10 Prinsip Islam Wasathiyah MUI, Dinilai Sangat Progresif
10 Prinsip Islam Wasathiyah MUI dalam Moderasi Beragama di Indonesia, mendapat apresiasi Peneliti Kementrian Agama, Prof Muhammad Murtadho. Menurutnya, 10 prinsip Islam Wasathiyah MUI sangat progresif dan memiliki kontribusi yang besar dalam kemajuan bangsa Indonesia.
"Moderasi beragama di tengah masyarakat masih dipahami secara sepihak dan belum menyeluruh. Belum lagi penyuluh agama tidak tuntas jelaskan moderasi beragama. Itu sering terjadi,” ujarnya saat menjadi narasumber FGD dalam Penyusunan Modul dan Silabus Dakwah Islam Wasathiyah, di Gedung MUI, Jakarta Pusat, Jumat 5 Agustus 2022.
Kegiatan yang digelar oleh Komisi Dakwah MUI ini bertema: Implementasi Islam Wasathiyah untuk Kedamaian dan Kemajuan Indonesia.
Prof Murtadho berpendapat apabila pemahaman dan pengamalan moderasi beragama tidak ditempuh secara utuh dan integral, termasuk mengenai 10 prinsip Islam Wasathiyah, hal ini hanya akan berpotensi menjadi agenda sesaat.
Prof Murtadho menyampaikan bahwa Kemenag menilai moderasi beragama seperti jalan Tol.
“Selama relasi antarumat beragama tidak kolaboratif, moderasi agama wajib dilakukan,” ujarnya.
Pria yang juga aktif sebagai peneliti di BRIN ini berharap, kurikulum Islam Wasathiyah tidak berhenti secara material untuk moderasi beragama di Indonesia.
Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI KH Ahmad Zubaidi, Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Habieb Nabiel Al-Musawa, dan Sekretaris Komisi Dakwah MUI Ust Candra Krisna Jaya.
10 Prinsip Islam Wasathiyah
Islam Wasathiyah adalah “Islam Tengah” untuk terwujudnya umat terbaik (khairu ummah). Adapun 10 prinsip Islam Wasathiyah, yakni:
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama).
2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).
3. I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
5. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
6. Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
7. Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashla.
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.
9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia.
10. Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.