Kedai Kreasi Kebanjiran Pelanggan dari Komunitas Seni dan Penulis
ngopibareng.id – Kini sudah banyak tempat nongkrong di Surabaya. Namun, tidak banyak yang menyediakan buku bacaan. Kedai Kreasi salah satunya. Kedai yang menjadi tempat nongkrong sambil belajar sastra. Banyak cerpernis muda Surabaya yang belajar sambil ngemil di kedai tersebut.
Di Kedai Kreasi sendiri banyak tersedia novel, biografi, maupun komik yang tertata di rak tersebut. Pengunjung juga bebas mengambil dan membacanya. Namun, tentu saja harus dikembalikan setelah membacanya.
Wina Bojonegoro dan Sol Amrida adalah pendiri dan perintis kedai Kreasi. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Wina, sosok novelis yang memiliki nama. Karya sastranya luar biasa. Begitu juga Sol Amrida, seniman dan musisi dari Surabaya. Dia menyatakan bercita-cita membangun Kedai Kreasi sudah sejak lama. Awalnya, dia hanya ingin membangun tempat itu, agar semua bisa belajar cara membuat cerpen, novel, atau bertukar ide tentang sastra. Sayangnya, keinginan lamanya tersebut dipendam.
“Waktu itu belum berniat untuk segera mewujudkan,” katanya perempuan kelahiran Bojonegoro, 1962 lalu itu.
Suatu saat keinginan tersebut terwujud dengan keyakinan yang benar adanya. Di awal 2015 dia bertemu dengan rekannya, Sol Amrida. Kala itu Sol menceritakan ada ruko kosong dua lantai yang bisa dikelola. Lantai atas bisa digunakan untuk studio musik, sedangkan lantai dasar masih kosong.
Wina pun mulai tertantang untuk mewujudkan impiannya itu. “Saya mulai membuat konsep bersama Sol Amrida,” ujarnya.
Konsep awal yang dibikin adalah library café (café perpustakaan), tetapi ada menu dan sajian kopi. Namun, konsep itu dinilai terlalu sederhana dan kurang menarik. Wina enggan jika menonjolkan perpustakaannya. Menurutnya, kata library identik dengan buku dan bacaan. Dampaknya, masyarakat enggan datang dan berkunjung.
“Padahal, misi kami adalah mempopulerkan sastra kepada masyarakat,” jelasnya.
Karena alasan itu, dibuatlah konsep yang sederhana dan menarik. Muncul kalimat Kedai Kreasi. Wina dan Sol menganggap kata ledai lebih diterima masyarakat. Setelah bertemu nama, mereka membuat desain untuk kedai tersebut.
Wina sempat pesan konsep interior kepada tenaga ahli dari luar Surabaya. Namun, hasilnya tidak memuaskan. Dia pun membuat konsep sendiri yang sederhana dan menarik. Yakni, rumah pohon.
Konsep itu dituangkan di salah satu ruas dinding kedai tersebut. Ada gambar pohon besar. Setiap ranting pohon tersebut bergambar buku. Lalu, ditempel rak untuk menempatkan buku tersebut. “Semua orang bisa mengartikan konsep itu,” paparnya.
Pada Mei 2015 kedai tersebut mulai dibuka. Bentuknya semacam soft launching. Lalu pada 8 Juni 2015, Kedai Kreasi dibuka secara resmi. Wina mengadakan orasi budaya yang disampaikan Budi Dharma. Antusiasme peserta yang datang sangat banyak. Bukan hanya warga Surabaya. Komunitas seni dari daerah lain ikut ikut datang.
Pesertanya cukup banyak. Bahkan, ada peserta yang sama sekali buta tentang cara menulis. “Dia belajar dari nol di kedai ini,” katanya.
Awalnya, mereka hanya dilatih membuat konsep cerita. Lantas, alur cerita dan berlanjut ke penulisan. Wina sendiri yang menjadi pembina dan pendamping di sesi tersebut. Dalam setiap pertemuan, dia memberikan tip cara menulis yang menarik.
Kini Kedai Kreasi pun semakin berkembang. Bukan hanya penulis cerpen yang sering mangkal di tempat ini. Ada komunitas fotografi, film dan beberapa penulis lainnya. Mereka bertemu dengan orang di komunitasnya. Membentuk diskusi dan merealisasikan ide baru. (hrs)