“Leo Kristi itu Gendheng”
Leo Kristi sudah meninggal, maka kelompok musiknya yaitu Konser Rakyat Leo Kristi sudah tidak eksis lagi. KRLK sudah ikut terkubur di pemakaman umum Bekasi bersama Leo Kristi.
“KRLK memang sudah ndak ada, tapi lagu-lagunya akan tetap didengar dan dimainkan orang,” kata Mung Sriwiyana, basis KRLK yang bergabung bersama Leo sejak KRLK berdiri tahun 1976. Mung, 64 tahun, adalah orang kedua dalam kelompok setelah Leo.
Pemusik lain dan para vokalis KRLK boleh saja datang dan pergi, kemudian ada yang datang lagi. Tapi tidak dengan Mung. “Mas Leo sangat membutuhkan saya. Dan saya enjoy bersama dia,” kata Mung saat ngobrol bersama di Surabaya, akhir pekan lalu.
“Saya bagaimanapun akan melestarikan lagu-lagu Leo Kristi. Mungkin bersama Mbak Titik Soetopo. Atau dengan Cecilia. Kalau bisa kami berdua akan membuat grup kecil. Mungkin hanya ditambah seorang pemain bas. Entah apa nama grupnya ndak penting. Yang jelas bukan Konser Rakyat Leo Kristi,” kata Mung sambil menyeruput kopi rempah.
Mung benar-benar merasa kehilangan Leo. Menurutnya, posisi Leo dalam musik Indonesia tidak bisa tergantikan oleh siapapun. Leo sendiri menyadari hal itu.
“Leo yakin benar bahwa karya-karya dia tempatnya ada di puncak. Ndak akan ada yang akan melampauinya. Menurut istilah dia, semua sudah dikunci. Ada kesan sombong memang. Tapi saya sependapat dengan dia. Mau masuk lewat jalur manapun sudah ndak bisa,” kata Mung.
Sayangnya, lagu-lagu karya Leo belum ada yang dimintakan sertifikat hak cipta dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenhukham RI. Istilah baru yang berlaku, belum dimintakan ‘pencatatan’.
“Sebaiknya ahli waris Leo segera mengurusnya. Atau kakak Leo, Mas Bony. Menurut saya lagu-lagu karya Leo Kristi sudah harus segera diurus hak patennya. Sebab saya yakin lagu-lagu Leo Kristi akan abadi. Paling ndak, usianya akan lama. Seperti beberapa lagu karya Mas Gombloh sampai sekarang ya masih tetap dinyanyikan orang, tapi urusan hak cipta sudah ruwet. Karya Leo kalau ndak diurus sekarang ya bakal jadi ruwet di belakang,” kata Mung lagi.
Jumlah karya Leo diperkirakan lebih dari 150 judul lagu. Perhitungannya, dia sudah menghasilkan 12 album. Kalau setiap album rata-rata berisi 12 judul lagu, maka sedikitnya ada 144 lagu yang sudah direkam dan beredar. Kalau belum ada satupun dari sekian banyak lagu itu yang memiliki HAKI atau Hak Kekayaan Intelektual, maka hal ini tentu bakal jadi masalah di masa mendatang. Bukan sekarang.
Sebagaimana Gombloh yang nama aslinya Sudjarwoto Sumarsono, Leo adalah seniman jalanan. Hidup bebas merdeka seperti angin.
Beda dengan Franky Hahilatua. Nyong Ambon yang lahir di Surabaya ini hidup lebih tertib dan tertata, termasuk dalam hal berkeluarga. Kesadaran Franky akan pentingnya HAKI untuk lagu-lagu karyanya dalam beberapa album ‘Franky and Jane’ tentu cukup tinggi.
Apalagi Franky termasuk pendiri PAPPRI (Paguyuban Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia) tahun 1986, bersama Enteng Tanamal, Sadikin Zuchra, Dharma Oratmangun, Yonas Pareira , Paul Hutabarat, Arie Wibowo, Chacken M, Jessi Robot dan Wedhasmara. Franky juga sempat menjadi pengurus PAPPRI.
