Trump Sindir Petinggi Badan Intelijen AS, Begini Faktanya
Serangkaian ancaman keamanan yang dihadapi Amerika Serikat di seluruh dunia, menjadi perhatian para kepala intelijen Amerika, dengan memperingatkan sejak dini. Di antara kesimpulan diungkapkan pada sidang di Senat, Selasa 29 Januari, Korea Utara tidak mungkin akan sepenuhnya menyerahkan semua cadangan nuklirnya dan Iran secara teknis mematuhi kesepakatan nuklir 2015.
Kedua poin itu bertentangan dengan prinsip utama kebijakan luar negeri Presiden Donald Trump. Dari Gedung Kongres AS, para senator dari kedua pihak mencatat peringatan-peringatan tegas yang terkandung dalam Worldwide Threat Assessment (“Evaluasi Ancaman di Seluruh Dunia”) komunitas intelijen Amerika.
Kepala intelijen Amerika melukiskan gambaran serius tentang tantangan keamanan di seluruh dunia, dan menyebutnya “toxic mix” atau kombinasi yang sangat berbahaya.
Direktur Intelijen Nasional AS,, Dan Coats, mengatakan, “Skala dan ruang lingkup berbagai ancaman yang dihadapi oleh Amerika Serikat dan kepentingan-kepentingan langsung kita di seluruh dunia kemungkinan akan meningkat tahun ini. Kini semakin menjadi tantangan untuk memprioritaskan ancaman mana yang paling penting.”'
"Hati-hati soal Iran. Mungkin intelijen harus balik ke sekolah!" cuit Trump
China dan Rusia menempati posisi teratas dalam daftar itu.
“Tindakan China mencerminkan strategi jangka panjang untuk mencapai keunggulan global. Sementara Kremlin meningkatkan kampanyenya untuk memecah belah lembaga-lembaga politik dan keamanan Barat dan merusak tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua.”
Para senator melihat adanya ancaman gabungan. Angus King, Senator Independen yang duduk dalam komisi intelijen, dikutip Dikutip Voice of America, berkomentar, “Jika kedua negara itu mulai bekerja bersama secara sistematis, maka hal itu bisa menjadi masalah besar bagi kita.”
Sindiran Trump
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut segenap petinggi badan intelijen AS "naif" soal Iran.'
"Hati-hati soal Iran. Mungkin intelijen harus balik ke sekolah!" cuit Trump, dikutip BBC, Kamis 31 Januari.
Cuitan itu muncul setelah laporan intelijen memaparkan bahwa Iran tidak membuat senjata nuklir dan Korea Utara "kemungkinan tidak menyerahkan" pasokan senjata nuklir dan kemampuan memproduksinya.
Laporan intelijen AS sebut Korut 'kemungkinan tidak serahkan' senjata nuklir Kim Jong-un peringatkan AS, Korut bisa 'berubah arah'
Sempat bela Putin, Trump kini amini tuduhan Rusia intervensi Pilpres 2016. Trump menyebut para pejabat badan intelijen AS "tampaknya sangat pasif dan naif ketika menyangkut bahaya Iran. Mereka salah!"
Iran, lanjutnya, "membuat masalah di seluruh Timur Tengah dan di luar kawasan" pada 2016, namun "sangat berbeda" sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran yang "buruk".
Trump memperingatkan, Teheran tetap menjadi "sumber potensi bahasa dan konflik" dengan merujuk pada uji roket baru-baru ini.
Trump-Korea Utara
Sebelumnya, Presiden Donald Trump mempersiapkan pertemuan lagi dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, para senator ingin mengetahui sejauh mana komitmen Pyongyang terhadap denuklirisasi.
Letnan Jenderal Robert Ashley, Direktur Badan Intelijen Pertahanan mengatakan, “Masih ada kapasitas militer substansial yang dimiliki oleh Kim Jong Un. Tujuh puluh persen pasukannya ada di sepanjang zona demiliterisasi (DMZ). Jadi kemampuan dan ancaman yang ada setahun lalu masih ada.”
Adapun mengenai kepatuhan Iran dengan perjanjian nuklir internasional yang disebut cacat oleh Presiden Trump dan karenanya Amerika menarik diri, Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA) Gina Haspel mengatakan, “Secara teknis, Iran patuh, tetapi kita melihat para pejabat Iran berdebat di antara mereka sendiri karena mereka gagal mewujudkan manfaat ekonomi yang mereka harapkan dari kesepakatan nuklir itu.”
Direktur CIA itu melanjutkan dengan melukiskan gambaran rumit tentang ISIS di Suriah, di mana Presiden Trump telah mengumumkan penarikan pasukan Amerika.
“Mereka masih berbahaya dan mereka adalah kelompok teroris Sunni terbesar, dan mereka masih memimpin ribuan pengikut di Irak dan Suriah,” jelasnya.
Dalam perebutan kekuasaan di Venezuela yang kini sedang berlangsung di mana Washington mendukung oposisi daripada pemimpin sosialis negara itu, senator Republik dari Florida mengajukan pertanyaan tajam.
“Bukankah demi kepentingan nasional Amerika Serikat bahwa rezim Nicholas Maduro jatuh dan digantikan oleh pemerintahan yang demokratis dan lebih bertanggung jawab?,” kata Senator Marco Rubio.
Dan Coats, Direktur Intelijen Nasional, memberikan jawabannya. “Ini adalah situasi yang sangat cair yang saya kira, semoga akan berhasil diselesaikan dengan dukungan rakyat Venezuela.”
Menanggapi hal itu, Senator Angus King dari negara bagian Maine memperingatkan keterlibatan Amerika dalam upaya perubahan rezim di Venezuela, yang disebutnya sebagai – dalam kata-katanya – “sebuah lereng yang licin” atau tindakan yang bisa mengarah pada bencana atau keadaan yang tidak dapat diterima. (adi/voa/bbc)