Wind Corona, Metode Baru Pengeringan Padi Ramah Lingkungan
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya mengonsumsi beras sebagai bahan pangan utama. Hal itu tentu membuat tanaman padi menjadi salah satu komoditas terbesar di Indonesia.
Sayangnya, proses pengolahan padi menjadi beras masih dilakukan secara konvensional. Melihat hal itu, tiga mahasiswa ITS menciptakan metode pengeringan gabah yang efektif dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan fenomena wind corona.
Ahmad Bariq Al Fahri, Pinanggih Rahayu dan I Wayan Ersa Saputra mendapat dana hibah pengembangan dari Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM-PE) Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) 2018.
Selaku ketua tim, Ahmad Bariq Al Fahri memaparkan selama ini terdapat dua metode pengeringan gabah yang diterapkan di Indonesia. "Selain menggunakan sinar matahari langsung, ada petani yang memanfaatkan alat pengering berbasis teknologi termal," ucapnya.
Meski begitu, Bariq menambahkan dari hasil riset timnya ditemukan adanya celah pada dua metode tersebut. Pengeringan menggunakan sinar matahari langsung, membutuhkan waktu minimal tiga hari untuk mendapatkan gabah yang kering sempurna. Dengan catatan kondisi panas matahari stabil dan cukup selama waktu pengeringan.
"Cuaca di Indonesia yang tidak menentu beberapa tahun belakang ini tentunya sangat merugikan petani yang mengandalkan metode ini (dengan menggunakan sinar matahari langsung)," tambahnya.
Sebenarnya, alat pengering modern berbasis termal juga bisa menjadi solusi. Namun, penggunaan alat pengering modern ini mengakibatkan penurunan nilai gizi dari gabah, kehigienisan tidak terjamin, serta membutuhkan konsumsi energi listrik yang cukup tinggi.
"Padahal saat ini dunia sedang ramai mengurangi penggunaan energi, termasuk energi listrik," jelasnya. (amm)
Berbeda dengan pengering berbasis wind corona. Dengan menggunakan alat ini, proses pengeringan padi hanya berlangsung selama sejam tanpa mengurangi nilai gizi dan struktur gabah.
"Dengan metode yang kami kembangkan ini, tidak ada penurunan kualitas gizi, selain itu juga lebih ramah lingkungan," ungkap Bariq ketika melakukan uji kualitas gizi di Laboratorium Kimia Instrumen ITS.
Wind corona sendiri merupakan fenomena tegangan tinggi yang timbul ketika level tegangan belum mencapai kondisi untuk dapat mengalirkan alur listrik (pre- breakdown). Wind corona ini akan menimbulkan suatu medan di antara dua elektroda.
"Dalam kasus ini, elektroda berbentuk jarum pada bagian atas dan lingkaran sebagai tempat diletakkannya gabah," urai pria 21 tahun ini.
Dalam prosesnya, gabah basah diletakan di antara kedua elektroda, setelah itu tegangan akan dinaikkan secara perlahan hingga mencapai kondisi pre-breakdown. Kemunculan wind corona akan ditandai dengan desis listrik lalu gabah didiamkan hingga mengering.
"Dibandingkan dengan pengeringan konvensional, metode ini berhasil menurunkan massa air dua kali lipat lebih banyak," tambahnya.
Dengan adanya temuan ini, Bariq dan tim berharap penelitian ini dapat digunakan sebagai metode baru yang efektif dan ramah lingkungan dalam proses pengeringan gabah. "Semoga terdapat tindak lanjut dari pemerintah atau badan dan institusi terkait untuk penelitian yang lebih lanjut," pungkasnya.(amm)
Advertisement