17-an dan Nasionalisme
Oleh Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Persis sepuluh tahun lalu, seorang dosen asal Malaysia; berkehendak jadi visiting research fellow di FISIP, Universitas Jember. mengingat ada agenda mengajar di Malang, saya menjemputnya di stasiun Malang, setalah Ia singgah terlebih dahulu di Yogyakarta. Syahdan, dalam perjalanan darat dari Malang menuju Jember, sekitar pukul 14.00 WIB; kami terjebak kemacetan di daerah Purwosari. Melihat kerumunan massa yang meriah di kiri kanan jalan, sang dosen Malaysia tersebut berguman sambil bertanya: “Oh, traffic jam! Ada event apa? Saya jawab: “Ada lomba gerak jalan 17-an, memperingati hari Kemerdekaan Indonesia”.
Jawaban saya membuatnya tertegun, seakan tak percaya. “Really? Di bawah terik matahari macam ini?”, tukasnya. Saya menjawab: “Iya! Setiap 17-an memperingati hari kemerdekaan kami biasa melakukan selebrasi laiknya pesta rakyat, tak peduli panas menyengat, seperti gerak jalan ini”. Dengan muka serius ia bergumam: “Event macam ini tak ada di Malaysia, karena kebanyakan rakyat enggan berpeluh didera panas matahari. Selebrasi kemerdekaan biasanya hanya upacara dan acara-acara di gedung ber-AC”. Ungkapannya, mengulik ingatan saya. Kala menjalani visiting research fellow di Taiwan tahun lalu, saya mendapati hal yang serupa. Peringatan kemerdekaan di sana juga sekedar upacara resmi di Ibukota, tanpa keterlibatan rakyat jelata.
Dua komparasi di atas mendorong refleksi keras. Bagaimana nasionalisme Indonesia pada awalnya bisa menjangkau dan melekat dalam jiwa rakyat lapis bawah?” Pertanyaan ini berangkat dari asumsi, bahwa salah satu ekspresi kelekatan jiwa nasionalisme seseorang adalah terdapatnya ‘ikatan emosional’ (emotional connection) dengan simbol-simbol negara-bangsa. Kala menempuh pascasarjana di Flinders University, Australia; dalam setiap event tahunan peringatan hari internasional, saya selalu melihat semua bendera negara asal mahasiswa asing dipajang berjajar di dinding dome. Setiap memandang sang Merah Putih, gejolak emosional selalu terasa di dada, sangat berbeda kala memandang bendera lain di sekitarnya.
Peristiwa yang dramatis pernah terjadi di Manila, Filipina. Pada awal 1990-an terjadi protes anti-Indonesia di depan kedutaan Republik Indonesia di sana, berkaitan isu Timor Timur. Ketika bendera merah putih mau dibakar, seorang WNI secara heroik menyeruak kerumunan pemrotes guna merebutnya, kemudian ia berlari kencang meyelamatkan bendera merah putih itu dengan membawanya masuk ke kompeks kedutaan. Saat ditanya media mengapa ia melakukannya, padahal tindakannya tersebut bisa mengancam keselamatannya, jawabnya singkat: “Saya tak tega [bendera merah putih dibakar] dan marah!”.
Dua ilustrasi ekspresi dari nilai kebangsaan ini, relatif mudah dijelaskan. Pasalnya, berkat modernisasi, generasi 1970-an dan kaum millenial pada umumnya punya banyak kanal untuk memperoleh sosialisasi kebangsaan. Jalur formal, seperti sekolah dengan berbagai elemen pendidikannya seperti pelajaran Pancasila, upacara, dan kegiatan pramuka telah terjangkau banyak orang. Begitu-pun jalur non-formal, seperti media massa dan sosial media, juga sudah merata menjangkau semua kalangan.
Tapi, di awal kemerdekaan, kanal sosialisasi kebangsaan jelas sangat terbatas. Sesaat setelah selesai membaca teks proklamasi, Bung Karno berkata: ”Saudara dan saudari! ... Tidak ada lagi pertalian lain [dan hanya kemerdekaan] yang [bisa] mengikat negara kita dan rakyat kita]!”. Dengan ungkapannya ini, Bung Karno nampaknya sadar akan pentingnya ikatan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, karena bisa menyuburkan rasa memiliki terhadap negara yang baru lahir. Konon, rasa memiliki berbasis kebangsaan akan memupuk jiwa nasionalisme sekaligus memperkuat semangat pengorbanan untuk negara.