Bukan hanya dalam kehidupan, saat masuk dapur rekaman pun proses produksi yang dilakukan ketiga seniman asal Surabaya itu juga berbeda. Frakky jauh lebih profesional dibanding Gombloh dan Leo Kristi. Dia membuat lagu bersama liriknya dengan iringan gitar, lantas mempercayakan aransemennya kepada Billy J. Budiardjo, yang juga mengaransemen lagu-lagu Ebiet G. Ade.
Sedangkan lagu-lagu Leo Kristi, menurut Mung, jadinya ya di dalam studio saat rekaman. KRLK masuk dapur rekaman tanpa membawa partitur, hanya catatan-catatan tulisan tangan hasil dari latihan seminggu atau dua minggu sebelum masuk jadwal rekaman.
“Biasanya kalau dia ngarang lagu itu yang penting dicatat adalah lirik. Lagunya main hafalan saja dia. Nanti dalam latihan lagu itu disempurnakan berdua. Tapi ya ndak pernah sempurna, karena begitu masuk studio lagu-lagu hasil latihan itu bisa berubah lagi. Saya juga seringkali ikut mengubah. Karena setelah direkam ternyata hasilnya kurang enak. Dia selalu saja punya ide-ide baru. Jadi saat rekaman sebenarnya lebih banyak improvisasinya. Tapi ternyata justru di situlah letak keunikan lagu-lagu KRLK,” jelas Mung.
“Dulu yang sering datang melihat kami latihan sebelum rekaman ya Ebiet G.Ade. Juga Iwan Fals. Mereka belum ngetop. Bahkan Iwan Fals ketika itu masih sering numpang konser kami. Waktu istirahat misalnya, dia naik panggung menyanyikan satu atau dua lagu untuk mengisi waktu seperti ketika kami konser di Ancol dan Balai Sidang,” kata Mung.
Mung mengaku terkejut juga ketika mendengar kabar Leo Kristi meninggal. Dia tidak menduga sakit Leo Kristi yang menurut kabar adalah soal pencernaan, ternyata berakhir dengan kematian.
“Sayang karena kesibukan, saya ndak sempat menjenguknya ketika Leo sakit di Bandung. Penyesalan saya ini ndak akan bisa hilang sampai kapanpun. Saya sama sekali ndak menduga….” kata Mung tanpa melanjutkan kalimatnya. Raut sedih nampak di wajahnya.
Tapi mengenang Leo Kristi, tidak melulu harus dengan duka. Bisa juga dengan ketawa. Karena peristiwa yang dahulu terasa sangat menegangkan, sekarang bisa jadi cerita lucu. Atau peristiwa yang dahulu menjengkelkan, sekarang jadi cerita yang mengundang tawa. Mung punya banyak cerita semacam itu.
“Leo itu gendheng,” katanya. “Suatu hari sekitar tahun 78 atau 79, saya bersama Leo sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Waktu itu dia masih tinggal di Jalan Maret. Saat ngobrol berdua, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depan rumah tetangga. Leo tahu siapa pemilik mobil itu. Tiba-tiba dia keluar halaman, terus menghampiri pengemudi mobil itu, menariknya keluar, dan langsung orang itu dihajar. Dipukuli berkali-kali, tanpa sempat melakukan perlawanan. Bak…buk…bak…buk. Orang itu babak belur, terus didorong Leo masuk ke lagi ke mobil dan disuruhnya pergi. Mobil itu kemudian berjalan mundur dan berputar di perempatan, terus pergi,” cerita Mung.
Orang yang dihajar tadi tidak lain adalah pianis Surabaya yang waktu itu belum pindah ke Jakarta. “Saya kaget, ternyata orang yang dihajar Leo itu adalah Tamam Husein. Tapi saya ndak bisa apa-apa. Karena Leo melakukannya secara spontan. Saya pun ndak bisa spontan meloncat untuk mencegahnya. Setelah menghajar Tamam Husein dia kembali ke halaman rumahnya tanpa banyak bicara. Dia cuma bilang, soal cewek. Gendheng Leo,” kata Mung.
