10.022 Jiwa Korban Keganasan Israel, ini Surat dari Gaza
Perang berkecamuk antara pasukan Hamas dan Israel mengundang prihatin seluruh dunia. Tak peduli, kalangan pemimpin dunia melainkan juga warga masyarakat biasa di seluruh dunia.
Jumlah korban tewas di Gaza akibat serangan Israel naik lagi. Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, Ashraf al-Qidreh, pada Senin (6 November 2023) mengatakan, korban tewas warga Palestina akibat perang yang sedang berlangsung dengan Israel mencapai 10.022 orang, termasuk 4.104 anak-anak dan 2.641 perempuan.
Dalam konferensi pers, dia juga membeberkan jumlah korban terluka akibat serangan Israel di Gaza. ereka yang terluka sejak 7 Oktober berjumlah 25.408 orang.
Rumah sakit di Gaza turut terkena serangan Israel dalam 24 jam terakhir. Rumah Sakit Al Rantisi menjadi sasaran dua kali serangan udara Israel. Pusat Kanker dan Pusat Anak Khusus juga menjadi sasaran. Empat orang tewas dan 70 orang luka-luka, beberapa di antaranya anak-anak, staf, dan pengungsi.
Menurut Ashraf al-Qidreh, serangan udara Israel di Rumah Sakit Al Rantisi menghancurkan panel surya dan tangki air yang diperlukan untuk mendukung layanan. Menargetkan pasokan penting mengancam kehidupan semua orang di rumah sakit.
Ashraf al-Qidreh menyampaikan, sejak Israel menyerang Gaza pada 7 Oktober, terhitung ada 192 staf medis yang tewas, 32 ambulans hancur, dan 16 rumah sakit tidak dapat beroperasi. Israel melakukan 18 serangan dalam beberapa jam terakhir, menewaskan 252 orang. Penargetan toko roti menambah krisis pangan.
Ashraf al-Qidreh memperingatkan, Israel menganggap diamnya komunitas internasional sebagai lampu hijau untuk melanjutkan pembantaiannya.
Sebelum Kementerian Kesehatan di Gaza mengumumkan jumlah korban tewas terbaru, para pemimpin badan PBB pada Senin ini telah menyerukan agar diberlakukan gencatan senjata segera antara Israel dan Hamas.
Israel sebelumnya telah menolak tekanan internasional yang meningkat untuk melakukan gencatan senjata. Mereka mengatakan bahwa para sandera yang diambil oleh militan Hamas dalam serangan di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober harus dibebaskan terlebih dahulu.
"Seluruh penduduk dikepung dan diserang, tidak diberi akses ke hal-hal penting untuk bertahan hidup, dibom di rumah-rumah mereka, tempat penampungan, rumah sakit dan tempat-tempat ibadah. Ini tidak dapat diterima," kata para pemimpin PBB dalam sebuah pernyataan bersama.
"Kami membutuhkan gencatan senjata kemanusiaan segera. Sudah 30 hari. Cukup sudah. (Perang) Ini harus dihentikan sekarang," ungkap mereka, sebagaimana diberitakan Reuters.
Kegelisahan dari Penulis Bandung
Seorang penulis asal Bandung, menyampaikan renungan atas kasus Perang antara Hamas dan Israel di menelan ribuan korban jiwa warga Palestina di Jalur Gaza. Ini catatan Hawe Setiawan:
SURAT DARI GAZA
Beberapa bulan lalu dua teman muda lulusan UIN Sunan Gunung Jati membawa diri saya ke dalam tulisan-tulisan mendiang Ghassan Kanafani, penulis dan aktivis Palestina yang tewas terkena bom mobil di Beirut pada 1972. Teman yang satu mengirimi saya terjemahan Sunda dari cerpen Arab karya penulis tersebut. Di lain kesempatan teman yang satu lagi memberi saya kaos oblong rancangannya sendiri yang bergambar sosok sang aktivis. Berkat “guru raré” (belajar kepada adik), saya terbetot oleh peninggalan sang patriot.
Dari koleksi yang menghimpun tujuh tulisan, terjemahan Hilary Kilpatrick, pagi ini saya membaca “Letter from Gaza”. Sebuah cerpen yang sangat mengharukan dalam bentuk sepucuk surat dari seorang pemuda Palestina kepada sahabat karibnya yang sedang belajar di Amerika. Situasi di Gaza yang senantiasa terguncang perang, tak terkecuali nasib anak-anak yang tumbuh di situ, terlukiskan dalam tegangan batin tokoh cerita. Di matanya, Gaza tak ubahnya dengan “lukisan kelabu yang gagal karya orang sakit”, sedangkan pada anak-anak yang tergolek akibat perang “ada sesuatu nan suci”. Seperti yang disarankan oleh sahabat masa kanaknya, Mustafa, si penulis surat tadinya memutuskan untuk pergi dari Gaza, kota yang dari waktu ke waktu dililit “kekalahan dan keterguncangan” itu. Namun, akhirnya dia memilih tinggal di tanah kelahirannya. Kenapa?
Dia takjub oleh Nadia, gadis cantik berusia 13 tahun, anak mendiang kakaknya. Ketika Israel mengebom Gaza, Nadia jadi salah satu korbannya. Dia diboyong ke rumah sakit, dan sang paman segera menjenguknya. Dalam isak tangis, Nadia menunjukkan kepada pamannya apa yang telah terjadi. “Dia merentangkan tangannya, membuka selimut putih dengan jari-jemarinya, dan menunjuk ke kakinya yang telah diamputasi dari bagian pangkal pahanya,” katanya.
Di tengah gempuran bom itu, Nadia sebetulnya bisa berlari. Alih-alih menyelamatkan diri, dia meloncat ke arah adik-adiknya untuk melindungi mereka.
“Aku tidak akan mendatangimu. Tapi kamu, kembalilah kepada kami! Kembalilah, untuk belajar dari kaki Nadia yang diamputasi dari pangkal paha, apa itu hidup dan apa buat apa kita hidup,” tulis si empunya surat.***