Namun, pertanyaannya, bagaimana ikatan kemerdekaan bisa terajut dengan kokohnya? Pasalnya, saat proklamasi secara sosiologis kondisi bangsa Indonesia masih memprihatinkan. Dalam hal literasi, misalnya, dari total 80 juta penduduk, hanya 10% yang bisa baca tulis. Tak heran, jika pada awalnya gerakan nasionalis lebih bersifat elitis. Berdasarkan penelitiannya, Robert van Niel, berargumen bahwa gerakan tersebut bersumber dari ‘elit urban Indonesia modern’, sedangkan penduduk desa tetap dalam "dunia komunalnya yang tertutup". Di luar Jawa, kondisinya tak jauh beda. Studi William Liddle di Sumatera Utara mengungkapkan bahwa politik regional hanya terpusat pada kelompok elite urban modern, “tanpa ikatan atau makna bagi rakyat jelata”.
Guna mengungkap misteri bagaimana nasionalisme meresap ke lapisan sosial bawah di awal kemerdekaan, penjelasan politis perlu diperkaya dengan pendekatan sosiologis. Dalam konteks ini, peranan elite lokal dalam struktur sosial tradisional nampak berperan signifikan. Di Jawa, misalnya, Clifford Geertz mendapati peran krusial para Kiai sebagai ‘perantara budaya’ (cultural brokers), yaitu menghubungkan “sistem [sosial] lokal dengan sistem yang lebih luas”. Bahkan, di masa itu, para Kiai sempat mengalami mutasi peran; dari yang semula sebagai mediator dunia Islam global dengan komunitas lokal, berubah menjadi penghubung antara ideologi abstrak bernama nasionalisme dengan masyarakat lokal di berbagai pelosok desa.
Secara empiris, beberapa gerakan nasionalis ‘lapis bawah’ telah menghiasi sejarah. Di Jawa Timur, misalnya, setelah proklamasi kemerdekaan, Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari–bersama ulama Nahdlatul Ulama (NU)–mengeluarkan Resolusi Jihad; yang intinya kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Resolusi ini, mampu menggerakkan rakyat lapis bawah melawan Belanda dalam pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Gerakan nasionalis di lapis bawah juga terjadi di Jawa Tengah. Ketika berkunjung di kota kecil Parakan, guna takziyah orang tua sahabat yang wafat; saya mendapati rumahnya berada dalam lingkungan pesantren. Di komunitas pesantren tersebut, saya sempat mendengarkan kisah heroik Kiai Subkhi, yang dikenal juga sebagai “Kiai Bambu Runcing”. Pentahbisan julukan ini tak lepas dari perannya dalam memobilisir kaum pemuda untuk mengumpulkan bambu yang diruncingkan, yang kemudian dilengkapinya dengan rapalan doa khusus. Dengan berbekal bambu runcing yang telah dilambari doa, masyarakat lokal kemudian bergerak melawan penjajah Belanda.
Meskipun menggunakan struktur sosial yang berbeda, gerakan nasionalis lokal sangat mungkin terjadi juga di daerah-daerah lain, termasuk di luar Jawa. Sayangnya, sependek pengetahuan saya, kisah-kisah ‘vernacular nationalism’ ini, masih kurang digali. Kalaupun ada, kebanyakan dilakukan oleh peneliti asing yang sangat mungkin tak punya emotional connection dengan peristiwanya.
Padahal, elemen yang melekat, seperti social capital, etos perjuangan, dan spirit berkorban yang diwariskan gerakan nasionalisme mempunyai nilai ekstrinsik. Setidaknya, berbagai elemen tersebut berpotensi untuk direvitalisasi guna melahirkan gerakan kontemporer, termasuk gerakan mewujudkan ‘kemerdekaan Indonesia yang sejati’, di tengah kepungan gelombang globalisasi. Wallahu’alam ...
*Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional – Universitas Jember