10 Tahun Lagi, Malang Jadi Kota Tak Nyaman
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Nurkholis menyatakan bahwa sekitar 10 hingga 15 tahun lagi Kota Malang akan menjadi kota yang tidak nyaman lagi, karena kemacetan yang luar biasa.
"Sampai saat ini saya tidak melihat ada lembaga pemerintah yang berani mengeluarkan regulasi pembatasan jumlah kendaraan, termasuk di Kota Malang. Bahkan, meningkatnya jumlah kendaraan tidak berbanding lurus dengan meningkatnya ruas jalan," kata Nurkholis di sela dialog publik dengan tema "Kota Malang Darurat Infrastruktur Ekonomi" di FEB UB Malang, Selasa.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kata Nurkholis, ancaman kemacetan parah akan benar-benar terjadi dan kondisi itu membuat kota pendidikan tersebut menjadi tidak nyaman. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan maupun transportasi massal sangat diperlukan.
Salah satu alternatif yang bisa mengurai kemacetan di tengah kota, lanjutnya, adalah jalan lingkar yang bersinergi dan tersambung dengan wilayah Kota batu dan Kabupaten Malang. Selain itu, transportasi massal yang nyaman juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
"Dan setiap pembangunan infrastruktur selalu memberikan dampak perekonomian bagi masyarakat sekitar. Ada tiga penggerak ekonomi di Indonesia, yakni pembangunan infrastruktur, konsumsi masyarakat, dan yang ketiga investasi," ucapnya.
Hanya saja, kata Nurkholis, jangan sampai pertumbuhan infrastruktur tidak dibarengi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur seharusnya menciptakan lapangan kerja, menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan.
"Apalagi Kota Malang ini merupakan kota yang sudah mapan, namun yang kami perlukan sekarang adanya akselerasi kinerja yang mengalami lompatan agar perekonomian bisa tumbuh pesat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Malang bisa dipicu dengan sektor pendidikan dan pariwisata, sehingga kota ini harus dibuat nyaman," paparnya.
Menanggapi kondisi lalu lintas di Kota Malang tersebut, Wali Kota Malang Sutiaji mengemukakan bahwa untuk solusi jangka pendek dan menengah yang dilakukan oleh Pemkot Malang adalah mengembangkan Integrated Traffic Control (ITC) atau sistem kontrol lalu lintas cerdas yang saat ini ada di 17 titik perempatan.
Untuk itu, lanjut Sutiaji, Pemkot Malang akan terus melakukan berbagai upaya baik jangka pendek, menengah maupun panjang untuk mengurai kemacetan dalam bentuk rekayasa lalu lintas di sejumlah koridor jalan. Selain itu, pemeliharaan dan perbaikan jalan di Kota Malang akan segera dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Berdasarkan data yang dipaparkan Sutiaji, jumlah kendaraan di Kota Malang terus bertambah sejak 2012.
Pada 2012, jumlah kendaraan mencapai 858.666 unit. Pada 2013 meningkat menjadi 895.556 unit, pada 2014 bertambah menjadi 898.556 unit, dan 2015 menjadi 943.156 unit, serta 1.045.380 pada 2016.
"Terus bertambahnya jumlah kendaraan di Kota Malang, sementara ruas jalan tidak bertambah, tidak menutup kemungkinan Kota Malang menjadi kota termacet kedua setelah Jakarta. Apalagi, dalam waktu dekat ini akan ada jalur keluar tol, sementara Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Tanah Air terus berbenah dan mengurangi tingkat kemacetan," paparnya.
Bahkan, lanjutnya, telah ada penelitian yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya terhadap pergerakan manusia di kota itu. Dengan adanya penelitian itu, Pemkot Surabaya memiliki data pergerakan manusia sehingga bisa memprediksi jalan-jalan yang rawan macet.
Sementara di Kota Malang, kata Sutiaji, belum ada penelitian atau survei seperti yang dilakukan Kota Surabaya.
"Saya kira sudah menjadi pemandangan setiap hari kemacetan di Kota Malang. Kenapa Surabaya urutan ketujuh, karena di titik tertentu dan jam tertentu saja macetnya. Kalau di Kota Malang hampir setiap jam," katanya.
Oleh karena itu, kata politikus Partai Demokrat itu, ke depan Pemkot Malang akan melakukan pembangunan yang berbasis penelitian ilmiah, meskipun penelitian atau survei itu tidak murah, namun nilai itu yang memang harus dibayar demi kebaikan Kota Malang ke depannya.
"Surabaya telah melakukan terobosan. Survei biayanya memang cukup tinggi, tapi tidak apa-apa. Kita harus mendorong kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan, itulah yang akan kami lakukan," pungkas Sutiaji. (ant)