Pergulatan Kekinian Muhammadiyah, Ternyata Begini Faktanya
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak merefleksikan perjalanan Muhammadiyah dan melakukan reorientasi gerakan.
“Konteks kekinian, aspek ideologis, pemikiran, organisasi, kita sudah punya platform, tetapi memerlukan pembaharuan. Tidak ada kehidupan itu yang statis, semuanya bergerak dinamis. Bagaimana ideologi kita aktualkan menjadi alam pikiran masyarakat luas yang menghasilkan karya-karya yang berkemajuan.
"Dalam bilang politik harus ada dinamisasi. Dalam bidang organisasi yang dikelola secara modern dan efektif harus menjadi kekuatan membawa Muhammadiyah ke arah yang lebih maju,” tuturnya.
Haedar mengungkapkan hal itu, dalam acara yang digelar Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dialog Ideopolitor gelombang ketiga di Hotel Jayakarta, Yogyakarta, belum lama ini.
Haedar Nashir memberikan Pidato Kunci di acara pembukaan di depan para peserta dari beberapa pimpinan wilayah Muhammadiyah.
"Lalu reaktif simpatif, reaktif konservatif, tapi belum masuk pada al-dakwah li al-muwajahah. Yaitu dakwah yang mencoba melakukan respon untuk memberi jawaban yang sifatnya alternatif,” kata Haedar Nashir.
Menurut Haedar, Muhammadiyah dengan kebesarannya sering terjebak romantisisme.
“Kita dimanipulasi oleh keadaan, bahwa Islam secara normatif, historis dan ideologis bahkan organisatoris itu dalam posisi on the right track, ini pakem. Tapi ingat bahwa kita dihadapkan pada situasi dan tantangan kekinian yang justru terjadi bukan hanya umat dan bangsa kita, bahkan Muhammadiyah pun mulai ada kesenjangan dari realitas yang kita hadapi,” ujarnya.
Menurut Haedar, ada kesenjangan di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga pemikiran. Tantangannya justru berakar pada kontestasi pemikiran. Dari itu kemudian menyebar ke aspek yang lain.
“Jadi, tantangan kita ke depan yaitu soal HDI, kemudian juga soal daya saing bangsa, kita juga masih di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia, bahkan mulai dikejar oleh Vietnam, Kamboja, dsb.
"Maka, meniscayakan kita untuk bagaimana sih menghadapi itu, bukan sekedar persoalan secara pragmatis. Tetapi mindset kita ini ada di dalam posisi apa,” paparnya.
Haedar menggunakan istilah madhi (orientasi masa lalu) dan mudhari (orientasi masa depan) yang digunakan dalam ilmu leksikologi Bahasa Arab.
“Jangan-jangan untuk pola pikir kita dan pola gerak kita itu juga masih bingung, masih stagnan, masih lampau. Tetapi untuk konteks kekinian dan ke depan, perlu ada tajdid. Jadi, untuk hari ini dan ke depan itu, kita memerlukan reorientasi pemikiran dan gerakan kita,” ujarnya.
Pertanyaannya adalah seberapa jauh khasanah pemikiran kita tentang Muhammadiyah menyangkut ideologi, organisasi, politik, ekonomi? “Satu karakter khas kita tentang wasathiyah yang berkemajuan itu formula identifikasi diri. Tetapi akar besar karakter Muhammadiyah itu seperti apa? Nah, di sinilah kita gunanya para pemimpin mencoba untuk mengamati,” ungkapnya.
Haedar intens mengamati pola dan gejala di group WhatsApp dalam lingkungan Muhammadiyah.
“Saya sampai pada kesimpulan bahwa, posisi kita ini para kader dan pimpinan terutama di sub-sub itu masih dalam posisi reaktif atau yang disebut dengan al-dakwah li al-mu’aradhah.
"Lalu reaktif simpatif, reaktif konservatif, tapi belum masuk pada al-dakwah li al-muwajahah. Yaitu dakwah yang mencoba melakukan respon untuk memberi jawaban yang sifatnya alternatif,” ulasnya.
Dalam pola itu, terjadi disorientasi. “Nah, kita coba ungkap prespektif kita tentang ideologi, tentang politik, tentang organisasi. Jangan-jangan sekarang kita terlena dengan capaian, sampai lupa kalau sudah keluar dari track itu,” katanya mengajak peserta untuk melakukan evaluasi gerakan.(adi)