KRLK adalah kelompok musik yang unik. Selama 40 tahun eksis dengan menghasilkan belasan album dan lebih dari 200 kali konser, sama sekali tanpa seorang manager. “Managernya ya Leo sendiri. Dialah yang ngurusi kontrak, ngurusi pemain, bahkan juga merangkap bendahara,” tambah Mung.
Bila pentas, para pemain tidak memiliki standar honor. Kadang memperoleh honor lumayan besar. Tapi lebih sering mendapatkan ala kadarnya. Suka-suka Leo saja, karena KRLK sendiri juga tidak memiliki standar nilai kontrak. Tergantung nego dan kesepakatan antara Leo dengan panitia. Tidak jarang para pemain tidak mendapat bayaran, yang penting panitia mau menanggung transportasi dan penginapan.
“Tapi Leo itu medit. Dia pandai sekali cari alasan. Suatu saat misalnya, selesai pentas dia hanya memberi honor yang menurut saya sedikit sekali jumlahnya. Saya ndak bisa membantah, karena dia pandai berargumentasi. Kalau misalnya saya bertanya, lho kok cuma dikasih segini Le? Dia kemudian menjelaskan alasannya. Bahkan kadang-kadang malah saya dimarahi. Pokoknya posisi saya selalu kalah kalau sama Leo. Dia sadar, saya ndak boleh melebihi dia dalam hal apapun,” kata Mung sambil tertawa.
Contoh terakhir yang diingat Mung tentang meditnya Leo, terjadi kira-kira 2 tahun yang lalu. “Kita diundang untuk main di Malang. Leo ngajak naik motor saja, pakai motor saya. Saya bilang, lho Le, umur kita ini sudah lebih dari 60 tahun. Masak ke Malang naik motor? Dia tetap ngotot naik motor, katanya agar bisa sambil jalan-jalan lewat pedesaan. Ya sudah, kita berdua berangkat lke Malang. Tanki motor saya sebelumnya sudah hampir penuh. Pulangnya, karena bensin hampir habis, saya minta dia belikan bensin. Kami masuk SPBU, dia bilang ke petugasnya, lima belas ribu mas. Jancuk, ke Surabaya-Malang pulang pergi cuma dibelikan bensin Rp 15 ribu,” kata Mung geleng-geleng kepala.
“Pol meditnya,” lanjut Mung sambil menunjukkan tangan kanannya yang tergenggam erat-erat.
Leo Kristi punya penggemar yang fanatik. Mereka menamakan diri LKers, dan memiliki grup musik sendiri untuk menyanyikan lagu-lagu Leo.
Di Facebook, para fans berat yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini punya akun ‘Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kkristi.’ Bukan pecinta Leo Kristi secara pribadi, tapi pengagum karya-karyanya. Padahal sebenarnya dua hal ini tak terpisahkan.
Leo sendiri amat bangga pada LKers, yang juga sering mengundangnya untuk tampil menggelar konser, dengan grup LKers sebagai grup pendamping.
Tapi Mung pernah merasa heran ketika beberapa tahun lalu tiba-tiba Leo bertanya padanya. “Mung, apa kira-kira LKers itu akan menyaingi kita ya? Kok kelihatannya tambah besar gitu,” ujar Mung menirukan apa yang ditanyakan Leo padanya.
“Ya ndaklah Le. Mereka itu mencintai kita. Dan seperti yang sering kamu bilang, ndak ada kelompok musik di Indonesia yang lebih besar dari KRLK. Sudahlah, ndak usah cemburu pada LKers. Mereka itu pengagum karya-karyamu. Biarkan aja mereka berkembang mau ke mana. Mereka itu juga saudara-saudara kita,” cerita Mung menirukan dialog antara dirinya dengan Leo, beberapa tahun lalu.
Seandainya Leo Imam Sukarno tidak meninggal 21 Mei lalu, hari Selasa pekan depan atau tepatnya tanggal 8 Agustus 2017, usianya akan genap 68 tahun. Al Fatikhah untuk almarhum Leo Kristi. (m. anis)
Formasi awal Konser Rakyat Leo Kristi. Dari kiri ke kanan, Mung Sriwiyana, Jeli Jonathan, Leo Kristi, Lita Jonathan dan Naniel Yakin. (foto: dokumentasi mung)