16 Kepala Daerah Dikuasai Politik Dinasti, Nepotisme Naik Kelas
Praktik korupsi cenderung terjadi atau merajalela dalam nepotisme kekuasaan. Hal itu dapat dilihat dari 16 kepala daerah yang wilayahnya dikuasai politik dinasti, yaitu ditangkapnya mereka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Itulah sebab tuntutan reformasi, ketika itu, adalah menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN."
Demikian pernyataan Aktivis Pro Demokrasi 98, Ray Rangkuti dalam Diskusi Akhir Pekan Titik Temu dengan Tema “Bahaya Nepotisme Jokowi” di Ayoja Cafe Jakarta Selatan.
Diskusi dipandu Sebastian Salang ini juga menghadirkan aktivis Pro Demokrasi 98, Samuel Nitisaputra dan aktivis pro demokrasi 98 dari Surabaya, Jojo Rohi.
Menyinggung situasi politik yang terjadi saat ini di Pilpres 2024, Ray Rangkuti mengibaratkan tidak ubahnya nepotisme yang naik kelas. Karena Ray melihat, nepotisme telah terjadi di sejumlah daerah, sejak digelarnya Pilkada 2005.
Bahkan Ray mencatat, politik dinasti di daerah menjadi raja raja kecil, dan kekuasaan berputar di kalangan keluarga saja, sejak ada pilkada.
Pada tahun itu, Ray mencatat ada 60 daerah yang dikuasai oleh dinasti politik. Tahun 2020, meningkat menjadi 117 daerah, atau 21 persen. “Dikhawatirkan pada Pilkada 2024 nanti dinasti politik akan meningkat hingga 25 persen” ujar Ray.
UU yang Gagal Dilaksanakan
Untuk mencegah dinasti politik berkembang biak, menurut Ray, sebenarnya telah dilakukan pembatasan dalam Undang Undang no 8 tahun 2015, tentang Pilkada.
Pada Pasal 7 huruf f dalam UU ini disebutkan, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.
Namun pasal ini dibatalkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28i ayat 2 UUD 1945.
Tidak jauh beda dengan Ray Rangkuti, Aktivis Pro Demokrasi 98 dari Surabaya, Jojo Rohi melihat, situasi politik jelang Pilpres 2024 ini seperti Orde Baru 4.0.
Politik dinasti yang dimainkan saat ini memberikan kesempatan kepada kalangan muda untuk maju, tanpa mengindahkan etika. Jojo menyayangkan, ada hal personal yang telah mempertaruhkan masa depan bangsa.
Kondisi politik saat ini, menurut Ray membuat orang tidak lagi berharap bisa menjadi elit politik, bila bukan keturunan elit politik atau punya darah biru di dunia politik atau tidak memiliki modal untuk masuk ke sana.
“Karena instrument demokrasi telah dipakai untuk membangun dinasti politik” kata Ray.
Ray Rangkuti menambahkan, nepotisme telah menyebabkan proses kaderisasi mandeg, karena aturan dibuat bukan untuk semua anak muda, tapi aturan dibuat hanya untuk anak si A atau anak di B saja.
Aktivis Pro Demokrasi 98 lainnya Samuel Nitisaputra menyatakan, saat ini sebenarnya memar reformasi 98 masih sangat terasakan. Sehingga saat kasus nepotisme seperti sekarang ini terjadi memunculkan traumatik bagi para aktivis pro demokrasi lainya.
Samuel menuturkan, secara ekonomi, nepotisme menyebabkan munculnya kolusi dan korupsi, seta membuat inefisiensi. Kondisi semacam itu akan mengarah pada memburuknya perekonomian nasional, akibat high cost economi.
“Sebelum sampai seperti tahun 97 dan 98, kita ingatkan jangan lakukan lagi” ujar Samuel.
Namun permasalahan yang diakui sulit, menurut Ray, bagaimana menyadarkan masyarakat tentang bahayanya nepotisme, ditengah kepuasan pada kinerja Jokowi.
Ray khawatir, cara cara seperti yang dilakukan Presiden Jokowi akan digunakan oleh pemimpin pemimpin selanjutnya.
“Kiatnya, puaskan dulu masyarakat, hingga tingkat kepuasan mencapai 70 atau 80 persen, lalu minta apapun akan dituruti oleh masyarakat. Hingga periode pemerintahan tak terbatas” kata Ray Rangkuti.
Advertisement