10 Pahlawan Nasional Wanita Berjasa Untuk Indonesia
Tanggal 10 November 2021 diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hal ini untuk mengenang serta mengingat kembali bagaimana perjuangan para pahlawan revolusi memerdekakan negara dari masa penjajahan. Wanita juga ikut andil dalam melawan penjajah. Hingga mereka rela mati demi Tanah Air.
Mungkin bagi sebagian orang belum mengetahui, jika Indonesia juga memiliki banyak pahlawan wanita. Sebut saja HR. Rasuna Said, Siti Manggopoh, Laksamana Malahayati, dan lainnya. Nama-nama tersebut mungkin jarang terdengar di telinga. Namun, para pahlawan wanita itu memiliki peran penting di masa penjajahan.
Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia
Secara etimologi, kata 'pahlawan' berasal dari bahasa Sanskerta 'phala', yang berarti hasil atau buah. Sedang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pahlawan berarti seseorang yang memiliki keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran bagi bangsa, negara, dan agama, atau pejuang yang gagah berani.
Pahlawan nasional adalah gelar penghargaan tertinggi di Indonesia, sama halnya anumerta atau gelar yang diberikan pemerintah kepada orang yang sudah meninggal, yang sangat berjasa dan diteladani masyarakat.
Berikut ini ulasan mengenai nama-nama para pahlawan wanita yang bisa dijadikan teladan.
1. HR. Rasuna Said
Nama: Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Tempat Lahir: Maninjau, Agam, Sumatera Barat
Tanggal Lahir: 15 September 1910
Karir :
- Sekretaris Cabang Sarekat Rakyat
-Dewan Perwakilan Rakyat Republik
- Indonesia Serikat (DPR RIS)
- Anggota Dewan Pertimbangan Agung
- Dewan Perwakilan Sumatera
Pahlawan wanita ini lahir di Jakarta. Nama lengkapnya Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau dikenal sebagai HR. Rasuna Said. Ia pahlawan yang memperjuangkan persamaan hak antara wanita dan laki-laki.
Menurut HR. Rasuna Said, kaum perempuan tak hanya didapat dari hasil mendirikan sekolah, tetapi juga bisa berjuang dalam politik, ia pun terus menjalankan perjuangannya dengan berbagai pidato politik dalam membela negara.
Namun berkat pidatonya yang mengecam pemerintahan Belanda, ia terkena hukum Speek Delict, yakni hukum kolonial Belanda untuk orang yang berbicara menentang Belanda. Rasuna Said ditangkap bersama temannya, Rasimah Ismail. Mereka dipenjara di Semarang pada 1932.
Setelah Indonesia merdeka, HR. Rasuna Said kemudian aktif menjadi Dewan Perwakilan Sumatra mewakili Sumatra Barat dan sempat diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS).
HR. Rasuna Said juga sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung hingga akhir hayatnya, pada 2 November 1965. Ia menderita kanker darah.
2. Siti Manggopoh
Nama: Siti Manggopoh
Tempat Lahir: Manggopoh, Agam, Lubuk Basung, Agam.
Tanggal Lahir: 15 Juni 1881
Karir: Pemimpin Perang Belasting
Siti Manggopoh atau biasa disapa "Mandeh Siti Manggopoh" memimpin perlawanan terhadap Belanda. Ia menyusun siasat sedemikian rupa untuk menyerbu benteng belanda di Mangopoh. Ia melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda.
Pada 16 Juni 1908, tengah malam, Siti Manggopoh yang masih berusia 28 tahun memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke Benteng Belanda di Ketinggian, wilayah antara Bukit Bunian Berpuncak Tujuh. Jaraknya dua kilo meter dari Pasar Manggopoh.
Dalam penyerbuan tersebut 53 dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris. Dua orang tentara belanda berhasil menyelamatkan diri dalam keadaan luka parah.
