Cerita Penari Jaranan di Tengah Pandemi Covid-19
Udara terasa dingin malam itu. Angin semilir-semilir merasuk kulit. Malam semakin larut mendekati pergantian hari. Jarum jam menunjukan pukul 23.45 WIB. Sesekali terdengar suara kemerincing mengiringi langkah kaki Endang Suharti.
Perempuan berusia 48 tahun ini seorang penari jalanan. Bakat yang ia miliki sebagai penari kesenian jaranan dipergunakan untuk mencari sesuap nasi demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
"Daripada saya mencuri, saya lebih baik kayak gini. Toh ini pekerjaan halal, buat apa malu," kata Endang Suharti sambil menyeka keringat yang menghapus bedak di wajah.
Endang Suharti mengaku belajar menari sejak lulus sekolah dasar. Lantaran terkendala biaya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya kembali. Ia lebih memilih untuk menekuni bakat yang dimiliki.
Saat beranjak dewasa, ia sering tampil bersama grup kesenian jaranan di kampung kelahiranya di Pace, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia kemudian ikut bersama grup kesenian jaranan itu pentas dari kampung ke kampung. Penghasilan yang didapat cukup lumayan kala itu.
Ketika beranjak dewasa, ia kemudian menikah dengan lelaki pilihannya asal Ponorogo bernama Sutrisno, 60 tahun. Dari pernikahan itu dikaruniai satu anak. Ia kemudian tinggal dan menetap di kawasan Dermaga Sungai Brantas.
Karena suaminya yang berprofesi sebagai tukang becak penghasilan tidak tentu. Keadaan ini akhirnya membuat ia harus kembali menari di jalanan. Sementara putranya semata wayangnya sudah berkeluarga dan sekarang tinggal bersama istrinya di rumah mertua.
"Suami sudah tua. Selisih usia dengan saya 12 tahun. Kalau anak saya sudah berkeluarga dan kini tinggal bersama istrinya di Kecamatan Mojoroto. Karena masih belum punya rumah ya sementara tinggal di rumah mertua," katanya.
Karena belum memiliki tempat tinggal tetap, setiap hari sebelum berangkat kerja menari, ibu satu anak ini memilih mandi dan merias diri, di ponten umum Pasar Bandar Lor. Tidak lupa membawa sound system berukuran mini dipundaknya untuk mengiringi tarian jaranan yang dibawakan saat mengamen.
Selepas kumandang adzan Isya', Endang Suharti mulai berjalan melangkahkan kakinya menyusuri sepanjang jalan protokol Kota Kediri. Setiap ada warung yang ramai pengunjung langkahnya terhenti dan sesaat dia bunyikan musik jaranan dari sound system yang dibawanya itu.
Mengikuti riteme alunan musik jaranan, gerakan Endang Suharti terlihat luwes leluasa menari sambil menggerak-gerakan wayang celeng atau babi hutan.
Ia terus menari menggerakkan badannya sambil menunggu pemberian uang dari orang lain. Setelah penonton memberinya uang receh, ia kemudian bergegas menari berpindah ke tempat lain.
"Ini namanya tarian jaranan celeng khas Tulungagung mas," ujarnya.
Penghasilan dari mengamen ini setiap hari paling sedikit Rp60 ribu. "Kalau ramai bisa sampai Rp100 ribu. Mulai pukul 7 malam hingga dinihari," katanya.
Ia tidak pernah sama sekali menolak pemberian uang dari orang lain, berapa pun nilainya selalu diterima. "Ada yang kasih seribu. Ada juga yang sampai lima ribu" katanya.
Bahkan, ia pernah menari di jalan Doho pada malam hari diberi uang Rp50 ribu oleh warga luar kota yang kebetulan melintas membeli makanan di sana.
Rute yang biasa dilalui setiap harinya mulai jalan KDP Slamet, Jalan Doho, Jalan Joyoboyo, serta Jalan Hayam Wuruk. Semua ditempuh dengan jalan kaki. Jaraknya kurang lebih 2 sampai 3 kilometer. Uang dari hasil menari dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari. Jika ada sisa, biasanya dipergunakan untuk membeli kelengkapan alat rias.
"Kemarin habis beli sound sistem mini harganya Rp 400 ribu, sisa uangnya buat makan sehari hari bersama suami," ujarnya.
Selama menjadi penari jalanan, kendala yang dihadapi Endang Suharti adalah faktor cuaca. Di saat hujan, ia tidak bisa menari lagi. Begitu juga saat ini kondisi pandemi pemasukan menurun. Karena jalanan sepi, banyak orang tidak berani keluar rumah.
"Kalau pandemi seperti sekarang yang otomatis pengasilan menurun. Karena banyak juga orang yang takut keluar rumah," katanya.
Advertisement