Festival Kaligrafi ASEAN Meriahkan Hari Santri Nasional
Jombang: Sebanyak 83 orang mengikuti Festival Kaligrafi tingkat ASEAN di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Kabupaten Jombang. Festival ini dalam rangka menyemarakkan Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh setiap 22 Oktober 2017.
Sekretaris Festival, Zainul Mujib mengungkapkan, ada 53 peserta pada lomba khat jenis riq'a dan 30 peserta pada lomba khat diwani.
“Negara Malaysia mengirimkan 7 orang, sedangkan Singapura hanya 4 orang. Selanjutnya, ada Thailand dengan 8 perwakilan dan 1 orang dari Jordania. Sisanya berasal dari Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke,” kata Mujib.
Kegiatan ini penampilan karya-karya pilihan yang sengaja diboyong Direktur Utama IRCICA, Dr Halit Eren. Karya-karya tersebut berasal dari kaligrafer ternama seperti Ustadz Dawud Bektasy, Ustadz Osman Ozcay, Ustadz Abdurrahman Depeler.
Turut serta dalam penampilan karya tersebut beberapa karya pilihan dari dalam negeri lainnya. Semua hasil karya tersebut menghiasi Aula Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif, Denanyar Jombang pada 14-16 September 2017.
"Kami bersyukur banyak yang gabung. Semoga tahun depan bisa Internasional. Karena jarang sekali ada lomba kelas Internasional di Indonesia," kata Mujib.
Sementara itu, Ustadz Atho’illah, panitia acara Festival dan Pameran Kaligrafi se ASEAN dalam rangka Hari Santri 2017 memberikan sejumlah penjelasan. Dalam menulis kaligrafi Arab, sangat dibutuhkan kesabaran dan keluwesan agar hasil khath (kaligrafi) tidak hanya indah namun juga lembut dan “cantik” berkarakter. Untuk menulis Al-Islam saja misalnya, seorang kaligrafer internasional asal Syiria, pernah mengahabiskan waktu hingga dua hari.
“Dalam berkaligrafi dibutuhkan adab, di dalamnya juga ada cinta,” tuturnya.
Tidak paham bahasa Arab, lalu menulis kaligrafi tanpa kaidah yang jelas, kata Ustadz Atho’, tidak akan menghasilkan seni kaligrafi yang indah. Ia mengkritik orang-orang yang bangga dengan bahasa Arab tapi menulis Arab masih salah-salah.
“Imla’ (teknik menulis Arab dengan benar) saja tidak bisa, apalagi menulis Arab dengan keindahan seni,” tutur Athoilah, bersama kaligrafer internasional, Dr. Abdullah Abdu Futiny (Saudi Arabia), Kamis (14/9/2017).
Tradisi kritik di kalangan para khattath (kaligrafer) juga tetap beradab. Tidak saling merasa dirinya paling bagus menulis, paling indah, dan paling sesuai kaidah. Ada sistem ijazah, dimana seorang murid dinyatakan lulus jika sudah menguasai konsep-konsep dasar beserta praktiknya. Sistem ijazah ini sanadnya harus sampai kepada Sayyidina Ali karramallah wajhah.
Adab para khattath kepada guru juga tetap dijaga ketat. Mirip ajaran Kitab Ta’lim Muta’allim dan Thariqah. Seorang guru khath harus sesuai antara yang diucapkan dan yang dilaksanakan. “Begitu ada seorang khattath yang merasa karyanya lebih baik dari orang lain, dia akan kena sangsi sosial,” terang Ustadz Atho’.
Seorang yang sudah mendapatkan ijazah lulus (mujaz) secara formal dia sudah boleh membubuhkan tandatangan dalam karya kaligrafinya. Tapi secara adab, banyak yang menunggu dawuh guru untuk menulis tandatangan itu.
“Ini ada yang kami jaga. Tidak sembarangan memberi ijazah kepada murid kami walau kami sudah diberi hak memberi ijazah oleh guru,” tanda Ustadz Atho’. (adi)