Belanda pun marah besar. Mereka mengirim tentara dalam jumlah cukup besar guna memburu Siti dan kawanannya. Setelah 17 hari menghindar dari kejaran tentara Belanda, Siti Manggopoh dan Rasyid Bagindo Magek ahirnya menyerahkan diri kepada penguasa belanda. Mereka pun dihadapkan ke pengadilan.
Siti Manggopoh ditahan di penjara Lubuk Basung selama 14 bulan, kemudian dibebaskan lantaran masih memiliki anak yang masih kecil. Namun Siti Manggopoh tidak merasa bahagia sebab suaminya, Rasyid Bagindo Magek dijatuhi vonis hukum buang ke Menado oleh Belanda.
Rasyid yang menjalani hukuman di Menado pun ahirnya meninggal di Tondano. Siti Manggopoh meninggal pada 20 Agustus 1965 di usia 85 tahun. Jenazahnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Padang, Sumatera Barat.
3. Laksamana Malahayati
Nama: Keumalahayati
Tempat Lahir: Aceh, Kesultanan Aceh
Kelahiran tahun 1550
Karir :
- Putri istana Kesultanan Aceh
- Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia.
- Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV pada tahun 1585-1604.
- Komandan Pasukan Perang
Pahlawan wanita Keumalahayati atau Malahayati, merupakan perempuan kelahiran Aceh Besar, pada 1550. Dengan ketangguhan dan keberaniannya, Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid).
Dengan keteguhan hatinya, Malahayati bersama pasukannya berperang melawan kapal dan benteng Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman yang terjadi pada tanggal 11 September 1599.
Berkat keberaniannya tersebut, Malahayati kemudian mendapat gelar Laksamana. Namun sayangnya, pada 1615 Malahayati harus gugur ketika sedang dalam misinya melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis yang dipimpin oleh Laksamana Alfonso De Castro.
4. Nyi Ageng Serang
Nama: Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi
Tempat Lahir: Serang, Jawa Tengah
Kelahiran tahun 1752
Karir:
- Keturunan Sunan Kalijaga
- Pemimpin pasukan perang Diponegoro
- Memimpin Serang menggantikan ayahnya dan diberi gelar Nyi Ageng Serang.
Nyi Ageng Serang, putri Pangeran Natapraja. Ia melawan penjajah bersama ayah dan kakaknya, Kyai Ageng Serang. Bersama keluarganya, ia terus mengobarkan semangat dalam membela rakyat yang dipicu oleh kematian kakaknya. Ia tewas saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwono I yang dibantu Belanda.
Meski sang keluarga dan suaminya gugur dalam pertempuran, Nyi Ageng Serang dengan berani tetap memimpin pasukan di usia 73 tahun. Keberanian dan kehebatan Nyi Ageng Serang juga mendapat pengakuan dari Pangeran Diponegoro. Perempuan ini berhasil menyusun strategi hingga dipercaya menjadi salah satu penasihatnya.
Namun, sebelum perang Diponegoro berakhir, Nyi Ageng Serang menghembuskan napas terahirnya di usia 76 tahun. Ia menderita malaria.
5. Rohana Kuddus
Nama: Siti Roehana Koeddoes (Rohana Kudus)
Tempat Lahir: Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat.
Tanggal Lahir: 20 Desember 1884
Karir:
- Wartawan perempuan pertama
- Pendiri sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS)
- Penulis
Rohana Kudus merupakan perempuan Minangkabau. Ia menaburkan benih “pembebasan” perempuan dari teologi bias gender. Ia sekaligus wartawan perempuan pertama pada masanya. Pergerakan-pergerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukan Rohana Kudus adalah simbol manifestasi perjuangan kaum perempuan dari realita yang tidak seimbang memandang perempuan itu sendiri.
