11 Tahun Gus Dur Tiada, Islam Ramah Hadapi Tantangan
Indonesianis asal Belanda Martin van Bruinessen menilai, KH Abdurrahman wahid (Gus Dur) adalah perwujudan dari citra ideal Islam Indonesia. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini sanggup menjembatani ortodoksi keislaman dengan ide-ide modern. Seperti, demokrasi, kebebasan beragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender. Bahkan teologi pembebasan, sebuah diskursus keagamaan yang asing bagi umat Islam Indonesia.
Namun, "smiling face" Islam Indonesia itu dalam pandangan Martin van Bruinessen kini telah berubah. Karena, Indonesia sejak 2005 mulai menunjukkan ke arah sikap permisif terhadap ide-ide fundamentalisme Islam. Jika melihat titik balik arus Islam Indonesia sejak kejatuhan Soeharto, kelompok Islamis dan Muslim fundamentalis telah menjadi bagian penting dalam permainan politik kekuasaan nasional.
Kekaguman Van Bruinessen pada Islam Ramah yang disuarakan Gus Dur itu pun dilontarkan Indonesianis lain, William Liddle. Ia menulis artikel berjudul My Name is Abdurrahman Wahid yang bisa dianggap sebagai ucapan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden.
Judul tulisan itu diambil dari salah satu novel favorit Gus Dur yang ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi-Amerika, Chaim Potok. Yakni, My Name is Asher Lev. Liddle terkejut pada fakta bahwa seorang pimpinan organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Gus Dur menjadikan sebuah 'novel Yahudi' sebagai salah satu bacaan favoritnya.
Demikian kesaksian DR Zainul Hamdi, ," kata dosen UINSA Surabaya, yang juga aktivis Gusdurian di Jawa Timur, seperti dilansir Antara.
Memang, plural, majemuk, atau bhinneka, adalah sebuah keniscayaan bagi Bangsa Indonesia. Perbedaan di antara Bangsa Indonesia agaknya cukup lengkap. Di antaranya kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Suku/kesukuan yang ada memang sangat beragam mulai dari Batak, Jawa, Madura, Sumatera, Dayak, Bugis, Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Apalagi, agama. Mayoritas memang Islam, tapi jumlah pemeluk Kristen/Katholik, Hindu, Buddha, dan lainnya juga tidak sedikit.
Ras juga tidak sedikit, meski dapat disederhanakan dalam pribumi dan non-pribumi. Antargolongan juga idem, meski dapat disimpulkan dalam kaya-miskin. Untuk itu, persatuan/kebersamaan dalam konteks Indonesia adalah "bersama dalam berbeda", bukan "bersama dalam kesamaan".
Bahkan, kemajemukan itu juga terlihat dalam "keragaman" lain yakni mulai dari masyarakat yang berpendidikan tinggi (profesor) hingga masyarakat yang tidak sekolah sama sekali, mulai dari masyarakat yang hidupnya sering bepergian ke luar negeri hingga masyarakat yang hidupnya "nomaden" dari hutan ke hutan, mulai dari masyarakat "kulit putih" Dayak hingga "kulit hitam" Papua.
Nah, kemajemukan yang sungguh lengkap itu bukan perkara mudah untuk diikat dalam satu negeri, meski bangsa ini sudah cukup lama memegang prinsip bhinneka tunggal ika (berbeda dalam kebersamaan, bukan kesamaan; mirip dengan E Pluribus Unum), apalagi saat ini berkembang "politik identitas" yang memaksakan "kesamaan" (keseragaman) sikap yang anti-kemajemukan.
Kini, keseragaman sikap anti-kemajemukan yang dipaksakan itu ada tiga model sikap yakni takfiri (menyalahkan secara ide), teroris (menyalahkan secara 'pemaksaan' ide/perbuatan), dan jihadis (menyalahkan secara fisik/membunuh/benturan/konflik).
Tentu, ketiga sikap ini jika dipaksakan akan menjadi sumber konflik tanpa henti. Nah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencermati adanya potensi konflik itu di dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk itu dengan hadirnya sikap anti-kemajemukan (takfiri-teroris-jihadis) itu dalam 1-2 dekade terakhir.
Tokoh NU yang sejak muda sudah "mengarungi" berbagai pemikiran tokoh-tokoh dunia melalui hobi baca itu berusaha meneladani para ulama pendiri NU untuk "mengendalikan" sikap anti-kemajemukan itu melalui perpaduan tiga hal yakni keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, sehingga Islam pun dikagumi sebagai "Islam Ramah" (Islam Rahmatan lil Alamin).
Dalam konteks "ramah" itulah, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi yang berhadapan dengan Orde Baru, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengembangkan hubungan baik dengan komunitas non-Muslim hingga ceramah di gereja, memasyarakatkan Khittah NU, menjadi Presiden dengan orientasi pada hubungan persahabatan antarnegara di dunia.
Tentu, langkah-langkah Gus Dur itu bukan tidak mengundang "kemarahan" pihak lain, bahkan sejumlah ulama pun sempat bertanya langsung kepadanya, diantaranya Forum Demokrasi, PKB, dan Khittah NU yang disebut Gus Dur sebagai "keran" masuknya umat Islam ke pusat kekuasaan. "Ya, saya memang ceramah di depan ratusan pendeta, tapi kalau tidak ceramah, kapan para pendeta itu mengenal Islam, mengenal Al Quran?," ujar Gus Dur, singkat.
Tidak hanya itu, ketika Gus Dur memerintahkan Banser-Ansor menjaga gereja saat Natal pun diejek, bahkan ada seorang kiai yang memprotesnya bahwa Gus Dur hanya akan membuat Banser-Ansor layaknya satpam, Gus Dur pun dengan enteng menjawab, "Kurang muliakah jika kita menjadi satpam Indonesia?".
Justru, langkah dan respons Gus Dur sebagai simbol "Islam Ramah" itu banyak mengundang decak kagum para Indonesianis terhadap Indonesia sebagai satu-satunya "negara besar" yang mampu "mengawinkan" demokrasi dengan agama secara damai dan sukses. Ya, Islam Ramah adalah warisan Gus Dur yang cukup indah dan kini menjadi rujukan di tingkat dunia.
Tahun 2011, seorang Indonesianis dari Belanda, Martin van Bruinessen, menerbitkan artikel berjudul What Happened to the Smiling Face of Indonesian Islam? yang seakan menyuarakan kerinduan kepada warisan "Islam ramah" Gus Dur di tengah fenomena "wajah keras" Islam di Indonesia pasca-Soeharto.
Advertisement