120 Demonstran Ditangkap Usai Ditembakkan Gas Air Mata
Kepolisian Hong Kong bubarkan demonstran terbesar sejak wabah virus corona atau Covid-19. Polisi menangkap setidaknya 120 orang ketika mereka mengikuti demonstrasi menentang rencana China memberlakukan undang-undang keamanan baru di Hong Kong.
Polisi juga menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah ribuan demonstran yang menggelar aksi di sejumlah lokasi di Hong Kong, pada Minggu 24 Mei 2020.
Kerumunan tampak memadati distrik perbelanjaan yang ramai di Causeway Bay. Para demonstran meneriakkan, "Revolusi zaman kita. Bebaskan Hong Kong", "Berjuang untuk Kebebasan, Dukung Hong Kong", dan "Kemerdekaan Hong Kong, Satu-satunya Jalan Keluar".
Protes ini adalah yang pertama terjadi sejak Beijing mengusulkan undang-undang keamanan nasional, pada Kamis 21 Mei lalu.
"Warga bisa saja dipidanakan hanya karena kata-kata yang mereka ucapkan atau mereka terbitkan, menentang pemerintah," kata salah seorang peserta aksi Vincent, sebagaimana dilaporkan oleh kantor berita AFP.
Pria berusia 25 tahun itu merujuk pada rancangan undang-undang keamanan nasional baru yang kini digodok di China.
Beberapa demonstran melemparkan payung dan botol air ke polisi. Mereka juga menggunakan tong sampah dan benda-benda lain untuk menghalangi jalan.
Undang-undang keamanan nasional yang sedang digodok Beijing tersebut dianggap kontroversial. Pemerintah China bisa melangkahi para legislator terpilih dari Hong Kong untuk memaksakan perubahan hukum nasional yang kemudian harus diterapkan di Hong Kong, baik melalui undang-undang maupun dekrit.
Para aktivis prodemokrasi khawatir undang-undang itu akan digunakan untuk memberangus penentangan yang berlawanan dengan kebebasan yang diabadikan dalam Undang-Undang Dasar, karena undang-undang serupa di China juga digunakan untuk membungkam oposisi terhadap Partai Komunis.
Sejak Inggris mengembalikan kedaulatan Hong Kong ke China pada 1997, wilayah itu telah menjalankan kebijakan "satu negara, dua sistem" dan pemerintahan "otonomi tingkat tinggi". Akan tetapi para aktivis dan gerakan prodemokrasi, merasa bahwa sistem itu sedang dirusak oleh Beijing.