Di Minangkabau, pergerakan perempuan diawali dengan edukasi dan pemberdayaan perempuan. Tokoh perempuan Minangkabau, yang mencoba concern dalam perjuangan pendidikan perempuan ini di antaranya adalah Rahmah Elyunisia dan Rohana Kudus. Masing-masing mempunyai institusi pendidikan khusus untuk perempuan.
Secara sosiologis historis, institusi pendidikan yang dihadirkan oleh kaum perempuan ini, sebagai simbol perjuangan dan perlawanan kaum perempuan dari ketidak adilan budaya dalam menengahi mereka.
Perjuangan Rohana akhirnya membawa secercah harapan bagi perempuan kampungnya Koto Gadang, melalui usaha pemberdayaan kaum perempuan yang di rintis Rohana dengan mendirikan institusi pendidikan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan keterampilan wanita, yang diberinya nama Kerajinan Amai Setia.
6. Maria Walanda Maramis
Nama: Maria Josephine Catherine Maramis
Tempat Lahir: Kema, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Tanggal Lahir: 1 Desember 1872
Karir:
- Penulis
- Pemimpin di organisasi PIKAT atau Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya.
Maria Walanda Maramis membebaskan perempuan dari keterbelakangan pendidikan. Ia sendiri sempat bersekolah di Sekolah Melayu di Maumbi, Minahasa Utara, selama tiga tahun. Sayangnya, ia tak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Akhirnya, Maria mendirikan organisasi bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) untuk memajukan pendidikan kaum perempuan. Lewat PIKAT, kaum perempuan dibekali ilmu untuk berumah tangga, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, dan lainnya.
Maria terus aktif di PIKAT hingga meninggal dunia pada 22 April 1924. Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada 20 Mei 1969.
7. Andi Depu
Nama: Andi Depu Maraddia Balanipa
Tempat Lahir: Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Utara.
Tanggal Lahir: Agustus 1907
Karir:
- Raja Balanipa
- Pendiri organisasi Fujinkai atau Gerakan Wanita Mandar.
- Pendiri organisasi KRIS atau Kebangkitan Rahasia Islam Muda
Pada masa pendudukan Jepang 1942, Andi Depu mengibarkan bendera merah putih di Mandar. Pada 1943, ia memelopori berdirinya Fujinkai di daerah Mandar. Fujinkai adalah organisasi kaum perempuan di bawah pendudukan Jepang.
Saat Jepang mulai terdesak oleh Sekutu dalam perang, Andi Depu turut terlibat dalam berdirinya organisasi bernama Islam Muda pada April 1945. Ketika Indonesia dinyatakan merdeka, Andi Depu bersama rekan-rekannya turut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh pelosok Mandar dan sekitarnya.
Andi Depu menjadi panglima dari organisasi laskar bernama Islam Muda. Bersama dengan laskarnya, ia menolak kedatangan Belanda di tanah Mandar. Kemarahan Andi Depu pun semakin tersulut ketika salah seorang tentara Belanda menurunkan bendera merah putih dari tiangnya.
Andi Depu kerap bertempur dengan Belanda, namun ia selalu berhasil melarikan diri. Namun, tahun 1946, Andi Depu ditangkap di Makassar. Ia dipenjara dan sering dipindah-pindahkan lokasi penjaranya selama kurang lebih 28 kali. Selama dipenjara, Andi Depu sering disiksa oleh para serdadu Belanda. Ia baru dibebaskan pasca penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
8. Opu Daeng Risadju
Nama: Opu Daeng Risadju, memiliki nama kecil Famajjah
Tempat Lahir: Palopo, Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir: Januari 1880
Karir:
- Anggota SI cabang Pare-Pare
- Ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Palopo
Pada 1927, Opu Daeng Risadju memulai karir organisasi politik dengan menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare. Dari keaktifannya sebagai anggota, Opu Daeng Risadju kemudian terpilih sebagai ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Daerah Palopo pada tanggal 14 Januari 1930.
