap dipanggil kiai."
Advertisement