I’tikaf dan Keistimewaan Ibadah Ramadhan
I'TIKAF adalah salah satu ibadah yang dianjurkan selama Ramadhan. “Mohon dijelaskan makna dan pelaksanaan I’tikaf sesuai anjuran Rasulullah Muhammad SAW”. Itulah pertanyaan Imam Rozaq, warga Juwingan Surabaya, pada ngopibareng.id.
KH Ahmad Asyhar Shofwan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Timur memberikan jawaban. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Hadits Aisyah ra. menerangkan: Dari Aisyah r.a, isteri Nabi s.a.w, meneuturkan: “sesungguhnya Nabi s.a.w, melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bukan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeniggal Beliau”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006
I’tikaf secara bahasa memiliki arti menetapi suatu kebaikan atau kejelekan, dan secara ilmu fiqh berdiam diri dalam masjid dengan ketentuan-ketentuan tertentu, diantara ketentuan tersebut adalah; pertama orang yang melakukan I’tikaf adalah orang islam, maka i’tikaf yang dilakukan oleh orang selain beragam islam itu hukumnya tidak sah (batal).
Kedua, berakal sehat, Apabila mu’takif itu gila atau terserang penyakit epilepsy maka batal (tidak sah) I’tikafnya. Ketiga orang jyang beri’tikaf (mu’takif) harus dalam keadaan suci dari haid dan nifas bagi seorang perempuan, dan suci dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan diwajibkannya mandi junnub.
Adapun rukun i’tikaf yang harus dipenuhi adalah; pertama Niat untuk untuk berdiam diri di dalam masjid, dan bagi mereka yang bernadzar untuk I’tikaf, maka diwajibkan baginya untuk mengucapkan kata fardu di dalam niat I’tikafnya. Dan kedua berdiam diri dalam masjid dalam rentang waktu lebih dari lamanya thumaninah dalam sholat.
Selain syarat dan rukun yang harus dijaga, hendaknya bagi mereka yang beri’tikaf memperhatikan beberapa pantangan yang dapat membatalkan I’tikaf. Diantaranya bersetubuh dengan istri.
…dan janganlah kalian campuri mereka (isterimu) itu, sedang kalian sedang dalam keadaan I’tikaf di ,asjid, itulah ketentuan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah, 2:187)
Kedua, keluar dari masjid tanpa udzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada udzur, misalnya buang hajat atau air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan I’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a:
Dari Aisyah r.a, menuturkan, Nabi s.a.w, apabila beri’tikaf, Beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan Beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).
Mengenai waktu I’tikaf bisa dilakukan di setiap waktu, tetapi waktu yang sangat dianjurkan untuk beri’tikaf adalah pada malam sepuluh terakir dari bulan Ramadlon. Dengan alasan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan malam lailatul qadar yang memiliki keistimewaan 1:1000 keistimewaan bulan selain bulan Ramadlon, oleh karena itu I’tikaf pada saat-saat itu sangat dianjurkan.
Dari Aisyah r.a, isteri Nabi s.a.w, meneuturkan: “sesungguhnya Nabi s.a.w, melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bukan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeniggal Beliau”. Demikian Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006. (adi)