Warung Mbah Cokro, Sajian Khas Tempo Dulu
Ngopibareng.id – Warung Mbah Cokro selalu ramai dikunjungi warga Surabaya. Warung yang terletak di Jalan Raya Prapen 22, Surabaya, Jawa Timur ini menampilkan khas makanan dan minuman rakyat kelas bawah. Ada nasi kucing dibungkus daun pisang, kopi dan wedang tape. Dekorasi warung dibuat seperti suasana tempo dulu agar dapat menarik minat pengunjung.
Simbol-simbol yang berada di warung jadul ini juga bernuansa zaman pra kemerdekaan. Tulisan-tulisan yang menempel pada warung menggunakan ejaan lama, seperti tulisan Waroeng Rakjat dan sebagainya. Terinspirasirasi dari tokoh pejuang nasional HOS Cokroaminoto, Zurqoni, Fredo, dan Arif alumni Stikosa-AWS mereka bertekat ingin membuka warung tempo dulu yang di beri nama Mbah Cokro. Mereka menggunakan tagline ”Indonesia Masih Ada” pada Warung Mbah Cokro.
Pada dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu, tertempel poster-poster film zaman dulu, seperti Menggapai Matahari-nya Rhoma Irama, piringan hitam, kamera layar tancap, radio kuno, mesin jahit dipadu bendera seolah menggambarkan suasana saat Ibu Fatmawati tengah menjahit Sang Saka Merah Putih. Juga terdapat potongan-potongan koran-koran zaman kuno salah satunya Harian Manifesto.
“Konsep awal adalah kesederhanaan. Menu khas tempo dulu, adalah gambaran kesederhanaan orang-orang zaman dulu. Dengan konsep seperti ini, kita juga ingin menikmati masa-masa lalu yang penuh perjuangan. Dan kebetulan saya juga banyak mengoleksi benda-benda jadul, jadi pas ketika konsep warung ini saya buat,” terang Zurqoni alias si Semaun. Pelayannya juga mengenakan pakaian unik. Ada pakai seragam Hansip dengan nama Semaun, Alimin serta tokoh-tokoh pergerakan nasional di zaman pra kemerdekaan.
Warung ini dibangun dari potongan bambu dengan perabotan khas zaman kuno. Mulai meja-kursi dari bambu, gelas dari seng (pelat tipis), kendi dan beberapa perabotan zaman kuno. Karena suasana klasik dan nyaman untuk kongkow di waktu malam itu, warung Mbah Cokro cepat dikenal di Surabaya, meski resmi dibuka pada bulan Ramadan tahun ini. Setiap hari, warung Mbah Cokro buka pukul 16.00 WIB hingga dini hari. Selain kerap dijadikan tempat tongkrongan para alumni Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), Stikosa-AWS, seniman dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS), wartawan, dan Club CB, warung Mbah Cokro juga kerap dijadikan tempat diskusi. Mulai diskusi foto, pemutaran film, ilmu pengetahuan dengan mendatangkan nara sumber dari luar kota, warung yang asalnya didirikan di kawasan Waru, Sidoarjo ini, makin menarik minat pengunjung di Kota Surabaya.
Dan begitulah kabar keberadaan warung Mbah Cokro di Surabaya yang menggelitik. Dari kabar mulut ke mulut, warung berkonsep jadul ini mulai banyak dikunjungi anak muda di Kota Pahlawan.
“Awalnya tahu dari teman-teman, jadi penasaran ingin tahu Mbah Cokro yang sering dibicarakan, sering juga jadi obrolan di Grup BBM, dan setelah ke sini, oh ternyata ini. Harga makanannya murah meriah dan suasananya asyik,” kata Bakrie,salah satu pengunjung warung Mbah Cokro asal Lamongan.
Tak hanya suguhan klasik zaman pra-kemerdekaan, warung Mbah Cokro juga menyuguhkan alunan musik era 70 hingga 80-an, seperti lagu Hong Wilahengnya musisi asal Surabaya, almarhum Gombloh, lagu milik Tommy J Pisa, Koes Plus dan sebagainya.
“Selama ini kita dicekoki dengan suguhan produk-produk modern ala negara kapitalis, sehingga kita lupa dengan ke-Indonesiaan kita. Bahkan kita lupa dengan sejarah kita sendiri, lupa dengan kebersamaan seperti para pejuang yang bahu-membahu merebut kemerdekaan. Kalau istilahnya Bung Karno, Jasmerah: Jangan lupakan sejarah. Dan inilah konsep warung Mbah Cokro,” tandas Zurqoni. (wsn)