Warga Uighur di Xinjiang Dipaksa Makan Daging Babi
Sayragil Sautbay, warga Xinjiang, China, yang kini tinggal di Swedia, merilis buku tentang pengalamannya tinggal di asrama pendidikan China, di Xinjiang. Di antaranya menjadi saksi pemukulan, mengalami kekerasan seksual, hingga dipaksa makan babi.
Sautbay adalah perempuan dengan profesi dokter medis dan pengajar. Sautbay yang berasal dari kota Lli ditinggal suami dan anaknya pergi ke Kazakstan di tahun 2016. Ia berencan menyusul, namun pemerintah menyita paspornya lebih dini.
Dengan latar belakang medisnya, Sautbay diminta mengajar bahasa China di dalam asrama tersebut. Hal ini membuatnya bisa menjadi saksi berbagai kekejaman di dalam pusat pendidikan tersebut.
Di sini ia menyaksikan bagaimana China memaksa Muslim mengonsumsi daging. Ia juga menyebut jika pemerintah Xinjiang memaksa anak Muslim di TK mengonsumsi daging babi, tanpa sepengetahuan mereka.
"Setiap Jumat kami dipaksa makan daging babi. Mereka sengaja memilih Jumat. Jika menolak, akan dapat hukuman keras," kata Sautbay pada Al Jazeera, Jumat 4 Desember 2020.
Ia tak bisa mengungkapkan bagaimana perasaannya, ketika dipaksa mengonsumsi daging yang diharamkan dalam Islam tersebut. Ia merasa tak memiliki martabat lagi sebagai manusia.
Diketahui, China mengubah wilayah selatan Kashgar menjadi peternakan babi dengan produksi mencapai 40 ribu ekor per tahun. Rencana yang dicanangkan tahun 2019 ini, akan memakan area mencapai 25 ribu meter kubik di wilayah indusri Kashgar, Konazahar, dengan nama Shufu, menurut laman berbahasa China, Sina.
Rencana itu ditandatangani pada 23 April tahun ini, bersamaan dengan bulan Ramadhan. Babi yang diproduksi pun tak diekspor melainkan untuk memenuhi suplai di Kashgar. Sedangkan 90 persen populasi di Kashgar adalah Uighur, dan sebagian besar adalah Muslim.
Antropolog dan akademisi Jerman yang fokus mempelajari Uighur, Adrian Zenz, mengatakan jika program itu adalah "upaya untuk menghapus budaya dan agama penduduk di Xinjiang, selamanya. Ini adalah bagian dari strategi sekularisasi, mengubah Uighur dan mendoktrin mereka menjadi agnostik dan atheis," imbuhnya.
Namun, pemerintah China membantah semua tuduhan tersebut. Pusat pendidikan itu disebut berdiri untuk menambah skill bagi masyarakat Uihghur di Xinjiang. (Alj)