Dalam masa kepemimpinannya di PSII, Opu Daeng Risadju berjuang dengan agama sebagai landasannya. Karena perjuangannya, ia mendapat simpati dan dukungan yang besar dari rakyat.
Pihak Belanda yang bekerja sama dengan controleur afdeling Masamba menganggap Opu Daeng Risadju menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah. Akhirnya, Opu Daeng Risadju diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya.
Tidak hanya itu, tekanan juga diberikan kepada suami dan pihak keluarga Opu Daeng Risadju agar menghentikan kegiatannya di PSII. Setelah berbagai ancaman dari pihak Belanda, akhirnya Opu Daeng Risadju menghentikan kegiatan di PSII. Ia dipenjara selama 14 bulan pada 1934.
Opu Daeng Risadju kembali aktif pada masa Revolusi. Ia dan pemuda Sulawesi Selatan berjuang melawan NICA yang kembali ingin menjajah Indonesia. Karena keberaniannya dalam melawan NICA, Opu Daeng Risadju menjadi buronan nomor satu selama NICA di Sulawesi Selatan.
Akhirnya, Opu Daeng Risadju pun ditangkap di Lantoro. Ia lantas dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki 40 km. Akibat penyiksaan dari Belanda dan Ketua Ditrik Bajo saat itu, Opu Daeng Risadju menjadi tuli dan menjadi tahanan luar. Ia wafat pada 10 Februari 1964. Makamnya di area kuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
9. Martha Christina Tiahahu
Nama: Martha Christina Tijahahu
Tempat Lahir: Nusa Laut, Maluku
Tanggal Lahir: Sabtu, 4 Januari 1800
Karir :
- Anak dari Kapiten Paulus Tiahahu dan ikut berperang mendampingi sang ayah dalam Perang Pattimura
Sejak kecil, Martha Christina mengikuti ayahnya dalam rapat pembentukan kubu-kubu pertahanan. Hingga usia 17 tahun, ia turut andil dalam pertempuran melawan Belanda di Desa Ouw, Ullath, Pulau Saparua.
Dalam pertempuran itu, ia memimpin pasukan perang wanita, dan mengobarkan semangat juang pada pasukan. Para wanita terus mendampingi pasukan laki-laki dalam perebutan wilayah Maluku dari penjajah hanya berbekal bambu runcing dengan ikat kepala melingkar di kepala.
Dengan persenjataan lengkap, pasukan Indonesia berhasil dipukul mundur dan beberapa pentolan pasukan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati, termasuk ayah Martha Christina, Kapitan Paulus Tiahahu. Mendengar kabar eksekusi yang akan dilakukan Belanda terhadap ayahnya, Martha Christina berusaha untuk membebaskan ayahnya dari hukuman tersebut.
Namun usahanya gagal. Sang ayah dieksekusi bersama beberapa pejuang yang ikut ditangkap. Sepeninggal ayahnya, Martha Christina digiring bersama pejuang lainnya yang tertangkap untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi di Pulau Jawa.
Namun, Martha Christina melanjutkan aksi pemberontakannya terhadap Belanda dengan aksi mogok makan dan mogok pengobatan. Dalam aksinya tersebut, akhirnya Martha Christina meninggal di perjalanan menuju Pulau Jawa pada 2 Januari 1818.
10. Nyai Ahmad Dahlan
Nama: Siti Walidah
Tempat Lahir: Kauman, Yogyakarta.
Tanggal Lahir: 3 Januari 1872
Karir:
- Pemimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya
- Pendiri Sopo Tresno dan Aisyiyah
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada 1926, dia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Dia adalah wanita pertama yang memimpin konferensi seperti itu. Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po, banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah, sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di Nusantara.
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934. Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. Ia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan memasak sup dari rumahnya bagi para tentara dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya yang juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada 31 Mei 1946 pukul 13.00 WIB. Dia dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Empat jam kemudian, Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi mewakili pemerintah datang ke makam.