Globalizing Shalawat untuk Kemaslahatan Bangsa, Ini Faktanya
Agus Maftuh Abegebriel, Dubes RI untuk Arab Saudi, mempunyai pengalaman indah. Khususnya, saat-saat pelaksanaan Festival Budaya dan Heritage Janadriyah ke-33.
Berikut tulisan Agus Maftuh Abegebriel, dikutip ngopibareng.id dari akun facebooknya, Selasa 2 April 2019:
Setiap melewati kawasan Janadriyah Arab Saudi, selalu saja terbayang dalam memoriku betapa gagahnya Indonesia yang menyandang label pretisius sebagai satu-satunya negara “Tamu Kehormatan” dalam Festival Budaya dan Heritage Janadriyah ke-33.
Diplomasi Budaya terbesar abad 21 tersebut akan kembali diulang oleh Indonesia paling cepat 60 tahun lagi dengan asumsi 60 negara dari 105 Negara akan ikut antri menjadi Tamu Kehormatan. Jika 105 negara yang memiliki Kedutaan di Arab Saudi masuk antrian, maka normalnya, Indonesia akan mengulang perhelatan dialog antar peradaban tersebut 105 tahun lagi.
Matematikanya seperti itu, faktanya Indonesia telah mendapatkan label prestisius tersebut tanpa harus memakai matematika diplomatik, tanpa harus lewat antrian. Gemuruh shalawat di tanah air lah yang mengantarkan Indonesia untuk memamerkan kekayaan budayanya di Timur Tengah.
"Matematikanya seperti itu, faktanya Indonesia telah mendapatkan label prestisius tersebut tanpa harus memakai matematika diplomatik, tanpa harus lewat antrian. Gemuruh shalawat di tanah air lah yang mengantarkan Indonesia untuk memamerkan kekayaan budayanya di Timur Tengah".
Video ini adalah salah satu dari 240 pagelaran yang ditampilkan Indonesia di Historical Stage Janadriyah 20 Des 2018 sd 9 Januari 2019 sebagai bentuk nyata sebuah dialog antar peradaban.
Saya tulis sebuah syair dialog peradaban sbb:
حوار الحضارا ت والثقافات هو غايتنا
دون الصراع و الصدمة بينها التي تهلكنا
Dialog AntarPeradaban dam Budaya adalah tujuan kami,
Bukan Benturan Peradaban yang akan menghancurkan kami
RAMBUT MUAWIYAH
Tadi malam, saya sempat nonton Debat Calon Presiden yang salah satu tema pokoknya adalah POLUGRI RI (Politik Luar Negeri RI). Tema tersebut mengingatkan saya ketika di Pesantren dulu membuka kitab-kitab kuning yang membahas tentang sejarah terkait dengan diplomasi yang dilakukan oleh Dubes-dubes (ar-Rusul wa as-Sufara) Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Ada adagium yang populer di kalangan Salafussalih ketika itu yg dikenal dengan teori “RAMBUT MUAWIYAH (شعرة معاوية). Ada apa dengan rambut? Hubungannya apa dengan diplomasi?
Adagium tersebut ternyata terkait dengan statement Muawiyah bin Abu Sofyan dalam berdiplomasi, yaitu: LAU KANAT BAINI WA BAINA AN-NAS SYA’RATUN MA INQATA’AT, IDZA SYADDUHA ARKHAITUHA, WA IDZA ARHAUHA SYADATTUHA (Kalau hubunganku dengan orang-orang di negara lain hanya dihubungkan dengan sehelai rambut, maka rambut tersebut tidak boleh putus, kalau mereka kencangkan maka akan saya kendorkan (biar tdk putus), kalau mereka kendorkan maka akan saya kencangkan.
لو كانت بينى وبين الناس شعرة ما انقطعت.. إذا شدوها أرخيتها, وإذا أرخوها شددتها
Teori diplomasi inilah yang dikenal dengan : RAMBUT MUAWIYAH. Betapa kita harus hati-hati dan smart untuk mengelola sebuah hubungan diplomatik bak “ngurus” dan “menjaga” sehelai rambut yang begitu rawan putus dan terkoyak.
Dalam tradisi keilmuan santri ada beberapa kitab tentang diplomasi dan hubungan internasional:
Al-Huquq wa al-Wajibat fi al-Alaqah al-Duwaliyah fi al-Islam
Al-Mujtama al-Islami wa al-Alaqah al-Duwaliyah
Al-Alaqah al-Duwaliyah fi al-Islam Muqaranah bi al-Qanun al-Hadis
Al-Siyasah al-Kharijiyyah li Al-Nabi al-Akram
Al-Alaqah al-Duwaliyah fi al-Qur’an wa al-Sunnah
Sufara al-Nabi
Al-Ta’shil al-Fiqhiy al-Qanuniy li al-Hashanah al-Diplomasiyyah
Ahkam al-Rusul wa al-Sufara fi al-Fiqh al-Islami
Ya ALLAH, di tahun terakhir tugas ini, bimbinglah dan istiqomahkan kami dalam DIPLOMASI YANG MASLAHAH UNTUK BANGSA.
Advertisement